Ideologi dan Reproduksi Masyarakat Kapitalis
Catatan Pengantar Untuk Diskusi Tulisan Althusser, 'Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara'[1]
Dalam tulisan "Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara,"[2] pertanyaan mendasar yang hendak dijawab oleh Althusser, menurut saya, adalah bagaimana formasi sosial kapitalisme bisa terus mereproduksi dirinya. Dalam menjawab pertanyaan itu, Althusser memulai dari "reproduksi syarat-syarat produksi," baru kemudian ia mengambil jalan memutar dengan membahas "infrastruktur dan suprastruktur." Tapi, untuk mendapatkan "gambaran besarnya" terlebih dahulu, di sini, kita akan memulai pembahasan dari infrastruktur dan suprastruktur, baru setelah itu, masuk ke hal-hal lain yang lebih spesifik.
Infrastruktur dan Suprastruktur
Infrastruktur dan suprastruktur adalah 'metafor bangunan' yang digunakan oleh Marx untuk melihat unsur-unsur dalam struktur masyarakat beserta hubungan mereka. Infrastruktur di sini merujuk ke 'basis ekonomi,' terutama cara produksi, sementara suprastruktur, terdiri dari dua unsur, yaitu legal-politis (negara dan hukum) serta ideologi.
Adapun hubungan antara infrastruktur dengan suprastruktur, sesuai dengan metafor bangunan, adalah bahwa basis ekonomi merupakan fondasi bangunannya, sementara dua unsur suprastruktur, yaitu legal-politis dan ideologi, adalah 'lantai atasnya' yang tidak dapat berdiri tanpa fondasinya. Di sebagian kalangan Marxis, hubungan ini ditafsirkan sebagai 'determinasi satu-arah,' di mana basis ekonomi menentukan suprastruktur yang bersifat pasif. Namun, Althusser tidak menafsirkannya demikian.
Penafsiran Althusser di sini, menurut saya, lebih dekat dengan Marx dan Engels. Dalam suratnya kepada J. Bloch, Engels pernah menyatakan: "Menurut konsepsi materialis tentang sejarah, produksi dan reproduksi kehidupan riil pada akhirnya (in the last instance) menjadi faktor penentu sejarah. Marx atau saya tidak pernah menyatakan lebih dari itu. Sekarang, kalau seseorang datang dan mendistorsi hal ini sehingga bermakna bahwa faktor ekonomi adalah satu-satunya faktor yang menentukan, maka ia merubah proposisi pertama itu menjadi sebuah frase yang tidak bermakna, abstrak dan absurd."[3]
Kata kuncinya di sini adalah 'pada akhirnya' (in the last instance) dan untuk menafsirkan kata kunci ini, Althusser menggunakan konsep 'indeks efektivitas.' Jadi, menurut Althusser, suprastruktur memiliki 'otonomi relatif' dan bisa bertindak balik terhadap basis, tapi 'efektivitasnya' berbeda dengan pengaruh basis terhadap suprastruktur. Suprastruktur hanya bisa bertindak-balik mempengaruhi basis sejauh batas-batas yang diberikan oleh basis ekonominya. Adapun untuk melihat suprastruktur, Althusser mengusulkan untuk melampaui (bukan menolak) metafor bangunan yang bersifat 'deskriptif' dan melihatnya dari sudut pandang reproduksi.
Reproduksi Formasi Sosial Kapitalisme
Di atas tadi, sudah dijelaskan bahwa 'basis ekonomi' pada akhirnya menentukan keseluruhan bangunan masyarakat. Artinya, sebuah masyarakat atau formasi sosial, termasuk kapitalisme, hanya bisa bertahan apabila 'basis ekonominya' bisa memproduksi secara terus-menerus. Adapun untuk bisa terus memproduksi, diperlukan juga reproduksi syarat-syarat produksi secara terus-menerus. Di sini, yang dimaksud Althusser dengan "syarat-syarat produksi" adalah (1) kekuatan-kekuatan produktif yang "bekerja di dalam dan di bawah" (2) relasi-relasi produksinya.
Dalam tradisi Marxis, yang dimaksud dengan kekuatan produktif adalah faktor-faktor produksi, yang bisa dibagi dua, yaitu (1) alat-alat produksi dan (2) tenaga kerja. Sementara, yang dimaksud dengan relasi produksi adalah relasi antara "pemilik faktor-faktor produksi" tersebut, yang dalam kapitalisme adalah relasi pertukaran komoditi yang sekaligus juga merupakan relasi kelas yang eksploitatif antara pemilik alat-alat produksi (pengusaha) dengan pemilik tenaga kerja (buruh).
Di tingkat empiris, reproduksi alat-alat produksi biasanya tampil dalam aktivitas pembelian alat-alat produksi oleh pengusaha. Di tingkat makro, Marx secara umum membagi 'pembagian kerja secara sosial' atau 'cabang industri' menjadi dua Departemen, yaitu Departemen I yang memproduksi alat-alat produksi dan Departemen II yang memproduksi alat-alat konsumsi.
Terkait dengan reproduksi tenaga kerja, reproduksi ini dilakukan dengan memberikan upah kepada pekerja sebagai ongkos untuk membayar pemulihan tenaga kerja si pekerja agar ia bisa bekerja lagi keesokan harinya. Tercakup di sini, (1) ongkos pemenuhan kebutuhan si pekerja yang bukan hanya bersifat 'biologis' tapi yang juga merupakan konstruksi sosial-historis, dan (2) ongkos penciptaan tenaga kerja baru yang akan menggantikan si pekerja kelak ketika ia meninggal dunia (pemeliharaan anak). Di sini, tercakup pula ongkos reproduksi ketrampilan si pekerja, yang dalam kapitalisme, kebanyakan dilakukan sebelum si pekerja masuk ke dunia kerja, yaitu di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.
Namun, kapitalisme tidak hanya mereproduksi 'ketrampilan' yang nanti akan berguna untuk bekerja, seperti baca, tulis, dan juga beragam pengetahuan lainnya, tetapi ia juga mereproduksi ketundukan terhadap aturan-aturan kapitalisme―dan untuk elit atau "calon elit," kapitalisme juga mereproduksi kemampuan menundukkan pekerja―melalui berbagai aparatus yang ada di wilayah suprastruktur. Di sini, kapitalisme tidak lagi hanya mereproduksi tenaga kerja sebagai kekuatan produktif, tetapi juga mereproduksi relasi kelas yang eksploitatif antara kapitalis dengan buruh. Dalam penjelasan selanjutnya mengenai hal ini, Althusser menggunakan konsep "Aparatus Represi Negara" (selanjutnya disingkat RSA dari istilah Inggrisnya, Repressive State Apparatus) dan "Aparatus Ideologi Negara" (selanjutnya disingkat ISA dari istilah Inggrisnya, Ideological State Apparatuses).
RSA dan ISA
Sama seperti kaum Marxis pada umumnya, Althusser menganggap negara sebagai 'mesin represi' untuk memastikan dominasi kelas yang berkuasa atas kelas pekerja. Fungsi ini dilakukan oleh beragam aparatus negara, seperti tentara, polisi, pengadilan, dst. Inilah RSA dan fungsinya cukup jelas terlihat dalam kehidupan kita, terutama saat terjadi konflik terbuka antara kapital dengan rakyat, seperti yang bisa kita lihat dalam kasus Freeport, Mesuji dan Bima baru-baru ini.
Selain RSA, Althusser juga menyatakan bahwa negara memiliki ISA yang bekerja dengan ideologi―apa itu ideologi dan bagaimana cara bekerjanya akan dibahas di bawah sub-judul yang berikutnya. Tercakup dalam ISA ini adalah institusi-institusi yang sebagian besar berada di wilayah 'privat,' seperti sekolah, lembaga keagamaan, pers, dsb. Di sini, bisa muncul pertanyaan, kenapa Althusser memasukkan lembaga-lembaga tersebut sebagai 'aparatus negara'? Jawaban Althusser, kategori 'publik' dan 'privat' itu hanyalah kategori hukum borjuis, sehingga tidaklah penting status dari lembaga-lembaga itu, apakah privat atau publik, "Apa yang penting adalah bagaimana mereka berfungsi."
Sebenarnya, jawaban Althusser di sini masih samar. Tapi, terlepas dari apa alasan Althusser yang sebenarnya,[4] kita tetap bisa mengkategorisasi lembaga-lembaga privat itu sebagai "aparatus negara" karena lembaga-lembaga itu dalam menjalankan fungsinya mereproduksi masyarakat kapitalis, ikut menghambat pengambilalihan kekuasaan negara oleh kelas pekerja. Yang penting juga untuk disebutkan di sini adalah bahwa Althusser membedakan kekuasaan negara dengan aparatus negara, di mana pengambilalihan kekuasaan negara oleh sebuah kelas tidak secara otomatis mengubah aparatus negaranya.
Terakhir, perlu juga dijelaskan bahwa pembedaan RSA dengan ISA dari "cara bekerjanya" tidak berarti RSA murni bekerja dengan represi, sementara ISA murni bekerja dengan ideologi. Yang dirujuk oleh pembedaan itu adalah 'cara kerja utamanya.' Ini berarti baik RSA maupun ISA masing-masing mengandung represi dan ideologi. Namun, cara kerja utama RSA adalah dengen represi, sementara ideologi hanya menjadi cara kerja sekundernya. Demikian pula sebaliknya, ISA bekerja terutama dengan ideologi, sementara represi hanya menjadi cara kerja sekundernya.
Ideologi
Di Indonesia saat ini, istilah ideologi secara umum digunakan secara "netral" sebagai seperangkat gagasan yang relatif lengkap tentang dunia dan masyarakat (pandangan dunia), yang dimiliki kelompok tertentu. Jadi, kita dapati adanya ideologi kapitalis, sosialis, nasionalis, Islam, dsb. Namun, sebagian kalangan Marxis, termasuk Marx sendiri dalam The German Ideology, tidak menggunakan istilah "ideologi" dengan arti seperti itu, melainkan dengan arti yang "negatif," yaitu sebagai gagasan-gagasan imajiner (tidak sesuai dengan kenyataan) yang "melanggengkan" tatanan sosial yang ada. Biasanya, sebagai tandingan dari ideologi, mereka memajukan "ilmu pengetahuan."
Althusser juga meneruskan tradisi ini, tapi ia memberikan pengertian yang berbeda dengan apa yang menurutnya merupakan pengertian Marx, yang diambil dari Feuerbach, tentang ideologi. Jadi, kalau menurut Marx, apa yang direpresentasikan secara imajiner dalam ideologi adalah kondisi keberadaan riil manusia atau relasi-relasi riil di mana manusia hidup, maka menurut Althusser, yang direpresentasikan dalam ideologi terutama bukanlah hal tersebut, melainkan relasi imajiner individu dengan relasi-relasi riil di mana mereka hidup. Adapun distorsi terhadap relasi-relasi riil itu terjadi karena adanya relasi imajiner kita dengan relasi-relasi riil tersebut.
Sebenarnya agak samar apa yang dimaksud Althusser dengan "relasi imajiner" di atas. Namun, berdasarkan pembahasan Althusser mengenai ideologi sebagai konstruksi subyek, penafsiran saya adalah bahwa relasi imajiner ini terbentuk akibat konstruksi individu sebagai subyek. Sebagai subyek, kita merasa sebagai 'individu bebas,' berperilaku dan bertindak sesuai apa yang kita pikirkan, sehingga tindakan dan perilaku kita tampak sebagai efek dari gagasan kita. Akibatnya, kita juga melihat secara imajiner bahwa kondisi riil kita adalah efek dari diri kita. Padahal, menurut Althusser, kenyataannya adalah yang sebaliknya, gagasan kita itu hanya merupakan efek dari tindakan kita, yang diatur oleh ritual-ritual yang ditentukan oleh ISA.
Cara ideologi mengkonstruksi subyek ini disebut Althusser sebagai "interpelasi" atau "pemanggilan" (hailing). Karena prosesnya memang sama seperti ketika kita dipanggil oleh seseorang di jalan, di mana terjadi pengenalan atau penyematan atas diri kita, sifat sebagai subyek yang unik dan berbeda dari yang lain―kita benar-benar tahu bahwa yang dipanggil adalah diri kita, bukan orang lain. Adapun kapitalisme mengkonstruksi kita sebagai subyek dalam proses reproduksinya, agar ketika kita memainkan peran kita dalam reproduksi kapitalis, kita tidak merasa ”dipaksa” dari luar, tapi merasakannya sebagai sesuatu yang memang kita lakukan dengan suka rela.
Sedikit Catatan Kritis
Menurut saya, sebagian teori Althusser di atas ada gunanya untuk memahami sebagian dari kenyataan yang kita hadapi. Sebagai contoh, konsepnya tentang 'otonomi relatif' suprastruktur dan 'indeks efektivitas,' membuat fenomena-fenomena seperti dampak tindakan "aktif" negara (suprastruktur legal-politik) atas wilayah ekonomi (infrastruktur) yang biasa kita lihat, menjadi dapat dijelaskan, karena memang ada hubungan timbal balik antara keduanya.
Namun demikian, teori ideologinya mengandung sebuah problem yang serius. Karena ia menyamakan ideologi dengan konstruksi subyek secara umum, ini berarti subyek itu sebenarnya tidak ada, karena semua subyek hanyalah efek dari ideologi. Artinya, tidak ada gunanya lagi berbicara soal "kesadaran" dan berbagai istilah terkait lainnya, seperti "kesadaran palsu," "penyadaran," dsb., karena toh tindakan kita tidak pernah merupakan efek dari kesadaran kita, tapi hanya merupakan efek dari ISA.
Paradoksnya, Althusser berbicara mengenai ilmu pengetahuan sebagai kontra-ideologi, tapi apa gunanya ilmu pengetahuan kalau tidak ada efeknya ke tindakan kita, bukankah tindakan kita itu hanya efek dari ISA? Althusser membuat mustahil adanya sebuah "tindakan berbasis ilmu pengetahuan" (science informed practice), karena menurutnya, tindakan kita hanyalah efek dari ISA, bukan efek dari kesadaran kita. Jadi, kalau dalam Marx, manusia membuat sejarah, tapi tidak bisa seenak jidatnya, karena ia beroperasi dalam situasi struktural tertentu. Dalam Althusser, pernyataan itu berubah menjadi, sejarah berjalan tanpa manusia. Pertanyaannya, masih mungkinkah berpikir tentang emansipasi dari titik berangkat yang seperti itu?
Catatan:
[1] Versi awal tulisan ini dibawakan dalam sebuah diskusi di UIN Jakarta, 9 Januari 2012. Dalam versi ini, ada beberapa perubahan dari versi aslinya.
[2] Versi Inggris dari tulisan Althusser, "Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara" ("Ideology and Ideological State Apparatuses") bisa dibaca di http://www.marxists.org/reference/archive/althusser/1970/ideology.htm.
[3] Surat Engels kepada J. Bloch, 21 September 1890, diambil dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21a.htm. Terjemahan bahasa Indonesia di atas oleh saya sendiri.
[4] Concern saya di sini memang bukan makna otentik teks menurut si pengarang, tapi lebih ke apa yang bisa diberikan teks kepada kita untuk memahami kenyataan yang kita hadapi sekarang.
Dalam tulisan "Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara,"[2] pertanyaan mendasar yang hendak dijawab oleh Althusser, menurut saya, adalah bagaimana formasi sosial kapitalisme bisa terus mereproduksi dirinya. Dalam menjawab pertanyaan itu, Althusser memulai dari "reproduksi syarat-syarat produksi," baru kemudian ia mengambil jalan memutar dengan membahas "infrastruktur dan suprastruktur." Tapi, untuk mendapatkan "gambaran besarnya" terlebih dahulu, di sini, kita akan memulai pembahasan dari infrastruktur dan suprastruktur, baru setelah itu, masuk ke hal-hal lain yang lebih spesifik.
Infrastruktur dan Suprastruktur
Infrastruktur dan suprastruktur adalah 'metafor bangunan' yang digunakan oleh Marx untuk melihat unsur-unsur dalam struktur masyarakat beserta hubungan mereka. Infrastruktur di sini merujuk ke 'basis ekonomi,' terutama cara produksi, sementara suprastruktur, terdiri dari dua unsur, yaitu legal-politis (negara dan hukum) serta ideologi.
Adapun hubungan antara infrastruktur dengan suprastruktur, sesuai dengan metafor bangunan, adalah bahwa basis ekonomi merupakan fondasi bangunannya, sementara dua unsur suprastruktur, yaitu legal-politis dan ideologi, adalah 'lantai atasnya' yang tidak dapat berdiri tanpa fondasinya. Di sebagian kalangan Marxis, hubungan ini ditafsirkan sebagai 'determinasi satu-arah,' di mana basis ekonomi menentukan suprastruktur yang bersifat pasif. Namun, Althusser tidak menafsirkannya demikian.
Penafsiran Althusser di sini, menurut saya, lebih dekat dengan Marx dan Engels. Dalam suratnya kepada J. Bloch, Engels pernah menyatakan: "Menurut konsepsi materialis tentang sejarah, produksi dan reproduksi kehidupan riil pada akhirnya (in the last instance) menjadi faktor penentu sejarah. Marx atau saya tidak pernah menyatakan lebih dari itu. Sekarang, kalau seseorang datang dan mendistorsi hal ini sehingga bermakna bahwa faktor ekonomi adalah satu-satunya faktor yang menentukan, maka ia merubah proposisi pertama itu menjadi sebuah frase yang tidak bermakna, abstrak dan absurd."[3]
Kata kuncinya di sini adalah 'pada akhirnya' (in the last instance) dan untuk menafsirkan kata kunci ini, Althusser menggunakan konsep 'indeks efektivitas.' Jadi, menurut Althusser, suprastruktur memiliki 'otonomi relatif' dan bisa bertindak balik terhadap basis, tapi 'efektivitasnya' berbeda dengan pengaruh basis terhadap suprastruktur. Suprastruktur hanya bisa bertindak-balik mempengaruhi basis sejauh batas-batas yang diberikan oleh basis ekonominya. Adapun untuk melihat suprastruktur, Althusser mengusulkan untuk melampaui (bukan menolak) metafor bangunan yang bersifat 'deskriptif' dan melihatnya dari sudut pandang reproduksi.
Reproduksi Formasi Sosial Kapitalisme
Di atas tadi, sudah dijelaskan bahwa 'basis ekonomi' pada akhirnya menentukan keseluruhan bangunan masyarakat. Artinya, sebuah masyarakat atau formasi sosial, termasuk kapitalisme, hanya bisa bertahan apabila 'basis ekonominya' bisa memproduksi secara terus-menerus. Adapun untuk bisa terus memproduksi, diperlukan juga reproduksi syarat-syarat produksi secara terus-menerus. Di sini, yang dimaksud Althusser dengan "syarat-syarat produksi" adalah (1) kekuatan-kekuatan produktif yang "bekerja di dalam dan di bawah" (2) relasi-relasi produksinya.
Dalam tradisi Marxis, yang dimaksud dengan kekuatan produktif adalah faktor-faktor produksi, yang bisa dibagi dua, yaitu (1) alat-alat produksi dan (2) tenaga kerja. Sementara, yang dimaksud dengan relasi produksi adalah relasi antara "pemilik faktor-faktor produksi" tersebut, yang dalam kapitalisme adalah relasi pertukaran komoditi yang sekaligus juga merupakan relasi kelas yang eksploitatif antara pemilik alat-alat produksi (pengusaha) dengan pemilik tenaga kerja (buruh).
Di tingkat empiris, reproduksi alat-alat produksi biasanya tampil dalam aktivitas pembelian alat-alat produksi oleh pengusaha. Di tingkat makro, Marx secara umum membagi 'pembagian kerja secara sosial' atau 'cabang industri' menjadi dua Departemen, yaitu Departemen I yang memproduksi alat-alat produksi dan Departemen II yang memproduksi alat-alat konsumsi.
Terkait dengan reproduksi tenaga kerja, reproduksi ini dilakukan dengan memberikan upah kepada pekerja sebagai ongkos untuk membayar pemulihan tenaga kerja si pekerja agar ia bisa bekerja lagi keesokan harinya. Tercakup di sini, (1) ongkos pemenuhan kebutuhan si pekerja yang bukan hanya bersifat 'biologis' tapi yang juga merupakan konstruksi sosial-historis, dan (2) ongkos penciptaan tenaga kerja baru yang akan menggantikan si pekerja kelak ketika ia meninggal dunia (pemeliharaan anak). Di sini, tercakup pula ongkos reproduksi ketrampilan si pekerja, yang dalam kapitalisme, kebanyakan dilakukan sebelum si pekerja masuk ke dunia kerja, yaitu di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.
Namun, kapitalisme tidak hanya mereproduksi 'ketrampilan' yang nanti akan berguna untuk bekerja, seperti baca, tulis, dan juga beragam pengetahuan lainnya, tetapi ia juga mereproduksi ketundukan terhadap aturan-aturan kapitalisme―dan untuk elit atau "calon elit," kapitalisme juga mereproduksi kemampuan menundukkan pekerja―melalui berbagai aparatus yang ada di wilayah suprastruktur. Di sini, kapitalisme tidak lagi hanya mereproduksi tenaga kerja sebagai kekuatan produktif, tetapi juga mereproduksi relasi kelas yang eksploitatif antara kapitalis dengan buruh. Dalam penjelasan selanjutnya mengenai hal ini, Althusser menggunakan konsep "Aparatus Represi Negara" (selanjutnya disingkat RSA dari istilah Inggrisnya, Repressive State Apparatus) dan "Aparatus Ideologi Negara" (selanjutnya disingkat ISA dari istilah Inggrisnya, Ideological State Apparatuses).
RSA dan ISA
Sama seperti kaum Marxis pada umumnya, Althusser menganggap negara sebagai 'mesin represi' untuk memastikan dominasi kelas yang berkuasa atas kelas pekerja. Fungsi ini dilakukan oleh beragam aparatus negara, seperti tentara, polisi, pengadilan, dst. Inilah RSA dan fungsinya cukup jelas terlihat dalam kehidupan kita, terutama saat terjadi konflik terbuka antara kapital dengan rakyat, seperti yang bisa kita lihat dalam kasus Freeport, Mesuji dan Bima baru-baru ini.
Selain RSA, Althusser juga menyatakan bahwa negara memiliki ISA yang bekerja dengan ideologi―apa itu ideologi dan bagaimana cara bekerjanya akan dibahas di bawah sub-judul yang berikutnya. Tercakup dalam ISA ini adalah institusi-institusi yang sebagian besar berada di wilayah 'privat,' seperti sekolah, lembaga keagamaan, pers, dsb. Di sini, bisa muncul pertanyaan, kenapa Althusser memasukkan lembaga-lembaga tersebut sebagai 'aparatus negara'? Jawaban Althusser, kategori 'publik' dan 'privat' itu hanyalah kategori hukum borjuis, sehingga tidaklah penting status dari lembaga-lembaga itu, apakah privat atau publik, "Apa yang penting adalah bagaimana mereka berfungsi."
Sebenarnya, jawaban Althusser di sini masih samar. Tapi, terlepas dari apa alasan Althusser yang sebenarnya,[4] kita tetap bisa mengkategorisasi lembaga-lembaga privat itu sebagai "aparatus negara" karena lembaga-lembaga itu dalam menjalankan fungsinya mereproduksi masyarakat kapitalis, ikut menghambat pengambilalihan kekuasaan negara oleh kelas pekerja. Yang penting juga untuk disebutkan di sini adalah bahwa Althusser membedakan kekuasaan negara dengan aparatus negara, di mana pengambilalihan kekuasaan negara oleh sebuah kelas tidak secara otomatis mengubah aparatus negaranya.
Terakhir, perlu juga dijelaskan bahwa pembedaan RSA dengan ISA dari "cara bekerjanya" tidak berarti RSA murni bekerja dengan represi, sementara ISA murni bekerja dengan ideologi. Yang dirujuk oleh pembedaan itu adalah 'cara kerja utamanya.' Ini berarti baik RSA maupun ISA masing-masing mengandung represi dan ideologi. Namun, cara kerja utama RSA adalah dengen represi, sementara ideologi hanya menjadi cara kerja sekundernya. Demikian pula sebaliknya, ISA bekerja terutama dengan ideologi, sementara represi hanya menjadi cara kerja sekundernya.
Ideologi
Di Indonesia saat ini, istilah ideologi secara umum digunakan secara "netral" sebagai seperangkat gagasan yang relatif lengkap tentang dunia dan masyarakat (pandangan dunia), yang dimiliki kelompok tertentu. Jadi, kita dapati adanya ideologi kapitalis, sosialis, nasionalis, Islam, dsb. Namun, sebagian kalangan Marxis, termasuk Marx sendiri dalam The German Ideology, tidak menggunakan istilah "ideologi" dengan arti seperti itu, melainkan dengan arti yang "negatif," yaitu sebagai gagasan-gagasan imajiner (tidak sesuai dengan kenyataan) yang "melanggengkan" tatanan sosial yang ada. Biasanya, sebagai tandingan dari ideologi, mereka memajukan "ilmu pengetahuan."
Althusser juga meneruskan tradisi ini, tapi ia memberikan pengertian yang berbeda dengan apa yang menurutnya merupakan pengertian Marx, yang diambil dari Feuerbach, tentang ideologi. Jadi, kalau menurut Marx, apa yang direpresentasikan secara imajiner dalam ideologi adalah kondisi keberadaan riil manusia atau relasi-relasi riil di mana manusia hidup, maka menurut Althusser, yang direpresentasikan dalam ideologi terutama bukanlah hal tersebut, melainkan relasi imajiner individu dengan relasi-relasi riil di mana mereka hidup. Adapun distorsi terhadap relasi-relasi riil itu terjadi karena adanya relasi imajiner kita dengan relasi-relasi riil tersebut.
Sebenarnya agak samar apa yang dimaksud Althusser dengan "relasi imajiner" di atas. Namun, berdasarkan pembahasan Althusser mengenai ideologi sebagai konstruksi subyek, penafsiran saya adalah bahwa relasi imajiner ini terbentuk akibat konstruksi individu sebagai subyek. Sebagai subyek, kita merasa sebagai 'individu bebas,' berperilaku dan bertindak sesuai apa yang kita pikirkan, sehingga tindakan dan perilaku kita tampak sebagai efek dari gagasan kita. Akibatnya, kita juga melihat secara imajiner bahwa kondisi riil kita adalah efek dari diri kita. Padahal, menurut Althusser, kenyataannya adalah yang sebaliknya, gagasan kita itu hanya merupakan efek dari tindakan kita, yang diatur oleh ritual-ritual yang ditentukan oleh ISA.
Cara ideologi mengkonstruksi subyek ini disebut Althusser sebagai "interpelasi" atau "pemanggilan" (hailing). Karena prosesnya memang sama seperti ketika kita dipanggil oleh seseorang di jalan, di mana terjadi pengenalan atau penyematan atas diri kita, sifat sebagai subyek yang unik dan berbeda dari yang lain―kita benar-benar tahu bahwa yang dipanggil adalah diri kita, bukan orang lain. Adapun kapitalisme mengkonstruksi kita sebagai subyek dalam proses reproduksinya, agar ketika kita memainkan peran kita dalam reproduksi kapitalis, kita tidak merasa ”dipaksa” dari luar, tapi merasakannya sebagai sesuatu yang memang kita lakukan dengan suka rela.
Sedikit Catatan Kritis
Menurut saya, sebagian teori Althusser di atas ada gunanya untuk memahami sebagian dari kenyataan yang kita hadapi. Sebagai contoh, konsepnya tentang 'otonomi relatif' suprastruktur dan 'indeks efektivitas,' membuat fenomena-fenomena seperti dampak tindakan "aktif" negara (suprastruktur legal-politik) atas wilayah ekonomi (infrastruktur) yang biasa kita lihat, menjadi dapat dijelaskan, karena memang ada hubungan timbal balik antara keduanya.
Namun demikian, teori ideologinya mengandung sebuah problem yang serius. Karena ia menyamakan ideologi dengan konstruksi subyek secara umum, ini berarti subyek itu sebenarnya tidak ada, karena semua subyek hanyalah efek dari ideologi. Artinya, tidak ada gunanya lagi berbicara soal "kesadaran" dan berbagai istilah terkait lainnya, seperti "kesadaran palsu," "penyadaran," dsb., karena toh tindakan kita tidak pernah merupakan efek dari kesadaran kita, tapi hanya merupakan efek dari ISA.
Paradoksnya, Althusser berbicara mengenai ilmu pengetahuan sebagai kontra-ideologi, tapi apa gunanya ilmu pengetahuan kalau tidak ada efeknya ke tindakan kita, bukankah tindakan kita itu hanya efek dari ISA? Althusser membuat mustahil adanya sebuah "tindakan berbasis ilmu pengetahuan" (science informed practice), karena menurutnya, tindakan kita hanyalah efek dari ISA, bukan efek dari kesadaran kita. Jadi, kalau dalam Marx, manusia membuat sejarah, tapi tidak bisa seenak jidatnya, karena ia beroperasi dalam situasi struktural tertentu. Dalam Althusser, pernyataan itu berubah menjadi, sejarah berjalan tanpa manusia. Pertanyaannya, masih mungkinkah berpikir tentang emansipasi dari titik berangkat yang seperti itu?
Catatan:
[1] Versi awal tulisan ini dibawakan dalam sebuah diskusi di UIN Jakarta, 9 Januari 2012. Dalam versi ini, ada beberapa perubahan dari versi aslinya.
[2] Versi Inggris dari tulisan Althusser, "Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara" ("Ideology and Ideological State Apparatuses") bisa dibaca di http://www.marxists.org/reference/archive/althusser/1970/ideology.htm.
[3] Surat Engels kepada J. Bloch, 21 September 1890, diambil dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21a.htm. Terjemahan bahasa Indonesia di atas oleh saya sendiri.
[4] Concern saya di sini memang bukan makna otentik teks menurut si pengarang, tapi lebih ke apa yang bisa diberikan teks kepada kita untuk memahami kenyataan yang kita hadapi sekarang.
Comments
Post a Comment