Imperialisme Sebagai Tahap Monopoli dari Kapitalisme

Judul: Imperialism, The Highest Stage of Capitalism: A Popular Outline
Sumber: Collected Works, Jilid 22
Penulis: V.I. Lenin
Penerbit: Progress Publishers, Moscow, 1964
Tebal: 119 hlm.

Sepanjang sejarahnya, istilah ‘imperialisme’ digunakan dalam arti yang beragam oleh pihak yang berbeda-beda. Istilah itu pertama kali menjadi kosakata politik di Inggris pada 1870-an. Namun, istilah itu baru digunakan secara umum pada 1890-an. Saat itu, istilah tersebut menjadi kosakata politik dan jurnalistik dalam wacana tentang penaklukan kolonial. Pada 1900-an, saat para intelektual mulai menulis buku tentangnya,[1] sebagian menggunakan istilah itu dengan penekanan pada rivalitas antar negara imperialis di Eropa. Sejak Perang Dunia II, istilah ‘imperialisme’ menjadi bermakna penindasan dan eksploitasi negara-negara lemah dan miskin oleh negara-negara kuat.[2]

Seiring dengan perbedaan dan perubahan makna istilah ’imperialisme,’ terjadi perdebatan-perdebatan untuk memperjuangkan pemaknaan tertentu atas istilah itu. Kaum Marxis pun ikut di dalam perjuangan untuk memaknai istilah itu. Konsep imperialisme pertama kali masuk ke dalam wacana Marxis pada 1900-an. Di antara generasi awal Marxis yang membahas imperialisme adalah Nikolai Bukharin dan Vladimir Ilych Lenin. Dalam membahas imperialisme, Bukharin dan Lenin terpengaruh oleh buku Finance Capital karya Rudolf Hilferding, seorang teoritisi Marxis dari Jerman yang lahir di Austria. Hilferding sendiri tidak menteorisasikan imperialisme dalam buku itu, tetapi pembahasannya tentang kapital finansial menjadi landasan bagi Bukharin dan Lenin untuk membahas imperialisme. Menurut ekonom Anthony Brewer, teori Marxis klasik tentang imperialisme dikonstruksi oleh ketiga pemikir ini.[3]

Tulisan ini hendak mengulas imperialisme dengan berpijak pada pamflet Lenin yang terkenal, Imperialism, The Highest Stage of Capitalism: A Popular Outline (selanjutnya akan disingkat dengan Imperialism). Pamflet ini ditulis selama Januari-Juni 1916 di Zurich, saat Perang Dunia I berkecamuk, dan pertama kali diterbitkan dalam bentuk pamflet di pertengahan tahun 1917. Melihat konteks saat itu dan banyaknya polemik yang ditujukan terhadap Karl Kautsky, seorang pemikir Marxis terkemuka asal Jerman di Internasional Kedua, pamflet ini sepertinya ditulis bukan hanya untuk membahas imperialisme, tetapi juga untuk mengintervensi krisis yang akut di gerakan sosialis dan berakibat pada pecahnya Internasional Kedua saat Perang Dunia I. 

Menjelang Perang Dunia I,  kaum Marxis revolusioner, seperti Lenin dan Rosa Luxemburg, sudah memenangkan kebijakan anti-perang imperialis di Internasional Kedua. Kongres Stuttgart 1907 dan Kongres Basle 1912, menyepakati resolusi yang menyatakan agar partai-partai sosialis yang tergabung dalam Internasional Kedua menghalangi terjadinya perang, dan jika perang terjadi, maka tugas mereka adalah memanfaatkan krisis ekonomi dan politik akibat perang untuk membangkitkan perlawanan rakyat dan mempercepat penggulingan kapitalisme. Namun, kesepakatan ini tidak ditaati oleh partai-partai sosialis yang utama. Mereka malah mendukung perang yang dilakukan oleh negara masing-masing.[4] Lenin menyebut mereka sebagai ’sosial-chauvinis,’ yakni sosialis dalam kata-kata, chauvinis dalam tindakan.

Pamflet Lenin terdiri dari 10 Bab. Bab 1-6 membahas ciri-ciri imperialisme sebagai kapitalisme monopoli, yakni konsentrasi produksi dan monopoli; peran baru dari bank; kapital finansial dan oligarki finansial; ekspor kapital; pembagian dunia di antara asosiasi-asosiasi kapitalis-monopolis, dan pembagian dunia di antara negara-negara imperialis. Sementara Bab 7, 8 dan 10 membahas imperialisme sebagai kapitalisme yang sekarat dan membusuk, yang merupakan ciri dari imperialisme sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme. Bab 9 membahas kritik dari berbagai pihak terhadap imperialisme, terutama Kautsky. Adapun tulisan ini akan dimulai dari pembahasan ciri-ciri utama imperialisme sebagai kapitalisme monopoli; baru masuk ke imperialisme sebagai kapitalisme yang sekarat dan membusuk; baru membahas debat Lenin vs. Kautsky, dan terakhir, tulisan ini akan ditutup dengan sebuah catatan penutup. 

Konsentrasi Produksi dan Monopoli

Lenin mengawali Bab I pamflet Imperialism dengan membahas perkembangan konsentrasi produksi dalam kapitalisme di masa itu. ‘Konsentrasi produksi yang luar biasa cepat dalam perusahaan-perusahaan yang semakin besar adalah salah satu ciri utama dari kapitalisme,’[5] ungkapnya. Di Amerika pada 1909, misalnya, perusahaan berskala besar dengan output 1 juta dollar atau lebih berjumlah 3.060 atau 1,1 persen dari total 268.491 perusahaan. Perusahaan-perusahaan ini mempekerjakan 2 juta pekerja atau 30,5 persen dari total 6,6 juta pekerja. Nilai output mereka adalah 9 miliar dollar AS atau 43,8 persen dari total output 20,7 miliar dollar AS. Jadi, nyaris setengah dari total produksi yang ada di Amerika saat itu terkonsentrasi di 1,1 persen perusahaan berskala-besar.

Kemudian, ciri penting lain dari kapitalisme saat itu yang terkait dengan konsentrasi produksi, adalah penggabungan produksi (combination of production). Yang dimaksud dengan penggabungan produksi di sini adalah pengelompokan cabang-cabang industri yang berbeda dalam satu perusahaan. Pengelompokan itu bisa berupa pengelompokan cabang-cabang industri yang menjadi tahap-tahap dalam membuat sebuah produk, mulai dari pembuatan bahan baku sampai barang jadi, atau pengelompokan cabang industri produk tertentu dengan cabang-cabang industri pelengkapnya, seperti perusahaan pembuatan bahan-bahan pengemasan. Konsentrasi dan penggabungan produksi ini membuat industri dan pasar didominasi oleh segelintir perusahaan raksasa.

Konsekuensi dari konsentrasi produksi ini adalah monopoli. ‘Pada tahap tertentu perkembangannya, konsentrasi itu sendiri, sebagaimana adanya, akan langsung mengarah pada monopoli,’[6] demikian Lenin. Pasalnya, jumlah perusahaan raksasa yang cuma sedikit dan mendominasi industri serta pasar, membuat mereka mudah mencapai kesepakatan-kesepakatan di antara mereka, seperti kesepakatan tentang jumlah barang yang harus diproduksi, penetapan harga, dan sebagainya. Penting dicatat, para ekonom liberal biasanya mempertentangkan monopoli dengan perdagangan bebas. Padahal, perdagangan bebas juga menyebabkan konsentrasi produksi yang pada gilirannya akan mengakibatkan monopoli. Jadi, terlepas dari apakah suatu negara menerapkan proteksi atau perdagangan bebas, selama sistemnya adalah kapitalisme, maka konsentrasi produksi yang mengarah pada monopoli akan tetap terjadi.

Masa awal kapitalisme sendiri ditandai dengan persaingan bebas, baru kemudian berkembang menjadi monopoli. Di sini, Lenin menggambarkan tiga fase historis dari monopoli: (1) Tahun 1860-70 merupakan puncak dari persaingan bebas, monopoli masih berada dalam tahap embrio; (2) Setelah krisis 1873, mulai muncul kartel-kartel, tapi mereka masih menjadi pengecualian dan tidak tahan lama; (3) Pada boom ekonomi di akhir abad ke-19 dan krisis 1900-1903, kartel menjadi fondasi dari seluruh kehidupan ekonomi. Kapitalisme telah berubah menjadi kapitalisme monopoli atau imperialisme. Di Jerman, terdapat 250 kartel pada 1896 dan 385 kartel pada 1905, sementara di Amerika Serikat, terdapat 185 trust pada 1900 dan 250 trust pada 1907.

Monopoli telah membawa kemajuan pesat dalam sosialisasi produksi, terutama sosialisasi proses perbaikan dan penemuan teknik-teknik produksi baru. Meski demikian, modus apropriasinya masih bersifat pribadi. Alat-alat produksi yang sudah bersifat sosial itu masih menjadi milik pribadi segelintir kapitalis-monopolis. Persaingan bebas masih menjadi kerangka formal di mana para monopolis beroperasi. Karenanya, monopoli tidak bisa menghilangkan krisis. Sebaliknya, monopoli yang tercipta di cabang-cabang industri tertentu, mengintensifkan anarki yang terdapat dalam produksi kapitalisme secara keseluruhan. Tingkat kemajuan teknik yang sangat cepat juga meningkatkan disparitas antar-sektor ekonomi, sehingga mengakibatkan anarki dan krisis. Kapitalisme monopoli merupakan fase transisional dari persaingan bebas menuju sosialisasi sepenuhnya. Ia adalah tahap tertinggi dari perkembangan kapitalisme.

Monopoli dan Kapital Finansial

Setelah membahas konsentrasi produksi yang berimplikasi pada monopoli, dalam Bab II, Lenin membahas peran bank terkait konsentrasi dan monopoli. Fungsi dasar bank sebenarnya adalah sebagai perantara dalam pembayaran. Mereka mengumpulkan berbagai jenis pendapatan uang―bukan hanya uang para kapitalis, tetapi juga uang para pengusaha kecil, lapisan atas kelas pekerja, dan lain-lain―untuk kemudian disalurkan dan digunakan oleh kelas kapitalis. Mereka mentransformasikan kapital uang yang tidak aktif menjadi kapital aktif, yakni kapital yang menghasilkan keuntungan. Dalam fungsi dasarnya ini saja, bank sudah memainkan peran dalam mengkonsentrasikan kapital. ’Dalam setiap kesempatan, bank sangat mengintensifkan dan mempercepat proses konsentrasi kapital dan pembentukan monopoli di semua negara kapitalis, terlepas dari semua perbedaan dalam hukum perbankan mereka.’[7]
 
Namun, dalam perkembangannya, bank tidak lagi hanya memainkan fungsi perantara dan pelengkap dalam kapitalisme. Di sektor perbankan sendiri, terjadi  konsentrasi dan monopoli. Misalnya, di Jerman pada 1912-13, 49 persen dari total deposit yang ada terkonsentrasi di 9 bank Berlin yang besar; 36 persennya ada pada 48 bank yang memiliki kapital di atas 10 juta Mark; 12 persennya ada pada 115 bank yang memiliki kapital 1-10 juta Mark, dan sisanya sebesar 3 persen berada pada bank-bank kecil yang jumlah kapitalnya di bawah 1 juta Mark. Terjadinya konsentrasi juga bisa dilihat dari adanya grup-grup bank raksasa, seperti grup Deutsche Bank dari Jerman, yang secara langsung dan tidak langsung, permanen dan tidak permanen, memiliki 87 bank yang menjadi anak perusahaannya. Sementera kecenderungan menuju monopoli dapat dilihat dari terbentuknya trust di bidang perbankan.

Konsekuensi dari konsentrasi dan monopoli di bidang perbankan ini ialah subordinasi industri di bawah bank. Pasalnya, jumlah bank yang dapat dipilih oleh perusahaan-perusahan industri untuk meminta kredit, semakin sedikit. Industri menjadi semakin bergantung kepada sejumlah kecil bank. Bank menjadi memiliki kemampuan untuk memastikan posisi finansial dari berbagai kapitalis dan mengontrol atau mempengaruhi mereka dengan cara memfasilitasi atau membatasi kredit. Mereka secara relatif menentukan nasib industri. Pada saat yang bersamaan, terbentuk ‘hubungan personal’ (personal link-up) atau merger antara bank dengan perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan.

Merger atau hubungan personal itu terbentuk melalui akuisisi saham atau penunjukan direktur-direktur bank menjadi anggota Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris dari perusahaan-perusahaan industri serta perdagangan, dan demikian pula sebaliknya. Misalnya, enam bank Berlin yang terbesar diwakili oleh direktur mereka di 344 perusahaan industri, dan oleh anggota dewan komisaris mereka di 407 perusahaan lainnya. Sementara pada 1910, dalam Dewan Komisaris keenam bank ini, terdapat 51 industriawan terbesar. Hubungan personal juga terbentuk antara bank dan industri dengan pemerintah. Caranya mirip, seperti dengan adanya anggota parlemen atau lembaga legislatif daerah di Dewan Komisaris bank-bank besar.

Dengan demikian, jenis kapital yang dominan dalam kapitalisme monopoli atau imperialisme adalah kapital finansial. Apa itu kapital finansial? Di sini, Lenin meminjam definisi dari Hilferding, ’Kapital finansial adalah kapital yang dikontrol oleh bank dan digunakan para industrialis.’[8] Adapun supremasi kapital finansial di atas jenis kapital lainnya memiliki arti dominasi para rentenir dan oligarki finansial. Hal itu juga berarti dominasi sejumlah kecil negara yang secara finansial sangat kuat di atas negara-negara lainnya. Pada masa itu, negara-negara tersebut adalah Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan Jerman. Total nilai surat berharga di keempat negara itu pada tahun 1910 adalah 479.000 juta Franc atau nyaris 80 persen dari total nilai surat berharga di seluruh dunia.

Kapital finansial-monopoli memiliki kemampuan untuk mengeruk keuntungan dengan sangat besar. Lenin menyebut jenis keuntungan ini dengan istilah ’superprofit,’ yaitu keuntungan yang berada di atas keuntungan normal yang biasa didapat oleh perusahaan non-monopoli. Sebagai contoh, pada 1887, Havemeyer mendirikan Sugar Trust dengan menggabungkan 15 perusahaan kecil yang total kapitalnya sebesar 6,5 juta dollar. Sugar Trust kemudian menetapkan harga monopoli. Pada 1909, kapital Sugar Trust sudah sebesar 90 juta dollar. Itu berarti dalam 22 tahun, kapital Sugar Trust telah meningkat lebih dari 10 kali lipat. Kapital finansial juga bisa memperoleh keuntungan di saat industri dan perdagangan sedang stagnan, yaitu melalui riba. Misalnya, pada 1904, bank-bank mendapatkan keuntungan 10 persen dari pinjaman sebesar 800 juta Franc ke Rusia, dan keuntungan 18,75 persen dari pinjaman sebesar 62,5 juta Franc ke Maroko.

Ekspor Kapital

Kemampuan kapital finansial-monopoli untuk mengeruk keuntungan dengan sangat besar telah memunculkan situasi kelebihan kapital di negara-negara maju. Dan karena watak kapital adalah mencari keuntungan, para monopolis-finansial enggan menginvestasikan kapital mereka di sektor agraria di negara mereka. Pasalnya, sektor ini terbelakang dibandingkan dengan industri. Sementara itu, di negara-negara terbelakang, muncul kondisi yang kondusif untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi, karena jumlah kapital yang ada masih sedikit sehingga tingkat persaingan masih rendah, harga tanah relatif rendah, upah rendah, harga bahan baku murah, infrastruktur dasar untuk industri, seperti rel kereta api, sudah atau sedang dibangun. Ekspor kapital pun dianggap sebagai tindakan yang menguntungkan.

Ekspor kapital, dengan demikian, menjadi salah satu ciri penting kapitalisme monopoli atau imperialisme. Sebelumnya, pada masa persaingan bebas, jenis ekspor yang dominan adalah ekspor barang. Menurut ekonom John Weeks, pada masa awal kapitalisme atau apa yang disebut oleh Marx sebagai ’tahap manufaktur’ dari kapitalisme, sistem kredit belum berkembang, sehingga kapital uang masih sulit untuk bergerak. Begitu pula, sebagian besar dunia masih pra-kapitalis dan peran uang masih sangat terbatas, sehingga gerak uang dan kapital produktif dibatasi oleh relasi-relasi sosial di luar formasi sosial kapitalisme. Akibatnya, yang berkembang adalah gerak barang-barang atau perdagangan yang kemudian membentuk pasar dunia.[9] Ekspor kapital sendiri baru mencapai tingkat yang masif pada awal abad ke-20.

Ekspor kapital bisa mengambil bentuk investasi industri atau pinjaman utang. Dalam kasus pinjaman, ia biasa diberikan dengan ketetapan bahwa sebagian pinjaman itu akan dipakai untuk membeli barang-barang tertentu dari negara kreditor. Selama 1890-1910, Perancis sangat sering menggunakan cara ini. Di sini, ekspor kapital menjadi cara untuk mendorong ekspor barang. Negara kreditor pun mendapatkan keuntungan ekstra dari pembelian barang, selain dari bunga utang. Kemudian, ekspor kapital juga mendorong penyebaran kapital finansial ke seluruh dunia. Di sini, terdapat peran penting dari bank yang dibangun di koloni-koloni. Inggris, misalnya, pada 1904 memiliki 50 bank kolonial dengan 2.279 cabang. Begitu pula, menurut Lenin, ekspor kapital mempercepat perkembangan kapitalisme di negara tujuan, dan karenanya, memperluas serta memperdalam perkembangan kapitalisme di seluruh dunia. Namun, ekspor kapital cenderung menahan perkembangan kapitalisme di negara asal.

Pembagian Teritori Dunia

Dengan meningkatnya ekspor kapital dan meluasnya pengaruh asosiasi-asosiasi monopolis yang besar di dunia, muncul kesepakatan-kesepakatan internasional di antara asosiasi-asosiasi tersebut dan pembentukan kartel-kartel internasional. Dengan kata lain, monopoli sudah mencapai skala internasional. Di antara kesepakatan yang mereka buat adalah tentang pembagian teritori dunia di antara mereka. Sebagai contoh, pada 1907, dua trust listrik raksasa, yaitu A.E.G. asal Jerman dan G.E.C. asal Amerika Serikat, membuat kesepakatan untuk membagi dunia di antara mereka. A.E.G. mendapatkan Jerman, Austria, Belanda, Denmark, Swiss, Turki, dan negara-negara Balkan sebagai wilayah operasinya, sementara G.E.C. mendapatkan Amerika dan Kanada. Mereka juga membuat kesepakatan-kesepakatan khusus tentang penetrasi anak perusahaan ke cabang-cabang industri lain dan negara-negara lain yang secara formal belum dibagi, serta tentang pertukaran eksperiman dan penemuan-penemuan baru.

Pembagian dunia ini tidak bersifat tetap. Pembagian ulang bisa terjadi akibat hubungan kekuatan yang berubah karena perkembangan yang tidak merata, perang, kebangkrutan, dan sebagainya. Para kapitalis-monopolis membagi dunia berdasarkan kekuatan mereka, dan kekuatan mereka berubah-ubah, tergantung dari tingkat perkembangan ekonomi dan politiknya. Monopoli tidak bisa menghapuskan persaingan selama substansinya adalah kelas sosial, meski persaingan di antara para monopolis bisa mengambil bentuk damai atau perang. Bentuk apa yang diambil oleh suatu momen persaingan bergantung pada situasi spesifik yang ada dan bersifat sementara. Begitu pula, persaingan tidak harus terjadi hanya di antara para monopolis swasta, tetapi juga bisa melibatkan monopoli negara.

Setelah membahas pembagian dunia di antara para monopolis, dalam Bab VI, Lenin membahas pembagian dunia oleh negara-negara imperialis. Seiring dan terkait dengan pembagian dunia di antara asosiasi-asosiasi monopoli, terjadi pula pembagian teritori dunia di antara negara-negara imperialis. Dengan menggunakan data dari Supan, seorang geografer, Lenin mengatakan bahwa di planet bumi ini sudah tidak ada lagi wilayah kosong yang belum dikuasai oleh negara-negara kapitalis. Implikasinya, yang mungkin terjadi di depan hanyalah pembagian ulang, dimana suatu wilayah hanya bisa berpindah kepemilikan dari satu pihak ke pihak lain, tetapi tidak ada lagi wilayah yang statusnya berubah dari kosong menjadi milik satu pihak.

Penguasaan teritori dalam bentuk kebijakan kolonial sebenarnya sudah terjadi sebelum masa imperialisme. Namun, apa yang membedakan masa imperialisme dengan masa persaingan bebas adalah intensitas perjuangan untuk penguasaan dan pembagian teritori dunia. Misalnya, luas daerah koloni dari enam negara imperialis di Eropa, yakni Inggris, Rusia, Perancis, Jerman, Amerika Serikat dan Jepang, bertambah dari 40,4 juta km persegi pada 1876 (tahun berakhirnya masa perdagangan bebas) menjadi 65 juta km persegi pada 1914. Terjadi penambahan sebesar 24,6 juta km persegi atau lebih dari 50 persen. Selama masa transisi dari perdagangan bebas ke imperialisme, terjadi boom penaklukan kolonial.

Ada setidaknya dua faktor penting yang mendorong terjadinya penaklukan kolonial. Pertama, ekspor kapital, karena ekspor kapital dalam bentuk investasi akan lebih mudah menggunakan cara-cara monopoli untuk menghapuskan persaingan, mengamankan ’koneksi-koneksi’ yang diperlukan, dan sebagainya, dalam sebuah pasar kolonial daripada dalam pasar non-kolonial. Kedua, untuk menguasai sumber bahan baku, karena dengan semakin berkembangnya kapitalisme, kekurangan bahan baku akan semakin terasa. Meski Lenin membahas dua faktor itu dalam konteks penaklukan kolonial, tetapi menurut saya, dua faktor itu juga dapat diberlakukan pada penguasaan atas negara lain yang tidak mengambil bentuk penaklukan kolonial.

Penaklukan kolonial memang bukan satu-satunya bentuk penguasaan atas negara lain. Ada negara-negara yang sekalipun secara formal merdeka, tetapi bergantung secara finansial dan diplomatik kepada negara-negara imperialis. Salah satu bentuknya adalah negara semi-kolonial. Tetapi ada juga bentuk lainnya, seperti Portugal, yang sekalipun merdeka dan memiliki koloninya sendiri, tetapi merupakan daerah protektorat Inggris. Portugal dan koloni-koloninya mendapat perlindungan dari Inggris untuk mempertahankan posisi mereka di hadapan Spanyol dan Perancis. Sebagai imbalannya, Inggris mendapatkan privilese-privilese tertentu, seperti privilese untuk mengekspor barang dan kapital ke Portugal serta koloni-koloninya.

Kapitalisme Monopoli: Kapitalisme yang Sekarat dan Membusuk

Berdasarkan paparan di atas, kita dapati definisi imperialisme sebagai kapitalisme monopoli yang ciri-ciri dasarnya adalah sebagai berikut (1) dominasi monopoli sebagai hasil dari perkembangan konsentrasi produksi dan kapital; (2) dominasi oligarki finansial dan kapital finansial―merger antara kapital bank dan kapital industrial―sebagai hasil dari konsentrasi kapital dan monopoli di bidang perbankan; (3) ekspor kapital mendapatkan tempat yang sangat penting akibat situasi kelebihan kapital di negara-negara maju; (4) pembentukan asosiasi-asosiasi kapitalis monopolis internasional yang membagi teritori dunia di antara mereka, dan (5) pembagian teritori dunia di antara negara-negara imperialis yang tidak lagi menyisakan wilayah kosong di planet bumi.

Namun, definisi di atas baru menjelaskan esensi ekonomi dari imperialisme, belum menjelaskan posisi imperialisme dalam pentahapan kapitalisme. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, monopoli telah membawa kemajuan pesat dalam sosialisasi produksi, tetapi modus apropriasinya masih bersifat pribadi dan persaingan bebas masih menjadi kerangka formal di mana para monopolis beroperasi. Apa yang terjadi, dengan demikian, adalah penajaman kontradiksi pokok dalam kapitalisme, yakni kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dengan modus apropriasi yang bersifat pribadi.[10] Menurut Lenin, kapitalisme monopoli merupakan kapitalisme yang sedang sekarat (moribund). Tidak ada lagi tahap perkembangan kapitalisme yang lebih tinggi dari kapitalisme monopoli. Kapitalisme monopoli atau imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme.

Pertanyaannya, apa yang terjadi jika penajaman kontradiksi di atas tidak dilampaui dengan mengganti modus apropriasinya atau ’cangkang sosialnya?’ Lenin mengatakan, ’cangkang sosial’ itu akan membusuk (decay) jika tidak diganti. Pembusukan ini mewujud setidaknya dalam tiga bentuk. Pertama, dalam kecenderungan stagnasi teknik produksi akibat penetapan harga monopoli. Dalam teori Marxis, kemajuan teknik produksi memang didorong oleh persaingan yang menyebabkan para kapitalis harus meningkatkan produktivitas agar bisa menjual produknya dengan harga lebih murah dari saingannya. Meski demikian, kecenderungan stagnasi ini hanya bersifat parsial, tidak bisa total, yakni hanya di cabang industri tertentu, di negara-negara tertentu, atau untuk sementara waktu saja. Monopoli tidak bisa menghilangkan persaingan secara total.

Kedua, pembusukan ini mewujud dalam tumbuhnya kelas kapitalis-rentenir yang mengambil keuntungan masif dari riba tanpa terlibat dalam usaha apapun. Lenin menyebut fenomena ini sebagai ’parasitisme.’ Misalnya, pada 1899, pendapatan tahunan Inggris dari perdagangan luar negeri dan kolonial mereka adalah 18 juta Pound, sementara pendapatan para rentenir Inggris dari ’investasi’ mereka adalah 90-100 juta Pound. Pendapatan para rentenir, dengan demikian, lima kali lebih besar dari pendapatan perdagangan luar negeri Inggris. Sebagai wujud dari pembusukan ini, muncul juga ‘negara-negara rente’ dan dunia terbagi antara segelintir ‘negara rente’ dengan mayoritas negara pengutang.

Ketiga, pembusukan ini mewujud dalam penciptaan dan penyogokan pekerja lapis atas, atau apa yang disebut oleh Lenin dengan ‘aristokrasi buruh,’ yang dimungkinkan karena adanya superprofit. Menjelang dan pada masa Perang Dunia I, oportunisme lapisan ‘aristokrasi buruh’ ini muncul dalam bentuk sosial-chauvinisme. Alih-alih menaati kesepakatan dalam Internasional Kedua untuk menolak perang dan memanfaatkan krisis ekonomi serta politik akibat perang untuk membangkitkan perlawanan rakyat demi menggulingkan kapitalisme, mereka malah mendukung perang yang dilakukan oleh negara masing-masing. Jadi, imperialisme, selain merupakan kapitalisme monopoli, juga merupakan kapitalisme yang sekarat dan membusuk.[11]

Debat Lenin vs. Kautsky: Kemustahilan Ultra-Imperialisme

Ada sejumlah pemikir yang dikritik oleh Lenin dalam pamflet Imperialism, seperti Hobson, Hilferding, dan lain-lain. Namun, kritik sebagian besar ditujukan kepada Kautsky yang menelorkan teori ultra-imperialisme. Seperti yang sudah dinyatakan di atas, pamflet Imperialism ditulis tidak hanya untuk membahas imperialisme, tetapi juga untuk mengintervensi krisis yang akut dalam gerakan sosialis saat itu akibat oportunisme kaum sosial-chauvinis. Kautsky sendiri bukan termasuk kaum sosial-chauvinis. Ia bahkan menentang kaum sosial-chauvinis dan Perang Dunia I. Namun, teorinya tentang ultra-imperialisme, menurut Lenin, mengaburkan kontradiksi yang menajam dalam imperialisme dan karenanya, seperti mengajak berdamai serta bersatu dengan kaum sosial-chauvinis.

Di sini, kita akan membahas terlebih dahulu teori ultra-imperialisme Kautsky,[12] baru kemudian membahas bantahan dan kritik dari Lenin. Teori Kautsky bersandar pada perkembangan sektor industri yang lebih cepat dari sektor agraria, padahal sektor agraria menyediakan makanan, bahan baku dan konsumen untuk sektor industri. Ketidakseimbangan ini mengemuka dalam dua jenis krisis di sektor industri, yakni overproduksi jika yang terjadi adalah kegagalan sektor agraria untuk menyerap barang-barang industri, dan kelangkaan jika yang terjadi adalah kegagalan sektor agraria untuk men-supply bahan baku dan makanan kepada industri. Karena sektor industri memiliki kemampuan untuk terus berekspansi, maka terdapat tekanan terus-menerus untuk memperluas zona agraria. Pada masa awal kapitalisme, dimana perdagangan bebas masih dominan, keseimbangan sektor industri dan agraria bisa dipertahankan lewat hubungan Inggris yang menjadi sektor industri dunia dengan bagian lain dunia yang menjadi zona agrarianya. Perdagangan bebas pun menjadi cara pertukaran di antara keduanya.

Namun, karena ada kecenderungan zona industri mendominasi zona agraria, maka terdapat keinginan di negara-negara agraris untuk mengembangkan industrinya. Di negara-negara agraris itu sendiri, sudah terbangun prasyarat material untuk adanya industri. Beredarnya barang-barang industri asing di negara-negara agraris telah menghancurkan industri pra-kapitalis dalam negeri, sehingga melepas sejumlah besar tenaga-kerja yang bisa dipekerjakan oleh kapital. Kapital asing yang masuk ke negara-negara agraris untuk membangun produksi bahan baku dan rel kereta api demi pembukaan pasar baru dan peningkatan kemampuan negara agraris dalam menyerap barang mereka, ikut berkontribusi terhadap penciptaan prasyarat material bagi industri.

Muncul negara-negara industri di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang menantang Inggris dan meminta pembagian teritori dunia dengan cara baru. Negara-negara industri yang ada kemudian menerapkan pola serupa dengan Inggris terhadap negara-negara agraris. Mereka mengekspor kapital ke negara-negara agraris untuk membangun rel kereta api dan produksi bahan baku. Namun, resiko bahwa negara-negara agraris akan berubah menjadi negara industri yang bersaing dengan mereka mendorong mereka untuk menundukkan negara-negara agraris―dengan menjadikannya koloni atau ’lingkungan pengaruh’ (spheres of influence)―demi membatasi mereka agar hanya berproduksi di bidang agraria. Era perdagangan bebas telah berganti menjadi era imperialisme.

Tetapi, apakah imperialisme merupakan satu-satunya cara bagi negara industri untuk memperluas zona agraria dalam kapitalisme? Menurut Kautsky, penundukkan zona agraria oleh negara-negara industri akan selalu ada dalam kapitalisme dan hanya bisa diatasi oleh sosialisme. Namun, kebijakan imperialis berupa perebutan zona-zona agraria yang mengakibatkan perlombaan senjata dan penajaman kontradiksi di antara negara-negara industri, bukanlah sebuah keharusan. Dengan meningkatnya penentangan negara-negara agraris yang sudah berkembang, dan oposisi pekerja di negara-negara industri akibat beban pajak yang semakin tinggi, juga karena ongkos perang yang mahal dan mengancam akumulasi kapital serta ekspor kapital itu sendiri, maka para kapitalis bisa mengambil kebijakan lain yang lebih rasional.

Kebijakan apakah itu? Serupa dengan para monopolis di ranah ekonomi yang pada akhirnya membentuk kartel untuk menahan persaingan, maka negara-negara imperialis juga bisa membuat sebuah federasi negara-negara imperialis. Kautsky bahkan berharap bahwa kebrutalan Perang Dunia I akan memberikan pelajaran bagi para kapitalis untuk mengambil kebijakan yang lebih rasional ini. Dengan pembentukan federasi negara-negara imperialis, dunia akan memasuki fase ultra-imperialisme. Jadi, bagi Kautsky, masih ada fase yang lebih tinggi dari imperialisme di dalam kapitalisme, yaitu ultra-imperialisme. Tentu saja kaum sosialis harus tetap melawan ultra-imperialisme dengan keras, namun dengan ultra-imperialisme, dunia akan bergerak ke arah lain, bukan ke arah perlombaan senjata dan ancaman atas perdamaian dunia.

Sekarang, mari kita lihat bantahan dan kritik Lenin terhadap Kautsky. Pertama-tama, Lenin mengritik landasan teori Kautsky bahwa imperialisme disebabkan oleh karena ketidakseimbangan antara sektor industri dengan agraria, yang mendorong negara-negara industri untuk menundukkan negara-negara agraris. Jenis kapital yang dominan pada masa imperialisme bukanlah kapital industrial, tetapi kapital finansial―pendapat Lenin mengenai dominasi kapital finansial sudah dibahas di atas, sehingga tidak perlu lagi dijabarkan di sini. Adapun penundukkan bukan hanya ditujukan terhadap negara-negara agraris, tetapi juga terhadap negara-negara industri, seperti hasrat Jerman untuk menundukkan Belgia.

Kemudian, situasi ultra-imperialisme dimana negara-negara imperialis akan bersatu di bawah sebuah federasi, adalah suatu kemustahilan. Pasalnya, negara-negara imperialis membagi dunia berdasarkan kekuatan mereka, sementara kekuatan dan tingkat perkembangan ekonomi mereka tidak merata dan berubah-ubah. Kapital finansial juga ikut meningkatkan ketidakmerataan di antara mereka. Misalnya, dari tiga negara yang saat itu mendominasi dunia, yakni Jerman, Inggris dan Amerika Serikat, Inggris memiliki banyak koloni, sementara Jerman dan Amerika hanya memiliki sedikit koloni. Terkadang memang terbentuk aliansi antar-imperialis, tapi sifatnya hanya sementara dan tidak permanen. Negara-negara imperialis tidak bisa menghapuskan rivalitas di antara mereka, meski rivalitas di antara mereka bisa mengambil bentuk damai atau perang.

Catatan Penutup

Berdasarkan paparan di atas, bisa kita lihat bahwa Lenin memiliki dua jenis definisi tentang imperialisme. Pertama, definisi imperialisme dilihat dari esensi ekonominya, yakni imperialisme sebagai kapitalisme monopoli yang dicirikan oleh dominasi monopoli; dominasi kapital finansial dan oligarki finansial; maraknya ekspor kapital; dan pembagian teritori dunia di antara asosiasi-asosiasi monopolis serta negara-negara imperialis. Kedua, definisi imperialisme dilihat dari posisinya dalam pentahapan kapitalisme, yakni sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme yang dicirikan oleh adanya kemajuan pesat dalam sosialisasi produksi sekaligus pembusukan ’cangkang sosialnya.’

Pertanyaannya, apakah teori Lenin tentang imperialisme masih relevan saat ini? Tentu saja, tetapi bukan dalam arti bahwa teori ini bisa di-copy and paste begitu saja ke situasi sekarang, melainkan dalam arti bahwa teori ini bisa digunakan sekaligus dikembangkan sebagai salah satu referensi dalam menganalisa situasi masa kini. Beberapa ciri kapitalisme monopoli yang disebut Lenin masih ada sekarang ini. Misalnya, persentase penjualan empat perusahaan ritel umum (general merchandise stores) terbesar di Amerika Serikat meningkat dari 47,3 persen pada 1992 menjadi 73,2 persen pada 2007. Persentase penjualan empat toko buku terbesar di Amerika juga meningkat dari 41,3 persen pada 1992 menjadi 71 persen pada 2007. Begitu pula, persentase penjualan empat toko komputer dan perangkat lunak (software) terbesar di Amerika meningkat dari 26,2 persen pada 1992 menjadi 73,1 persen pada 2007.[13] Ini adalah indikasi dari adanya konsentrasi dan monopoli seperti yang dibahas Lenin dalam Imperialism.

Namun, teori Lenin bukan tanpa kekurangan. Walau bagaimanapun, Lenin adalah makhluk historis yang pemikirannya tentu dibatasi oleh cakrawala zamannya. Begitu pula, dari anak judul ’A Popular Outline’ di Imperialism, pamflet ini sepertinya memang bukan ditujukan untuk membahas imperialisme secara mendalam, tetapi lebih untuk menyajikan sebuah ’sketsa’ atau dalam istilah Lenin sendiri, ’gambaran bersusun’ (composite picture) dari imperialisme. Pamflet ini juga ditulis Lenin di Zurich dalam situasi kekurangan bahan bacaan berbahasa Inggris, Perancis dan Rusia, serta di bawah ancaman sensor Tsar.

Di sini, saya hanya hendak mengomentari beberapa poin dalam penjelasan Lenin tentang ekspor kapital yang menurut saya, cukup problematik. Menurut Lenin, ekspor kapital terjadi karena situasi kelebihan kapital di negara-negara maju dan kondisi yang menguntungkan bagi kapital di negara-negara terbelakang. Kemudian Lenin juga mengungkap efek dari ekspor kapital, yaitu mempercepat perkembangan kapitalisme di negara tujuan, tetapi cenderung menahan perkembangan kapitalisme di negara asal. Jadi, ekspor kapital cenderung dilakukan oleh negara-negara maju ke negara-negara terbelakang, dan efeknya adalah mempercepat perkembangan kapitalisme di negara-negara terbelakang serta menahan perkembangan kapitalisme di negara-negara maju.

Pernyataan Lenin memang kontra-intuitif, terutama dari sudut pandang kita yang hidup di negara berkembang. Pertanyaannya, bukankah ekspor kapital dalam bentuk pinjaman utang harus dibayar kembali beserta dengan bunganya oleh negara-negara terbelakang atau berkembang (non-maju) ke negara maju? Bukankah ini berarti ekspor kapital dalam bentuk pinjaman dari negara maju ke negara non-maju akan berakibat pada ekspor kapital dalam jumlah lebih besar (karena ditambah bunga) dari negara non-maju ke negara maju? Lalu, bagaimana dengan industri berbasis investasi asing yang tergantung pada impor (untuk bahan baku, dan sebagainya)? Bukankah industri seperti itu juga bisa mengakibatkan ekspor kapital dalam jumlah lebih besar dari negara non-maju ke negara maju, dalam bentuk pembayaran impor dan keuntungan investasi asing? Dan jika negara non-maju mengekspor lebih banyak kapital ke negara maju, perkembangan kapitalisme negara mana yang tertahan?

Lenin bukan tidak menangkap fenomena ini. Ketika ia membahas pinjaman utang yang biasa diberikan dengan ketetapan bahwa sebagian pinjaman itu akan dipakai oleh negara pengutang untuk membeli barang-barang tertentu dari negara kreditor, sehingga negara kreditor mendapatkan keuntungan ekstra dari pembelian barang, selain dari bunga utang, ia sebenarnya sedang menangkap fenomena ini. Masalahnya, ia tidak memaknai fenomena ini sebagai ekspor kapital dari negara non-maju ke negara maju. Pembahasan Lenin di Imperialism begitu terfokus pada pihak imperialis dan rivalitas di antara mereka, sehingga ia tidak mengelaborasi relasi antara negara imperialis dengan negara non-maju. Tetapi, seperti yang dinyatakan di atas, pemikiran Lenin dibatasi oleh cakrawala zamannya. Ia menulis pada zaman dimana perang antar-negara imperialis sedang berkecamuk. Adalah tugas kita untuk mengembangkannya agar teorinya bisa berguna dalam menganalisa situasi kontemporer.***

Catatan:

[1] E.J. Hobsbawm, The Age of Empire 1875-1914 (New York: Vintage Books, 1987), hlm. 60.

[2] John Weeks, 'Imperialism and World Market' dalam Tom Bottomore, ed., A Dictionary of Marxist Thought, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 1991), hlm. 252.

[3] Anthony Brewer, Marxist Theories of Imperialism: A Critical Survey, 2nd ed. (London dan New York: Routledge, 1990), hlm. 88.

[4] Monty Johnstone, 'Internasionals, the,' dalam Tom Bottomore, ed., op. cit., hlm. 264.

[5] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: '...the remarkably rapid concentration of production in ever-larger enterprises are one of the most characteristic features of capitalism.' (hlm. 196). Semua terjemahan Indonesia dalam kutipan adalah oleh saya sendiri.

[6] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: '...at a certain stage of its development concentration itself, as it were, leads straight to monopoly.' (hlm. 197).

[7] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: 'At all events, banks greatly intensify and accelerate the process of concentration of capital and the formation of monopolies in all capitalist countries, notwithstanding all the differences in their banking laws.' (hlm. 216).

[8] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: 'Finance capital is capital controlled by banks and employed by industrialists.' (hlm. 226).

[9] John Weeks, op. cit., hlm. 254.

[10] Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dengan modus apropriasi kapitalis, lihat Mohamad Zaki Hussein, ‘Sosialisme Ilmiah,’ Left Book Review IndoProgress, Edisi XI/2013, http://indoprogress.com/lbr/?p=1297.

[11] Dalam esainya yang juga membahas imperialisme, ‘Imperialism and the Split in Socialism,’ Lenin secara lebih eksplisit menyebut definisi penuh dari imperialisme sebagai (1) kapitalisme monopoli; (2) kapitalisme yang membusuk atau parasit, dan (3) kapitalisme yang sekarat. Lihat V.I. Lenin, 'Imperialisme and the Split in Socialism,' dalam Collected Works, Jilid 23, diterjemahkan oleh M.S. Levin et al. (Moscow: Progress Publishers, 1964), hlm. 105.

[12] Pembahasan teori ultra-imperialisme Kautsky di sini didasarkan pada Karl Kautsky, 'Ultra-Imperialism,' New Left Review 1/59, Januari-Februari 1970, hlm. 41-46. Esai ini diterbitkan di Die Neite Zeit tidak lama setelah Perang Dunia I pecah, yaitu 11 September 1914.

[13] John Bellamy Foster, Robert W. McChesney dan R. Jamil Jonna, ‘Monopoly and Competition in Twenty-First Century Capitalism,’ Monthly Review, Volume 62, Nomor 11, April 2011, http://monthlyreview.org/2011/04/01/monopoly-and-competition-in-twenty-first-century-capitalism.

Pustaka Tambahan

Brewer, Anthony. Marxist Theories of Imperialism: A Critical Survey, 2nd ed. London dan New York: Routledge, 1990.

Foster, John Bellamy, Robert W. McChesney dan R. Jamil Jonna. ‘Monopoly and Competition in Twenty-First Century Capitalism,’ Monthly Review, Volume 62, Nomor 11, April 2011. Diakses 16 Agustus 2013 dari http://monthlyreview.org/2011/04/01/monopoly-and-competition-in-twenty-first-century-capitalism.

Hobsbawm, E.J. The Age of Empire 1875-1914. New York: Vintage Books, 1987.

Hussein, Mohamad Zaki. ‘Sosialisme Ilmiah.’ Left Book Review IndoProgress, Edisi XI/2013.  Diakses 16 Agustus 2013 dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1297

Johnstone, Monty. ‘Internasionals, the,' dalam Tom Bottomore, ed., A Dictionary of Marxist Thought, 2nd ed. Oxford: Blackwell, 1991.
 
Kautsky, Karl. ‘Ultra-Imperialism.’ New Left Review 1/59, Januari-Februari 1970, hlm. 41-46.

Lenin, V.I. ‘Imperialisme and the Split in Socialism,’ dalam V.I. Lenin, Collected Works, Jilid 23. Moscow: Progress Publishers, 1964.

Weeks, John. ‘Imperialism and World Market,’ dalam Tom Bottomore, ed., A Dictionary of Marxist Thought, 2nd ed. Oxford: Blackwell, 1991.

Comments

Popular posts from this blog

Materialisme Historis: Metode Analisis Sosial Marxis

Produktivitas Buruh Meningkat, Upah Riil Stagnan

Israel dan Palestina: sebuah kisah kolonialisme modern