Konteks Sosial-Historis Pemikiran Marx dan Engels

Sebuah pemikiran muncul karena dikondisikan oleh kenyataan sosial di zamannya. Secara umum, kemunculan Marxisme dikondisikan oleh munculnya cara produksi kapitalis, pertentangan kelas, dan berbagai macam diskursus yang menyertainya di Eropa. Marx (1818-1883) dan Engels (1820-1895) hidup tidak lama setelah dua momen historis penting yang menandakan kemenangan kapitalisme atas feodalisme di Eropa, yaitu Revolusi Industri di Inggris yang muncul pada 1780-an[1] dan Revolusi Perancis 1789. Karena perkembangan kapitalisme di tiap daerah di Eropa tidaklah merata, bisa dikatakan bahwa mereka hidup di masa 'transisi' sekaligus masa awal kapitalisme. Tulisan ini hendak menguraikan secara singkat kenyataan yang menjadi konteks sosial-historis dari pemikiran Marx dan Engels. Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kita akan membahas situasi umum di Eropa berupa kemunculan kapitalisme dan kebangkitan pemikiran modern. Lalu, kita akan membahas situasi spesifik di Jerman dan filsafat idealisme Jerman. Baru kemudian kita akan membahas proyek sosialisme dan gerakan proletariat di masa Marx dan Engels.

Kemunculan Kapitalisme dan Kebangkitan Pemikiran Modern

Kapan persisnya kapitalisme yang penuh itu muncul masih dalam perdebatan. Ada posisi yang menyatakan bahwa keterputusan kapitalisme dari feodalisme memang terjadi dengan Revolusi Industri pada abad ke-18. Etienne Balibar, misalnya, menyatakan bahwa periode 1500-1750 adalah periode 'transisi menuju kapitalisme,' sementara periode setelah 1750 adalah periode kapitalisme yang penuh. Kemudian ada posisi lain yang menyatakan bahwa keterputusan itu bukan terjadi pada masa Revolusi Industri, melainkan pada masa ekspansi Eropa dan penciptaan pasar dunia pada abad ke-16. Paul Sweezy, misalnya, menyatakan bahwa bagi Marx, periode manufaktur (1500-1750) dan periode industri modern bukanlah dua sistem sosial yang berbeda, melainkan hanya dua fase dari satu sistem yang sama, yakni kapitalisme. Lalu, ada juga yang mengatakan bahwa titik putus itu terjadi pada masa antara abad ke-16 dengan masa yang ditandai oleh Revolusi Industri dan Revolusi Perancis, yaitu pada pertengahan abad ke-17.[2]

Di sini, kita tidak akan mencoba memutuskan posisi mana yang benar dalam perdebatan di atas. Cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa sebelum Revolusi Industri, sudah ada konsolidasi pasar dunia, yang kalaupun tidak bisa dikatakan sebagai tanda dari kemunculan kapitalisme, tetapi tetap merupakan faktor penting yang mendorong kemunculan kapitalisme. Zona-zona perdagangan yang luas sudah mulai terbentuk pada abad ke-11 sampai 13 di Eropa. Beberapa kota di Italia menjadi pusat perdagangan yang sangat kuat sampai abad ke-16. Lalu, sekitar tahun 1600, posisi ini mulai beralih ke Antwerp di Belgia dan kemudian ke Amsterdam di Belanda.[3] Pada masa ini muncul gerakan Renaissance (“kelahiran-kembali”) yang mematahkan kekakuan budaya Abad Pertengahan. Muncul seniman dan pemikir-pemikir seperti Michelangelo, Machiavelli dan Erasmus. Sains modern juga sudah mulai terlihat dengan munculnya teori Copernicus pada 1543.[4] Pada masa ini, terjadi pula gerakan Reformasi Protestan yang menolak otoritas Paus dengan tokohnya, Luther dan Calvin.

Pada masa Renaissance, perdagangan berpusat di kota-kota, bukan negara. Baru kemudian, muncul 'pasar nasional’ di Eropa dan kebijakan negara yang berusaha melindungi pasar nasional. Pada periode ini, berkembang diskursus ekonomi di seputar pertukaran dan sirkulasi sebagai pencipta kekayaan. Diskursus ekonomi ini biasa disebut dengan merkantilisme. Sebagian pemikirnya memang memiliki profesi sebagai pedagang. Di antaranya adalah Thomas Mun (1571-1641), seorang pedagang sukses yang menjadi Direktur Maskapai Hindia Timur pada 1615.[5] Pada masa ini, aktivitas ekonomi yang menonjol adalah perdagangan, industri belum berkembang penuh. Sejarawan Eric Hobsbawm menunjukkan bahwa bahkan pada masa ekspansi industri di abad ke-18, industri yang dominan belum berupa pabrik-pabrik, tetapi masih berupa unit kerja yang para pekerjanya bekerja di rumah mereka sendiri dengan bahan baku dan alat-alat produksi yang dimiliki sendiri atau disewa dari para pedagang.[6] Produksi di rumah-rumah atau bengkel-bengkel kecil ini diorganisir ke dalam gilda-gilda.

Pada 1780-an, mulai muncul Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri terjadi di Inggris karena, berbeda dengan negara Eropa lainnya, Inggris sudah memiliki prasyarat-prasyarat sosial dan material yang diperlukan bagi terciptanya sebuah masyarakat industri. Di Inggris, keuntungan pribadi dan perkembangan ekonomi sudah menjadi obyek dari kebijakan pemerintah. Sektor agrarianya sudah dikelola untuk pasar dan siap menopang industrialisasi. Manufakturnya sudah tersebar di daerah-daerah pedesaan non-feodal. Kemudian, sudah ada sejumlah besar infrastruktur yang diperlukan bagi kelancaran kemajuan ekonomi, seperti fasilitas pelabuhan, jalan dan rel kereta api yang baik. Yang diperlukan hanyalah pemicunya, yakni sebuah industri yang memberikan keuntungan besar dan monopoli atas pasar produk industri tersebut. Industri itu adalah industri kapas, dan Inggris sudah sejak lama menguasai pasar kolonial dan semi-kolonial.[7] Sejak Revolusi Industri, kapitalisme industri berkembang dengan pesat dan meluas ke berbagai negeri di Eropa.

Kalau di Inggris ada Revolusi Industri, di Perancis terjadi Revolusi Perancis. Masa itu memang merupakan masa revolusi demokratik di dunia Barat. Muncul perjuangan kemerdekaan di Amerika Serikat (1776-83),  Irlandia (1782-4), Belgia dan Liege (1787-90) serta Belanda (1783-7). Namun, di antara berbagai revolusi demokratik itu, Revolusi Perancis memang merupakan revolusi demokratik yang paling radikal dan dramatis di masa itu. Ada beberapa kontradiksi yang menyebabkan munculnya Revolusi Perancis. Pertama-tama, terdapat kontradiksi antara kaum borjuis yang menginginkan pembaharuan dengan Negara Monarki Absolut yang menghambatnya. Kemudian, ada para bangsawan yang merasakan kesulitan ekonomi akibat inflasi. Mereka mencari pendapatan tambahan dengan merebut pos-pos penting di pemerintahan, sehingga bersaing dengan kelas menengah yang juga ingin mengambil pos-pos tersebut. Turunnya pendapatan para bangsawan juga membuat mereka berusaha mempertinggi pemerasan atas petani. Negara Perancis waktu itu juga sedang mengalami krisis keuangan, tetapi para bangsawan tidak mau membantu keuangan negara tanpa perluasan privilese mereka yang saat itu dipersempit oleh Negara.[8]

Revolusi Perancis pun pecah pada 1789. Dibentuklah Majelis Konstituante dan kaum borjuis berusaha melakukan pembaharuan melalui institusi ini. Pada masa ini, raja masih ada dan Perancis menjalankan sistem ‘monarki konstitusional.’ Pihak kerajaan dan para bangsawan yang sudah setengah-tersingkir tidak menerima hal ini dan ingin mengambilalih kembali kekuasaan mereka. Para bangsawan, yang sebagian sudah bermigrasi ke negara Eropa lainnya, merasa bahwa hanya intervensi asing yang bisa memenangkan kembali kekuasaan mereka. Sementara, negara-negara monarki di sekitar Perancis juga khawatir dengan pengaruh Revolusi Perancis di negeri mereka. Akhirnya, pada April 1792, pecah perang antara Perancis dengan beberapa negara monarki di Eropa, seperti Austria. Perancis kalah dan muncul tuduhan di dalam negeri bahwa kekalahan Perancis disebabkan oleh sabotase dan pengkhianatan pihak kerajaan. Pada Agustus-September di tahun yang sama, kekuasaan monarki digulingkan di Perancis. Sementara invasi asing berhasil ditahan dengan duel artileri di Valmy.[9]

Kaum liberal atau Girondin yang berkuasa saat itu di Perancis, bersikap keras terhadap kerajaan-kerajaan asing, tetapi moderat di dalam negeri. Mereka berperang kembali dengan sebagian besar kerajaan di Eropa pada 1793. Perancis dikepung oleh Jerman yang menyerang dari utara dan timur, serta Inggris yang menyerbu dari selatan dan barat. Di dalam negeri, terjadi pemberontakan di 60 dari 80 departemen (semacam provinsi) yang ada. Pemerintahan Girondin pun jatuh digantikan oleh pemerintahan sayap-kiri Jacobin. Untuk bisa menyelesaikan krisis di Perancis, kaum Jacobin menerapkan wajib militer massal untuk rakyat dan mengeksekusi mati siapapun yang dianggap sebagai musuh revolusi. Dalam 14 bulan, 17 ribu pejabat dieksekusi. Tetapi, dengan cara ini, kaum Jacobin bukan hanya berhasil mempertahankan Perancis dari invasi koalisi kerajaan-kerajaan Eropa, tetapi juga berhasil melakukan pukulan balik, seperti pendudukan Belgia. Pada Juli 1794, pemerintahan Jacobin jatuh. Tokoh-tokohnya, seperti Robespierre dan Saint-Just, pun dieksekusi mati. Setelah itu, muncul pemerintahan Direktorat yang berusaha menstabilkan situasi. Pada 1799, pemerintahan Direktorat jatuh dan digantikan oleh Napoleon, yang menandakan akhir dari Revolusi Perancis.[10]

Seiring dengan pergolakan ekonomi dan politik di atas, terjadi pula ‘revolusi’ di ranah ide. Muncul pengetahuan modern. Dalam fisika dan astronomi, kita menyaksikan munculnya Kepler, Galileo dan Newton. Juga terjadi penemuan instrumen-instrumen ilmu alam seperti teleskop yang ditemukan oleh Lippershey pada 1608―yang pembuatannya lalu ditiru Galileo untuk mengamati planet-planet. Lalu, Galileo juga menemukan termometer, sementara muridnya, Torricelli, menemukan barometer. Ilmu pengetahuan di bidang lain juga berkembang. Di bidang biologi, ada Harvey (1578-1657) yang menemukan sirkulasi darah dan Leeuwenhoek (1632-1723) yang menemukan spermatozoa.[11] Muncul pula filsuf dan pemikir sosial-politik seperti Desacrtes, Spinoza, Leibniz, Hume, Kant, Hegel, Rousseau, Montesquieu, dan yang lainnya. Zaman ini biasa disebut dengan zaman Pencerahan atau Aufklärung.

Khusus terkait dengan Marx dan Engels, setidaknya ada tiga macam pemikiran modern yang mempengaruhi mereka dengan kuat. Yang pertama adalah materialisme modern yang berkembang di Inggris dan Perancis. Perkembangan filsafat materialisme ini, terutama materialisme Perancis, pernah dibahas secara singkat oleh Marx dalam The Holy Family.[12] Rhineland-Westphalia, tempat kelahiran Marx, memang pernah dianeksasi oleh Perancis dan ide-ide Revolusi Perancis berpengaruh kuat di sana. Yang kedua adalah historiografi-sosiologis Perancis, dari mana Marx dan Engels memperoleh konsep kelas sosial dan perjuangan kelas. Konsep kelas dan perjuangan kelas sudah digunakan oleh para pemikir Perancis, seperti Francois Auguste Mignet.[13] Yang ketiga adalah pemikiran ekonomi-politik Inggris, khususnya Adam Smith dan David Ricardo, yang menemukan kerja sebagai basis dari nilai. Marx dan Engels tidak hanya menyerap ide-ide ini. Mereka juga melakukan kritik dan pelampauan atasnya untuk menghasilkan gagasan yang lebih maju. Misalnya, dengan melakukan kritik terhadap diskursus ekonomi-politik di masanya dan analisa atas realitas kapitalisme, Marx menemukan teori penghisapan nilai surplus yang merupakan bentuk dari eksploitasi dalam kapitalisme.

 ‘Keterbelakangan’ Jerman dan Filsafat Idealisme Jerman

Pada waktu Revolusi Perancis, Jerman belum menjadi satu negara utuh.[14] Jerman adalah sebuah istilah untuk menamakan sebuah wilayah yang di dalamnya terdapat negara-negara yang memiliki bahasa sama dan dulunya pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi. Secara ekonomi, Jerman juga relatif terbelakang dibandingkan Perancis dan Inggris. Jerman masih merupakan negara agraris dengan tiga perempat dari 23 juta penduduknya hidup dari tanah. Kendati relatif terbelakang, Jerman sampai 1848 sedang mengalami transisi yang pesat dari feodalisme menuju kapitalisme dengan 'paksaan dari negara.' Struktur tanah feodal yang ada dihancurkan oleh negara dengan beberapa kebijakannya, seperti penghapusan pelarangan jual-beli tanah yang dikeluarkan pada Oktober 1807 oleh Baron vom Stein, Menteri Dalam Negeri Frederick William III.

Hasil dari transformasi ini adalah terkonsentrasinya tanah di bawah tuan-tuan tanah besar. Selama 1815-1848, wilayah tanah yang berada di bawah kepemilikan berskala kecil dan menengah berkurang sebesar 40%, sementara sekitar satu juta hektar tanah beralih ke tangan para tuan tanah besar. Para tuan tanah besar inipun kemudian mengeksploitasi tanah mereka secara kapitalistik, sementara para mantan petani-hamba (serf) bekerja sebagai buruh harian di tanah-tanah luas tersebut atau pergi ke kota dan menjadi proletariat perkotaan. Perkembangan ekonomi di Jerman tidak merata di semua wilayah. Daerah Rhineland-Westphalia, yang pernah diduduki Prancis selama 1795-1815, adalah daerah yang sangat maju perkembangan industrinya. Di situ berkembang simpati terhadap Perancis beserta pemikiran-pemikirannya. Tidak heran jika para penduduknya berkeberatan dengan keputusan Kongres Vienna pada 1815 untuk mengembalikan Rhineland ke Prussia.

Industri di Jerman baru berkembang pesat setelah kedelapan belas negara di Jerman membentuk sebuah koalisi yang bernama Zollverein (Persatuan Adat) pada 1834. Hasil pertambangan yang meningkat sebesar 50% selama 1800-1830, meningkat lagi dua kali lipat pada 1830-1842. Produksi barang-barang konsumsi meningkat delapan kali lebih banyak pada 1830-1840 dibandingkan dengan pada 1800-1810. Rel kereta api pertama dibuat pada 1835, dan pada 1847 sudah ada 2.500 kilometer rel kereta api. Produksi besi meningkat dari 134.000 ton pada 1834 menjadi 170.000 ton pada 1841. Jumlah mesin uap meningkat tiga kali lipat selama 1837-1848. Meski industri berkembang cukup pesat, sempat terjadi pengangguran yang cukup tinggi di daerah pedesaan. Sebagian dari para penganggur ini pindah ke kota-kota dan sebagian lagi bermigrasi ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika. Ada 750.000 orang yang bermigrasi selama 30 tahun sebelum 1848.

Transformasi struktural ini menghasilkan berbagai lapisan sosial dalam masyarakat. Yang pertama adalah tuan-tuan tanah besar yang mengeksploitasi tanah mereka secara kapitalistik, tetapi tetap memiliki beberapa privilese feodal mereka. Sekalipun mereka tidak lagi mengontrol pengelolaan kota-kota, tetapi mereka masih memegang jabatan-jabatan publik yang tertinggi dan tentara. Kedua, kelas menengah yang bertransformasi dari pedagang berskala besar menjadi industrialis atau pengusaha. Ketiga, kaum artisan―mereka yang bekerja di rumah atau bengkel-bengkel pra-industrial bersama beberapa asistennya―yang posisinya paling terancam oleh perkembangan ekonomi di Jerman. Keempat, buruh industrial yang tumbuh dengan cepat, sebanyak tujuh kali lipat selama 1800-1848. Meski berkembang pesat, jumlah buruh pada saat itu sebenarnya masih kecil. Pada pertengahan 1840-an, jumlah buruh industrial masih berada di bawah jumlah artisan. 

Seiring dengan situasi sosial yang ’transisional’ seperti itu, muncul bermacam pemikiran yang dikategorisasi McLellan sebagai konservatisme, Katolikisme politis, liberalisme, radikalisme dan sosialisme. Namun, berbagai aliran pemikiran ini tidak secara strict berkorespondensi dengan kepentingan kelas tertentu. Misalnya, ada pemikiran politik konservatif yang relatif mencerminkan kepentingan para bangsawan, seperti pemikiran Gerlach bersaudara, Stahl, Hengstenberg dan Leo. Mereka bersikap anti terhadap rasionalisme dan memuja Kekaisaran Abad Pertengahan serta Persekutuan Suci.[15] Tetapi, ada juga kaum konservatif yang memiliki kepedulian sosial, seperti Victor Aimé Huber dan Lorenz von Stein, yang mempromosikan 'monarki sosial' dan meminta raja untuk membantu kelas-kelas yang tidak berpunya dalam berhadapan dengan kelas-kelas berpunya. Contoh lainnya, dalam pemikiran liberal, ada yang mempromosikan kebebasan individu dan ’monarki parlementer,’ tetapi ada juga yang dekat dengan konservatisme dan mempromosikan kedaulatan negara.

Pemikiran Jerman mendapat pengaruh kuat dari gagasan-gagasan Revolusi Perancis yang sangat mempercayai nalar untuk menjelaskan dan memperbaiki dunia. Di ranah filsafat, pemikiran ini berusaha diberikan fondasinya oleh Immanuel Kant. Sekalipun Kant menganggap bahwa nalar manusia terbatas hanya untuk ’dunia fenomena’ dan terdapat ’sesuatu di dalam dirinya’ (das ding an sich) yang tidak bisa ditembus nalar, tetapi nalar bebas untuk menelusuri dunia fenomena. Diskursus tentang pengetahuan manusia ini diteruskan oleh para filsuf idealis Jerman, yang menekankan keutamaan pikiran atau ruh untuk menjelaskan kenyataan. Mereka menganggap bahwa prinsip regulatif dari dunia ada secara imanen di dalam dunia. Mereka juga menganggap gagasan tentang perkembangan, perubahan, dan kontradiksi sebagai gagasan yang mendasar untuk memahami dunia. Adalah Hegel yang kemudian berusaha menyatukan tema-tema ini ke dalam satu sistem pemikiran yang komprehensif.

Hegel berangkat dari gagasan bahwa pusat eksistensi manusia ada dalam nalar, yang dengannya manusia membangun kenyataan. Ia membahas perkembangan dialektis dari nalar manusia sampai ke pengetahuan absolut. Tiap tahap dari pekembangan ini menyimpan sekaligus menghapuskan elemen-elemen dari tahap sebelumnya. Hegel menyebut proses ini sebagai Aufhebung, yang merupakan salah satu aspek penting dari dialektika. Kalau di nalar manusia, perkembangan ini berujung pada pengetahuan absolut, di wilayah sosial, perkembangan ini yang melewati tahap keluarga dan masyarakat sipil, berujung pada negara. Negara adalah organisasi sosial tertinggi, yang mampu mensintesakan hak-hak partikular dan nalar universal. Dan karena Hegel menganggap tidak ada filsuf yang bisa berdiri di luar zamannya serta menolak teorisasi atas ideal-ideal yang abstrak, ia menganggap negara itu adalah negara Prussia di zamannya.

Setelah Hegel meninggal, pemikirannya mendominasi universitas-universitas di Jerman. Namun, muncul perbedaan pendapat di antara para Hegelian yang berujung pada perpecahan antara mazhab Hegelian Kanan dan Kiri. Mazhab Hegelian Kanan berpegang pada slogan 'yang riil itu rasional,' sehingga mereka menganggap semua yang ada sebaai rasional. Sementara, mazhab Hegelian Kiri berpegang pada slogan 'yang rasional itu riil,' sehingga semua yang ada perlu dievaluasi oleh nalar. Pada awalnya, Marx dan Engels termasuk dalam kelompok Hegelian Kiri. Tetapi, ia kemudian juga berpolemik dengan para Hegelian Kiri, seperti Bruno Bauer dan Max Stirner. Marx dan Engels mengambil dialektika dari Hegel, tetapi membuang idealismenya, dan menyandingkan dialektika dengan materialisme. Upaya Marx dan Engels untuk melampaui filsafat idealisme Jerman inilah―yang juga dibantu oleh pemikiran lain, seperti materialisme Perancis dan Feuerbach―yang menghasilkan metode materialisme historis dan materialisme dialektis.

Proyek Sosialisme dan Gerakan Kelas Proletariat

Kemunculan sosialisme modern dikondisikan oleh pertentangan kelas buruh-kapitalis dan anarki dalam produksi.[16] Embrio dari pertentangan kelas buruh-kapitalis ini sebenarnya sudah ada sebelum kelas proletariat modern berkembang penuh. Dan pertentangan ini kadang muncul ke permukaan, seperti gerakan kaum Leveller dan Digger yang muncul pada Revolusi Inggris di tahun 1640-1688 dan mengutuk eksploitasi yang terus berlanjut atas kaum miskin, sekalipun terjadi perluasan hak politik.[17] Seiring dengan perkembangan kelas pekerja, pada abad ke-18 dan 19, muncul diskursus sosialisme yang berusaha merumuskan gagasan tentang masyarakat masa depan, seperti yang diartikulasikan oleh Morelly, Mably, Charles Fourier, Robert Owen dan Saint-Simon. Namun, diskursus ’sosialisme utopis’ ini memiliki keterbatasannya, karena tidak dibasiskan pada analisis yang tajam atas kenyataan kapitalisme, dan melihat sosialisme lebih sebagai manifestasi Nalar. Marx dan Engels terpengaruh oleh gagasan ini, tetapi mereka berusaha melampauinya. Hasilnya adalah sosialisme ilmiah.

Untuk bisa melihat di mana keterbatasan mereka, mari kita bahas dua pemikiran ’sosialisme utopis’ yang cukup maju pada masa itu, yakni Robert Owen yang berasal dari Wales dan Saint-Simon yang berasal dari Perancis.[18] Pemikiran Owen dikondisikan oleh Revolusi Industri di Inggris yang membuatnya bisa melihat potensi emansipatif dari peningkatan produktivitas akibat perkembangan kekuatan-kekuatan produktif. Owen juga merupakan seorang pengusaha, sehingga ia memiliki pengetahuan praktis yang memadai tentang industri. Ia menjadi managing partner dari sebuah pabrik kapas di New Lanark, Sktolandia, pada 1800-1829. Selama periode ini, ia berhasil merubah situasi di daerah yang berpenduduk 2.500 orang itu. Jam kerja yang saat itu masih 13-14 jam, dikuranginya menjadi 10,5 jam. Kemudian, di saat krisis kapas membuat pabriknya berhenti beroperasi selama 4 bulan, buruh-buruhnya tetap menerima upah penuh. Ia juga membangun sekolah balita di New Lanark. Dan ini semua tidak berpengaruh pada keuntungan pabriknya. Pabriknya tetap memperoleh untung besar.

Sekalipun sukses, ia tetap tidak puas. Ia melihat bahwa para buruhnya tetap menjadi budak yang berada di bawah belas kasihannya. Ia juga merefleksikan kenyataan bahwa 2.500 penduduk di New Lanark mampu memproduksi kekayaan yang sama banyaknya dengan kekayaan yang diproduksi oleh 600.000 orang satu setengah abad sebelumnya. Masalahnya, sebagian besar kekayaan ini jatuh ke tangan si pemilik pabrik. Apa yang kemudian berusaha dilakukan Owen adalah merekonstruksi sebuah masyarakat di mana kekayaan yang berlimpah ini bisa menjadi milik publik, untuk kemaslahatan umum. Pada tahun 1823, Owen mengusulkan pembentukan koloni-koloni Komunis untuk menyelesaikan penderitaan yang dialami masyarakat Irlandia. Ia membuat sebuah rancangan praktis yang sangat rinci, dengan perkiraan ongkos pendirian koloni-koloni itu, pengeluaran tahunannya dan pendapatan yang mungkin didapat. Ia juga mulai menyerang kepemilikan pribadi dan melakukan eksperimen-eksperimen pendirian koloni Komunis, seperti yang dilakukannya di Amerika.

Namun, upayanya mengalami kegagalan dan ia kehilangan posisi sosial yang ia miliki. Kalau sebelumnya, ia adalah orang yang terpandang di masyarakat dan pendapat-pendapatnya menjadi rujukan para negarawan serta bangsawan, maka setelah menjadi ’komunis,’ ia dikucilkan oleh mereka. Ia juga jatuh miskin, karena mengorbankan nyaris seluruh kekayaannya untuk melakukan eksperimen koloni komunis yang gagal di Amerika. Ia pun beralih ke kelas pekerja. Di sana, ia disambut dengan suka cita. Ia menjadi ketua Serikat Buruh Inggris dan Irlandia yang Terkonsolidasi Secara Nasional dan Besar melalui kongres yang diikuti serikat-serikat buruh dan komunitas-komunitas koperasi pada Oktober 1833 di London. Ia menggagas agar serikat ini mengambilalih manajemen produksi dan mengorganisirnya dalam bentuk koperasi. Ia juga menggagas Bazar Pertukaran Kerja yang Setara untuk pertukaran produk kerja, dengan alat tukarnya berupa labor-notes yang satu unitnya adalah satu jam kerja. Dengan cara ini, Owen berharap transformasi masyarakat bisa dijalankan dengan cara damai. Tetapi, ia keliru. Para pengusaha dan negara menentang keras Owen dan serikatnya. Pada Agustus 1834, serikat yang dipimpin Owen ini pun terlikuidasi.[19]

Apa yang tidak berhasil dipahami Owen adalah kenyataan adanya perjuangan kelas. Berbeda dengan Owen, Saint-Simon yang merupakan anak kandung Revolusi Perancis berhasil menangkap adanya perjuangan kelas dalam masyarakat. Namun, karena kelas proletariat di Perancis pada saat itu belum berkembang penuh, ia melihat pertentangan kelas yang terjadi adalah antara ’pekerja’ dengan ’pemalas’ (idlers). Namun, yang ia sebut ’pekerja’ bukan hanya buruh, tetapi juga pengusaha, pedagang dan bankir, sementara ’pemalas’ adalah kaum feodal yang memiliki privilese, tetapi tidak terlibat dalam produksi dan distribusi. Saint-Simon juga trauma dengan pengalaman pemerintahan Jacobin yang melakukan 'teror,’ sehingga ia menganggap bahwa kelas-kelas yang tidak berpunya—yang direpresentasikan oleh pemerintahan Jacobin—tidak punya kapasitas memimpin. Ia lalu merumuskan sebuah ekonomi sosialis yang dipimpin oleh sains dan industri, yang personifikasinya adalah ilmuwan dan borjuasi. Ia berharap borjuasi bisa mentransformasikan diri mereka menjadi semacam pejabat publik yang baik atau wali amanat masyarakat.

Di samping diskursus sosialisme utopis yang menekankan aktivitas penyadaran, ada pula kalangan sosialis yang berusaha menggabungkan wacana sosialis dengan aksi pekerja secara langsung, seperti Wilhelm Weitling dan Auguste Blanqui. Mereka terpengaruh oleh tradisi perjuangan politik revolusioner yang ada pada saat itu, terutama yang berasal dari Revolusi Perancis. Blanqui sendiri adalah pemimpin Komunitas Musim (Société des Saisons) yang didirikan oleh Philippe Buonarotti, bekas anggota Konspirasi Kaum yang Setara (Conspiration des Egaux). Konspirasi Kaum yang Setara, yang dulu dipimpin oleh Gracchus Babeuf, pernah melakukan kudeta untuk mengambilalih kekuasaan di Perancis pada 1797. Namun, mereka gagal dan Babeuf pun dieksekusi mati. Kalangan ini memiliki tradisi perjuangan politik revolusioner yang kuat, tetapi berwatak konspiratif dan mengutamakan teknik kudeta, bukan gerakan massa. Karena aktivitas politiknya yang seperti itu, organisasi mereka pun bersifat klandestin dan berdisiplin besi, sehingga tidak banyak orang yang tahan ikut dengan mereka. Watak gerakan mereka ini dipengaruhi oleh basis sosialnya yang terdiri dari kaum artisan atau pekerja pra-industri, yang memang tidak begitu memiliki pengalaman gerakan massa.[20]

Berbeda dengan Saint-Simon dan Owen, Marx dan Engels berhasil menangkap kenyataan perjuangan kelas proletariat-kapitalis. Dan berbeda dengan kaum ’sosialis konspiratif,’ Marx menyadari pentingnya perjuangan politik revolusioner yang berbasis massa proletariat. Pada abad ke-19, karakter massif dan politis dari perlawanan kelas pekerja mulai terlihat.[21] Pada akhir 1830-an, terbentuk partai massa buruh pertama di Inggris, yaitu partai Chartist, yang menuntut adanya pemilihan umum universal. Pendiriannya ditandai dengan aksi 150.000 buruh di Glasgow, Skotlandia. Sekalipun gerakan buruh mulai memperlihatkan karakter politiknya, tetapi karakter politiknya tidak stabil dan mudah terjatuh lagi ke dalam ketergantungan politik dengan kelas borjuasi. Sebelum membentuk partai Chartist, misalnya, gerakan buruh di Inggris mendukung perjuangan kaum borjuis kecil untuk pemilihan universal dan mendukung Partai Whig yang liberal untuk Rancangan Undang-Undang Reformasi. Saat mereka menyadari keterbatasan kaum liberal, mereka pun membentuk partai Chartist. Tapi, pada 1850-an, mereka bergantung lagi kepada Partai Liberal.

Selain itu, secara umum, gerakan buruh di masa itu lebih terfokus pada tuntutan sosial-ekonomi yang bersifat jangka pendek dan menengah, tetapi ’gagap’ ketika berusaha merumuskan proyek transformasi masyarakat. Kalaupun mereka berupaya merumuskannya, hasil perumusan mereka biasanya bersifat samar-samar dan tidak memadai. Marx dan Engels berusaha melampaui keterbatasan ini dengan mengintrodusir proyek politik sosialisme ilmiah ke dalam gerakan proletariat. Dan karena realisasi proyek politik ini mensyaratkan pengambilalihan kekuasaan politik oleh kelas proletariat, Marx dan Engels juga berupaya menggabungkan tradisi perjuangan politik revolusioner dengan gerakan massa proletariat.

Penutup

Di atas tadi, sudah diuraikan secara singkat berbagai kenyataan sosial yang mengkondisikan kemunculan pemikiran Marx dan Engels. Bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Marx dan Engels adalah menegasi berbagai hal yang dianggap keliru seraya mengafirmasi hal-hal yang dianggap valid dari diskursus dan tradisi perjuangan yang ada di masanya, ditambah dengan analisa terhadap kenyataan, untuk menghasilkan diskursus dan model perjuangan yang lebih maju. Berikut adalah beberapa upaya yang dilakukan Marx dan Engels beserta capaiannya:
  1. Marx dan Engels mengambil materialisme modern dan dialektika Hegel seraya membuang aspek mekanik dari materialisme dan aspek idealistik dari dialektika Hegel. Hasilnya adalah metode materialisme historis dan materialisme dialektis.

  2. Marx dan Engels mengambil teori nilai kerja yang ditemukan oleh para ekonom politik Inggris, tapi membuang kekeliruan yang ada di dalamnya, seperti kegagalan para ekonom politik untuk membedakan nilai yang dikandung tenaga kerja dengan nilai yang diciptakan oleh kerja dan terkandung dalam komoditi, seraya melakukan analisa atas kenyataan kapitalisme. Hasilnya adalah konsep penghisapan nilai surplus yang merupakan bentuk eksploitasi dalam masyarakat kapitalis.

  3. Marx dan Engels mengambil konsep kelas sosial dan pertentangan kelas dari historiografi-sosiologis Perancis dan membasiskannya pada aktivitas produksi dan reproduksi masyarakat. Hasilnya adalah konsep kelas sosial dan perjuangan kelas Marxis.

  4. Marx dan Engels mengambil diskursus sosialisme yang ada pada masanya, membuang sifat utopisnya seraya membasiskannya pada kenyataan sosial-material kapitalisme. Hasilnya adalah sosialisme ilmiah.

  5. Marx mengambil tradisi perjuangan politik revolusioner yang dibawa oleh kaum ’sosialis konspiratif’ terutama dari Revolusi Perancis, menolak karakter konspiratifnya, menggabungkannya dengan gerakan massa proletariat, di mana kecenderungan gerakan massa proletariat untuk membatasi diri pada reform juga dilampaui dengan mengintrodusir sosialisme ilmiah ke dalam gerakan ini. Hasilnya adalah model perjuangan politik revolusioner berbasis massa proletariat dengan senjata intelektual sosialisme ilmiah.
Capaian-capaian di atas tentu baru sebagian kecil saja dari pemikiran Marx dan Engels. Masih banyak aspek lain dari pemikiran Marx dan Engels yang tidak dibahas dalam tulisan ini, seperti teori negara, teori krisis, dan sebagainya. Kemudian, penting juga untuk dicatat bahwa Marxisme tidak berhenti di pemikiran Marx dan Engels. Marxisme terus mengalami perkembangan seiring dengan kenyataan kapitalisme yang juga berkembang. Ada banyak sekali pemikir Marxis pasca-Marx dan Engels. Tulisan ini hanya merupakan tulisan pengantar yang bertujuan memperkenalkan pemikiran Marx dan Engels dengan penekanan pada konteks sosial-historis yang mengkondisikannya. Harapannya, tulisan ini bisa menarik minat pembaca untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Marx dan Engels serta juga Marxisme. Bagi mereka yang berkepentingan untuk menghancurkan kapitalisme dan merealisasikan emansipasi manusia, Marxisme menyediakan senjata intelektual yang sangat tajam dan kaya.

Catatan:

[1] Ada juga sejarawan yang menyatakan bahwa Revolusi Industri terjadi pada 1760-an, tapi menurut Hobsbawm, semua indeks statistik yang relevan menunjukkan peningkatan tajam pada 1780-an. Lihat Eric Hobsbawm, The Age of Revolution, 1789-1898 (New York: Vintage Books, 1996), hlm. 28.

[2] Lihat Immanuel Wallerstein, The Modern World-System II: Mercantilism and the Consolidation of the European World-Economy, 1600-1750 (New York: Academic Press, 1980), hlm. 5-6.

[3] Lihat Fernand Braudel, Civilization and Capitalism 15th-18th Century: The Perspective of the World, diterjemahkan oleh Siân Reynolds (London: William Collins Sons & Co Ltd, 1948), hlm. 92 dan 98.

[4] Bertrand Russell, History of Western Philosophy: and its connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen dan Unwin Ltd, 1946), hlm. 512

[5] Gianni Vaggi dan Peter Groenewegen, A Concise History of Economic Thought: From Mercantilism to Monetarism (New York: Palgrave Macmillan, 2003), hlm. 15.

[6] Eric Hobsbawm, op. cit., hlm. 36-37.

[7] Lihat ibid., hlm. 29-35.

[8] Ibid., hlm. 54-58.

[9] Ibid., hlm. 64-66.

[10] Ibid., hlm. 66-72.

[11] Bertrand Russell, op. cit., hlm. 557.

[12] Lihat K. Marx dan F. Engels, The Holy Family or Critique of Critical Critique, diterjemahkan oleh R. Dixon (Moscow: Foreign Language Publishing House, 1956), hlm. 167-179.

[13] Lihat Ernest Mandel, The Place of Marxism in History (New Jersey: Humanities Press International, 1994), hlm. 18-26.

[14] Pembahasan tentang situasi Jerman ini sebagian besar didasarkan pada Bab I dari buku David McLellan, Marx Before Marxism (London: Macmillan, 1970), hlm. 1-23.

[15] Persekutuan Suci adalah persekutuan yang dibuat oleh kekaisaran Austria, Prussia dan Rusia pada 1815.

[16] Lihat Frederick Engels, "Socialism: Utopian and Scientific," dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works, Jilid 24 (New York: International Publishers, 1989), hlm. 285.

[17] Lihat Ernest Mandel, op. cit., hlm. 39.

[18] Pembahasan tentang Robert Owen dan Saint-Simon ini banyak mengambil dari Frederick Engels, op. cit., hlm. 290-296.

[19] Lihat catatan kaki nomor 360 dan 361 dalam ibid., hlm. 634.

[20] Lihat Ernest Mandel, op. cit., hlm. 47-53.

[21] Pembahasan tentang gerakan buruh pada zaman Marx dan Engels ini banyak mengambil dari ibid., hlm. 55-62.

Comments

Popular posts from this blog

Materialisme Historis: Metode Analisis Sosial Marxis

Produktivitas Buruh Meningkat, Upah Riil Stagnan

Israel dan Palestina: sebuah kisah kolonialisme modern