166 Tahun Manifesto Komunis
Judul buku: The Communist Manifesto
Penulis: Karl Marx dan Friedrich Engels
Penerbit: Pluto Press, London, 2008
Tebal: 115 halaman
Pada Februari 1848, terbit dokumen politik Marxis pertama dalam sejarah, Manifesto Komunis (selanjutnya disebut Manifesto). Dokumen ini merupakan platform politik Liga Komunis, gerakan pekerja internasional pertama di era kapitalisme. Meski ditulis oleh Marx dibantu Engels, dan pandangan mereka memang mendominasi isinya, dokumen ini sebenarnya adalah produk diskusi dan perdebatan di Liga Komunis. Dalam rangka memperingati 166 tahun Manifesto, saya hendak mengulas gagasan-gagasan pokok dokumen tersebut. Sebagai dokumen politik, Manifesto dapat dibaca dengan struktur logis berikut: perumusan masalah, solusi, dan beberapa turunan dari solusi itu. Tetapi, sebelum masuk ke ulasan atas isinya, mari kita bahas terlebih dahulu konteks lahirnya Manifesto.
Lahirnya Manifesto Komunis
Pada awal 1800-an, Jerman baru menapaki proses industrialisasi. Ekonominya masih didominasi pertanian, industri rumah tangga, dan kerajinan tangan. Industri berskala besar hanya ada di sektor tekstil. Jumlah pekerja-artisan masih lebih banyak daripada jumlah buruh industrial. Namun demikian, proses industrialisasi di Jerman berjalan pesat. Dan seiring dengan proses ini, terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selama 1815-1855, jumlah penduduk di Jerman meningkat sebesar 50 persen. Hal ini mengakibatkan besarnya jumlah imigran Jerman ke negara Eropa lainnya dan Amerika. Selama 1818-1848, terdapat 750.000 imigran Jerman.[1]
Pada 1834, sejumlah imigran Jerman di Perancis mendirikan sebuah perkumpulan rahasia republikan-demokratik yang bernama ‘Liga Para Pelanggar Hukum’ (Bund der Geächteten).[2] Pada 1836, sebagian dari mereka yang kebanyakan adalah pekerja-artisan, memisahkan diri dan mendirikan ‘Liga Keadilan’ (Bund der Gerechten). Dalam Liga Keadilan, ada beragam tendensi komunis serta sosialis. Di antara yang dominan adalah ajaran komunisme Wilhelm Weitling. Liga Keadilan juga berada di bawah pengaruh sebuah perkumpulan komunis Perancis, ‘Komunitas Musim’ (Société des Saisons) yang dipimpin Auguste Blanqui. Saat Komunitas Musim melancarkan pemberontakan pada 12 Mei 1839, Liga Keadilan mengikutinya. Pemberontakan itu gagal dan para aktivis Komunitas Musim serta Liga Keadilan ditangkapi.
Tidak lama kemudian, aktivis Liga Keadilan yang dideportasi ke Inggris berupaya mengonsolidasikan kembali Liga Keadilan. Bersama para pekerja Jerman lainnya, mereka mendirikan sebuah perkumpulan terbuka di Inggris, ‘Asosiasi Pendidikan Pekerja Jerman,’ pada 7 Februari 1840. Perkumpulan ini menjadi lahan rekrutmen bagi Liga Keadilan. Taktik serupa direplikasi di negara-negara lain. Liga Keadilan pun meluas ke berbagai negara di Eropa dengan pusatnya di Inggris. Dalam perkembangannya, Liga Keadilan menjadi berwatak internasional. Anggotanya tidak lagi hanya orang Jerman, tetapi juga orang dari negara-negara lain. ‘Asosiasi Pendidikan Pekerja Jerman’ pun berubah nama menjadi ‘Asosiasi Pendidikan Pekerja Komunis.’ Mereka mengadopsi slogan ‘Semua Manusia Bersaudara.’
Marx mulai berkontak dengan Liga Keadilan saat ia pindah ke Paris di tahun 1843. Pada tahun yang sama, Engels diajak bergabung ke dalam Liga Keadilan oleh Karl Schapper, salah seorang aktivisnya. Engels menolak, karena pemikiran sosialis dan komunis yang dianggapnya keliru masih dominan di Liga Keadilan. Pada 25 Januari 1845, Marx diusir oleh pemerintah Perancis dan pindah ke Brussels. Bersama dengan Engels dan Philippe Gigot, ia mendirikan ‘Komite Korespondensi Komunis,’ yang kemudian menjadi wadah bertukar pikiran antar aktivis komunis dan sosialis di Eropa. Melalui diskusi, surat-menyurat, serta terbitan, Marx dan Engels berupaya memenangkan pandangan mereka di kalangan aktivis sosialis dan komunis Eropa, seraya mengritik sosialisme dan komunisme jenis lain, seperti komunisme Weitling dan Kriege.
Pada 1847, salah seorang aktivis Liga Keadilan, Joseph Moll, mendatangi Marx di Brussels dan kemudian Engels di Paris. Moll menyatakan bahwa sebagian dari mereka sudah menyetujui pandangan-pandangan Marx, dan mengajak Marx serta Engels untuk masuk ke Liga Keadilan. Ia menyatakan bahwa Marx dan Engels akan diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka di hadapan kongres yang akan menyepakati sebuah manifesto. Marx dan Engels akhirnya setuju untuk masuk ke Liga Keadilan. Marx lalu mendirikan sebuah komunitas Liga di Brussels, dan Engels mengikuti tiga komunitas Liga di Paris.
Pada 2-9 Juni 1847, Liga Keadilan mengadakan kongres internasionalnya di London, Inggris. Marx tidak bisa mengikuti kongres ini, karena persoalan ongkos, sehingga komunitas Brussels diwakili oleh Wilhelm Wolff. Adapun Engels menghadiri kongres sebagai perwakilan komunitas Paris. Kongres ini lantas menyepakati slogan: ‘Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!’; struktur organisasi yang terdiri dari komunitas, lingkaran, lingkaran utama, Komite Pusat dan Kongres; perubahan nama ‘Liga Keadilan’ menjadi ‘Liga Komunis’—karenanya, kongres ini juga bisa disebut sebagai Kongres Liga Komunis I. Kongres ini juga menghasilkan sebuah rancangan program yang disebut ‘Draft Pengakuan Keyakinan Seorang Komunis,’[3] yang akan didiskusikan terlebih dahulu di tingkat komunitas serta lingkaran—mereka juga boleh mengajukan revisi—dan akan diputuskan di kongres berikutnya.
Penulis ‘Draft Pengakuan Keyakinan Seorang Komunis’ adalah Engels, dan pikiran Engels memang berpengaruh kuat pada isi teks itu. Namun, di situ juga ada pengaruh Moses Hess, seorang aktivis Liga yang terpengaruh gagasan sosialisme utopis.[4] Pada 1844, Hess menerbitkan sebuah tulisan di Vorwärts, ‘Pengakuan Seorang Komunis dalam Bentuk Tanya-Jawab’ dan tulisan ini memainkan peran penting dalam pembuatan dokumen ‘Draft Pengakuan Keyakinan.’ Hess juga mengajukan revisi atas ‘Draft Pengakuan Keyakinan’ ke lingkaran Paris. Namun, Engels berhasil mengalahkan Hess secara politik dengan mengritik draft Hess secara rinci. Engels juga merasa bentuk katekismus dari ‘Draft Pengakuan Keyakinan’ tidak memadai. Ia pun menulis dokumen baru, ‘Prinsip-Prinsip Komunisme,’[5] untuk dibahas di Kongres II.
Kongres II Liga Komunis digelar pada 29 November - 10 Desember 1847. Kali ini, Marx ikut menghadirinya. Kongres II berhasil mencapai kesepakatan dalam hal program politik, tetapi tidak punya cukup waktu untuk merampungkan penulisannya. Tugas ini lalu diberikan kepada Marx dan edisi pertama Manifesto terbit tanpa nama pengarang pada pertengahan Februari 1848. Edisi keduanya masih terbit secara anonim pada Mei 1848. Edisi ini bersama dengan edisi 1866, menjadi basis dari edisi-edisi berikutnya. Adapun nama Marx dan Engels pertama kali dinyatakan sebagai pengarang Manifesto saat sebagian teks Manifesto diterbitkan di Neue Rheinische Zeitung No. V dan VI pada Mei-Oktober 1850.
Kapitalisme dan Relasi Kepemilikan Borjuis
Sekarang, mari kita bahas isi Manifesto. Saya akan mulai dari metode Manifesto dalam merumuskan tujuan politiknya, yang bisa dilihat dalam bagian awal Bab II. ‘Kesimpulan teoritik kaum komunis tidak didasarkan pada ide-ide atau prinsip-prinsip yang telah dibuat, atau ditemukan, oleh pembaharu universal ini atau itu.’[6] Tujuan politik komunis ‘hanya mengekspresikan secara umum, relasi-relasi aktual yang muncul dari perjuangan kelas yang ada, dari sebuah gerak historis yang berlangsung di depan mata kita.’[7] Menurut hemat saya, kalimat ini hendak membedakan tujuan politik Manifesto dengan utopianisme yang mendominasi gerakan komunis dan sosialis saat itu. Berbeda dengan utopianisme yang mencoba merumuskan ‘idealitas’ tertentu tanpa memikirkan prasyarat material dari realisasinya, tujuan politik komunis dirumuskan dengan memikirkan prasyarat material dari realisasinya.
Namun, kita juga harus hati-hati untuk tidak terjebak ke dalam penafsiran yang pasif atas kalimat itu, bahwa politik komunis sekadar mengikuti ‘gerak historis’ yang berjalan secara otomatis menuju komunisme. Marx dan Engels tidak menganut pandangan ‘sejarah yang otomatis’ seperti itu. Dalam ‘Concerning Feuerbach,’ Marx mengritik paham materialisme yang melupakan bahwa ‘keadaan diubah oleh manusia.’[8] Lagi pula, jika sejarah berjalan secara otomatis menuju komunisme, maka politik komunis menjadi mubazir. Pasalnya, tanpa politik komunis pun, sejarah akan berjalan secara otomatis menuju komunisme. Adanya prasyarat material dari komunisme hanya berarti bahwa komunisme itu mungkin—tidak mustahil, tidak pula niscaya—untuk diwujudkan. Tetapi, apakah komunisme itu akan mewujud atau tidak tergantung dari faktor agensi.
Berdasarkan penalaran di atas, Bab I Manifesto yang berisikan pemaparan historis tentang perjuangan kelas borjuis-proletariat, bisa dibaca sebagai upaya perumusan masalah seraya mencari prasyarat material dari solusi atas masalah itu. Bab I dibuka dengan pernyataan tentang perjuangan kelas secara umum. ‘Sejarah semua masyarakat sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas.’[9] Dalam catatan kaki nomor 2, bisa kita lihat bahwa apa yang dimaksud ‘semua sejarah’ di sini adalah ‘semua sejarah tertulis.’ Artinya, tidak mencakup masyarakat pra-sejarah, dimana ditemukan kepemilikan kolektif atas tanah. Kemudian, dinyatakan perjuangan kelas bisa terbuka, bisa laten, dan akan berakhir pada rekonstitusi masyarakat secara revolusioner atau kehancuran dari kelas-kelas yang bertarung. Yang terakhir ini bisa dibaca demikian: bahwa tidak ada keniscayaan dalam hasil perjuangan kelas. Perjuangan kelas bisa menghasilkan perubahan revolusioner, tetapi bisa juga barbarisme. Ke arah mana perjuangan kelas berjalan relatif bergantung pada faktor agensi.
Selanjutnya, Manifesto masuk ke epoh sejarah kapitalisme. Kalau kita cermati, Manifesto tidak mengutuk kapitalisme dan kelas borjuis—yang didefinisikannya sebagai ‘pemilik alat-alat produksi sosial dan majikan kerja-upahan’[10]—secara total. Sebaliknya, Manifesto memuji peran awal kelas borjuis dan kapitalisme. ‘Kaum borjuis, secara historis, telah memainkan peran paling revolusioner,’[11] ungkapnya. Dan salah satu peran revolusioner kapitalisme adalah memajukan kekuatan produktif. ‘Kaum borjuis, selama kekuasaan 100 tahun-nya yang pendek, telah menciptakan kekuatan produktif yang lebih masif dan kolosal dari yang dibuat seluruh generasi sebelumnya.’[12] Kemajuan kekuatan produktif ini, menurut ‘Prinsip-Prinsip Komunisme,’ memungkinkan ‘sebuah tatanan sosial dimana begitu banyak yang diproduksi sehingga setiap anggota masyarakat akan berada dalam posisi untuk mempraktekkan dan mengembangkan semua kekuatan serta kecakapannya dengan kebebasan penuh.’[13] Kekuatan produktif yang berkembang pesat dalam kapitalisme, dengan demikian, adalah prasyarat material dari sebuah tatanan sosial yang membebaskan.
Selain perkembangan kekuatan produktif, disebutkan juga bahwa kapitalisme membuat masyarakat dunia menjadi semakin terhubung satu sama lain. Produksi material, intelektual dan masyarakat semakin tersosialisasi secara internasional. Namun, semua ini berlangsung dalam kerangka kepemilikan borjuis. Pada tahap tertentu, perkembangan kekuatan produktif yang pesat ini, menjadi tidak lagi sesuai dengan relasi kepemilikan borjuis yang menjadi organisasi sosialnya. Akibatnya, muncullah krisis yang melontarkan masyarakat ke dalam situasi barbarisme. Kapitalisme telah memajukan kekuatan produktif yang kemudian berkontradiksi dengannya, seperti ‘tukang sihir yang tidak lagi dapat mengontrol kekuatan alam ghaib yang dipanggilnya dengan mantra-mantranya.’[14] Dan untuk mengatasi krisis, salah satu yang dilakukan kelas borjuis adalah kebalikan dari yang mereka lakukan dulu, yakni ‘penghancuran paksa terhadap sejumlah besar kekuatan produktif.’[15] Inilah masalah pokok kapitalisme yang dirumuskan Manifesto, yakni relasi kepemilikan borjuis.
Manifesto menyebut krisis over-produksi. Tetapi, selain krisis over-produksi, Marx juga mengembangkan teori krisis jatuhnya tingkat laba. Kedua teori itu sama-sama memberikan peran kunci terhadap perkembangan kekuatan produktif. Jadi, untuk memenangkan persaingan di pasar, si kapitalis harus menjual lebih banyak komoditi dengan harga lebih murah dari saingannya. Dan untuk ini, ia harus meningkatkan produktivitas pekerja dengan mengembangkan kekuatan produktifnya. Karena semua kapitalis berlomba-lomba melakukan hal itu, terjadilah produksi yang melebihi kebutuhan masyarakat (over-produksi). Begitu pula, investasi para kapitalis akan meningkat melebihi peningkatan nilai surplus yang dihisap dari pekerja, padahal sumber laba adalah nilai surplus. Walhasil, krisis jatuhnya tingkat laba.
Proletariat: Agen Pengubah Kapitalisme
Perubahan sebuah sistem sosial mensyaratkan adanya agensi, yang kemunculannya dikondisikan oleh sistem sosial tersebut. Transformasi feodalisme ke kapitalisme mensyaratkan kelas borjuis yang pertumbuhan awalnya dikondisikan oleh perkembangan kekuatan produktif di masa feodalisme. Embrio kelas borjuis adalah warga kota (burghers) paling awal, yang berasal dari petani-hamba (serf) Abad Pertengahan. Pada tahap tertentu feodalisme, perkembangan kekuatan produktif ini berkontradiksi dengan organisasi sosialnya. Pelampauan feodalisme—dan kontradiksi internalnya—ke kapitalisme terjadi ketika kelas borjuis memajukan diri mereka ke kekuasaan politik, menghancurkan relasi kepemilikan feodal dan menggantinya dengan relasi kepemilikan borjuis.
Apa yang berlaku pada feodalisme juga berlaku pada kapitalisme. Kelas borjuis telah memajukan dengan sangat pesat kekuatan produktif yang kemudian berkontradiksi dengan relasi kepemilikan borjuis. Kontradiksi ini mengemuka dalam bentuk krisis. Namun, tanpa adanya agensi, kontradiksi ini tidak akan menghasilkan perubahan mendasar pada kapitalisme. Manifesto menobatkan kelas proletariat sebagai agen pengubah kapitalisme. Dan yang dimaksud dengan proletariat di sini adalah ‘kelas pekerja-upahan modern, yang karena tidak memiliki alat-alat produksinya sendiri, harus menjual tenaga-kerjanya untuk hidup.’[16] Menjual komoditi tenaga-kerja untuk hidup adalah ciri yang mendefinisikan proletariat.
Apa alasan Manifesto menobatkan proletariat sebagai agen pengubah kapitalisme? Ada setidaknya empat alasan. Pertama, proletariat memiliki posisi obyektif yang strategis dalam kapitalisme. Kapital diproduksi oleh proletariat, karenanya, keberadaan dan kekuasaan kelas borjuis bergantung pada proletariat. ‘Prasyarat esensial dari keberadaan dan kekuasaan kelas borjuis adalah pembentukan dan akumulasi kapital; prasyarat dari kapital adalah kerja upahan.’[17] Jika proletariat berhenti memproduksi kapital, maka kapitalisme dan kekuasaan kelas borjuis akan runtuh.
Namun, untuk merealisasikan kapasitas tersebut, proletariat harus bertindak secara kolektif sebagai sebuah kelas, bukan sebagai individu. Di sini, kita masuk ke alasan kedua, yakni kecenderungan proletariat untuk bersatu yang terekspresikan dalam bentuk organisasi-organisasi pekerja. Kencenderungan ini dikondisikan oleh perkembangan teknologi produksi dan pembagian kerja, yang menyederhanakan kerja, mengikis perbedaan jenis-jenis kerja, dan menekan upah ke tingkat yang relatif sama rendahnya. Akibatnya, terjadi persamaan kondisi hidup dan ‘kepentingan kelas’ diantara proletariat. Penyatuan ini juga dibantu oleh perkembangan alat-alat transportasi dan komunikasi yang mempermudah proletariat saling berkontak satu sama lain. Manifesto menyebut setidaknya satu kontra-kecenderungan bersatu, yaitu watak bersaing proletariat sebagai penjual komoditi tenaga-kerja. Namun, Manifesto optimis, kelas proletariat bisa mengatasi kontra-kecenderungan tersebut.
Alasan ketiga, dengan perkembangan kapitalisme, proletariat akan menjadi bagian terbesar dari masyarakat, dan karenanya memiliki kekuatan yang sangat besar. ‘Gerakan proletariat adalah gerakan independen dan berkesadaran-diri dari mayoritas besar masyarakat, untuk kepentingan mayoritas besar masyarakat.’[18] Kapitalisme akan menyapu sebagian dari lapisan lain masyarakat, sehingga mereka bertransformasi menjadi proletariat. Bahkan sebagian kelas borjuis yang kalah dalam persaingan antar-kapitalis, akan terlempar menjadi proletariat. Proses ini memperbesar jumlah proletariat dan memperkecil jumlah lapisan lain. Menurut Manifesto, kapitalisme menyederhanakan antagonisme kelas. ‘Masyarakat secara keseluruhan semakin terbelah ke dalam dua kubu besar yang bermusuhan, ke dalam dua kelas besar yang saling berhadapan secara langsung—borjuis dan proletariat.’[19]
Alasan keempat adalah watak ‘revolusioner’ proletariat dalam relasinya dengan kapitalisme dan kelas borjuis. Keberadaan kapitalisme mensyaratkan adanya proletariat, tetapi keberadaan proletariat juga mensyaratkan adanya kapitalisme. Dengan demikian, relasi proletariat dan borjuis bersifat kontradiktif, tetapi saling mensyaratkan. Ini membuat proletariat berbeda dengan kelas-kelas tertindas lainnya dalam kapitalisme. Petani juga ditindas oleh kapitalisme, tetapi mereka tidak berada dalam relasi saling mensyaratkan dengan kapitalisme. Jika mereka melawan kapitalisme, tujuannya adalah untuk mempertahankan keberadaan kelas mereka yang sedang digusur oleh kapitalisme. Sebaliknya, ketika proletariat melawan kapitalisme, mereka sebenarnya sedang melawan kondisi yang membuat diri mereka menjadi proletariat. Karena tidak berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan kelasnya, proletariat merupakan kelas yang akan konsisten dalam mewujudkan relasi kepemilikan sosial.
Tujuan Politik Komunis
Manifesto merumuskan masalah kapitalisme sebagai relasi kepemilikan borjuis. Kekuatan produktif yang berkembang pesat dalam kapitalisme merupakan prasyarat material dari sebuah tatanan sosial yang membebaskan. Pada tahap tertentu, perkembangan kekuatan produktif ini berkontradiksi dengan pengelolaan privat atasnya, yang dilakukan oleh kelas borjuis yang saling bersaing satu sama lain dalam mengejar laba. Akibatnya, terjadi krisis. Ada setidaknya dua pilihan yang bisa diambil dalam situasi ini. Pertama, mengekang perkembangan kekuatan produktif, seperti penghancuran paksa sejumlah besar kekuatan produktif oleh kelas borjuis di saat krisis. Kedua, menempatkan perkembangan kekuatan produktif itu di bawah pengelolaan demokratis dan terencana seluruh masyarakat. Kaum komunis memilih yang kedua, mengganti relasi kepemilikan borjuis dengan relasi kepemilikan sosial. Inilah solusi dari masalah relasi kepemilikan borjuis.
Namun, untuk mengganti relasi kepemilikan borjuis, kita harus menggulingkan kekuasaan kelas borjuis yang sudah pasti akan membentenginya. Kapitalisme telah melahirkan proletariat yang berkontradiksi dengan kelas borjuis dan memiliki kapasitas untuk mengalahkannya. Proletariat juga memiliki keunikan lain. Jika pada epoh sejarah sebelumnya, kelas yang mengalahkan kelas yang berkuasa, akan menegakkan relasi kepemilikan kelasnya—seperti kelas borjuis yang setelah mengalahkan kelas feodal, menegakkan relasi kepemilikan borjuis—proletariat, setelah mengalahkan kelas borjuis, tidak akan menegakkan ‘relasi kepemilikan proletariat.’ Pasalnya, mereka tidak mempunyai apa-apa kecuali tenaga-kerjanya. Lagipula, dengan mengalahkan kelas borjuis dan menghancurkan kapitalisme, mereka juga menghancurkan kondisi yang membuat diri mereka menjadi proletariat. Artinya, mereka tidak berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan kelas mereka. Karenanya, proletariat adalah kelas yang akan konsisten dalam mewujudkan relasi kepemilikan sosial. Proletariat adalah prasyarat material dari kekalahan kelas borjuis dan perwujudan relasi kepemilikan sosial.
Tujuan politik komunis, dengan demikian, adalah: (1) mewujudkan relasi kepemilikan sosial; (2) pemajuan kelas proletariat ke kekuasaan politik. Di sini, perlu dijernihkan bahwa yang dimaksud dengan relasi kepemilikan sosial adalah relasi kepemilikan sosial atas alat-alat produksi. Artinya, tidak mencakup obyek-obyek konsumsi. Salah satu black propaganda yang dilakukan terhadap komunisme adalah bahwa relasi kepemilikan sosial mencakup obyek-obyek konsumsi, sehingga komunisme terlihat absurd. Ini tidak benar. Dan Manifesto cukup eksplisit dalam menyatakan hal ini, ‘Kami sama sekali tidak bermaksud menghapuskan apropriasi personal atas produk kerja ini, sebuah apropriasi yang dilakukan untuk memelihara dan mereproduksi kehidupan manusia, dan yang tidak menyisakan surplus yang memungkinkan komando atas kerja pihak lain.’[20] Yang hendak dihapuskan adalah kepemilikan privat atas alat-alat produksi.
Penggantian relasi kepemilikan borjuis dengan relasi kepemilikan sosial tidak bisa dilakukan dengan sekali pukul. Dalam Manifesto, disebutkan bahwa setelah berkuasa, ‘Proletariat akan menggunakan supremasi politiknya untuk merebut, secara bertahap, semua kapital dari kelas borjuis, mensentralisir semua instrumen produksi di tangan negara, yakni proletariat yang terorganisir sebagai kelas yang berkuasa; dan meningkatkan seluruh kekuatan produktif secepat mungkin.’[21] Dalam kutipan di atas, kita bisa lihat kata ‘bertahap.’ Dalam ‘Prinsip-Prinsip Komunisme,’ hal itu diungkapkan secara lebih eksplisit.[22] Kenapa bertahap? Karena penggantian relasi kepemilikan borjuis dengan relasi kepemilikan sosial mensyaratkan kuantitas alat-alat produksi yang memadai, dan peningkatan alat-alat produksi tidak bisa dilakukan dengan sekali pukul. Adapun untuk melalui proses yang bertahap itu, diperlukan langkah-langkah ‘yang tentu akan berbeda di negara yang berbeda,’[23] tergantung dari situasi kekuatan produktifnya. Manifesto mengajukan 10 langkah yang dapat diterapkan di negara-negara maju saat itu.
Tugas Kaum Komunis
Tujuan politik komunis bertumpu pada proletariat sebagai agensinya, tetapi kenapa ada agensi lain yang dinamakan ‘kaum komunis?’ Siapa itu kaum komunis? Dalam Kata Pengantar Manifesto Edisi Inggris 1888, Engels menceritakan kenapa mereka memilih judul ‘Manifesto Komunis’ dan bukan ‘Manifesto Sosialis.’ Alasannya, karena pada 1847, istilah sosialisme identik dengan gerakan yang meski bertendensi sosialis, tetapi berbasis kelas-menengah. Sementara, istilah komunis digunakan oleh gerakan kelas pekerja yang sudah menyadari pentingnya perubahan sosial secara total. Basis kelas, dengan demikian, menjadi salah satu pertimbangan penting Marx dan Engels. Signifikansi basis kelas dari suatu tendensi juga bisa kita lihat dalam Bab III yang berisikan kritik terhadap berbagai tendensi sosialis dan komunis pada masa itu. Di Bab itu, Manifesto mengungkap basis kelas non-proletariat dari berbagai tendensi sosialis dan komunis yang dikritiknya.
Jadi, kaum komunis adalah bagian dari kelas proletariat. Tetapi, apa yang membedakan mereka dari bagian lain kelas proletariat? Tentu bukan kaos merah, bendera merah, dan berbagai atribut simbolik lainnya. Mereka dibedakan berdasarkan kualitas mereka: (1) Di tingkat praktek, mereka adalah lapisan kelas pekerja yang ‘paling maju dan berketeguhan hati...yang mendorong maju bagian lain kelas pekerja;’ (2) Di tingkat teori, mereka memiliki ‘pemahaman yang jernih tentang arah gerak, kondisi, dan hasil akhir dari gerakan proletariat.’[24] Perbedaan kualitas kaum komunis dengan bagian lain kelas proletariat ini bukan disebabkan karena bakat atau innate characteristics lainnya. Semua proletariat berpotensi untuk maju dan menjadi komunis. Namun, ada faktor-faktor sosial-historis tertentu yang menyebabkan perkembangan kelas proletariat tidak berjalan seragam, dan karenanya, tercipta perbedaan ini.
Lantas, apa peran yang harus dimainkan oleh kaum komunis? Peran yang harus diambil oleh kaum komunis adalah mendorong maju bagian proletariat lainnya agar kelas proletariat bisa mengalahkan kelas borjuis, mengambil alih kekuasaan politik dan mewujudkan relasi kepemilikan sosial, yang mana merupakan tujuan politik komunis. Tercakup di sini adalah mendorong persatuan kelas proletariat, karena hanya dengan bersatu, kelas proletariat bisa merealisasikan potensinya sebagai ‘penggali kubur’ kapitalisme. Politik komunis adalah politik kelas, bukan politik aliran. Seperti yang dikatakan oleh Manifesto, kaum komunis ‘tidak menetapkan prinsip-prinsip sektarian mereka sendiri, untuk membentuk gerakan proletariat.’[25] Tugas kaum komunis hanyalah memfasilitasi perkembangan kelas proletariat agar mereka bisa merealisasikan potensi mereka.
Terakhir, mengingat pada momen tertentu, gerakan kelas non-proletariat bisa berwatak revolusioner, bagaimana sikap kaum komunis jika gerakan semacam ini muncul? Bab terakhir Manifesto membahas hal ini. Dan penafsiran saya, sejauh gerakan kelas non-proletariat itu membuat keadaan menjadi lebih menguntungkan bagi gerakan proletariat, maka kaum komunis bisa mendukung atau bersekutu dengannya. Namun, di tengah dukungan dan persekutuan ini, kaum komunis juga harus memajukan ‘persoalan kepemilikan, terlepas dari tingkat perkembangannya di saat itu.’[26] Contoh bagus taktik ini adalah dukungan kaum komunis Jerman terhadap kelas borjuis di negeri mereka yang melawan monarki absolut menjelang revolusi demokratik 1848. Alasan dukungan mereka adalah karena mereka ‘tidak bisa masuk ke dalam perjuangan yang menentukan antara diri mereka dengan kaum borjuis sampai kaum borjuis berkuasa, karenanya adalah kepentingan kaum komunis untuk membantu kaum borjuis berkuasa secepat mungkin agar bisa secepat mungkin juga digulingkan.’[27] Tetapi, di saat mendukung kelas borjuis, mereka juga berpropaganda ke kelas pekerja tentang antagonisme borjuis-proletariat di masa depan.
Catatan Penutup
Berdasarkan paparan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan berikut. Manifesto merumuskan masalah, solusi dan tujuan politiknya berdasarkan analisa atas kondisi historis yang berlaku, yakni kapitalisme. Kapitalisme mengandung masalah, tetapi juga menyediakan prasyarat material dari solusinya. Masalah kapitalisme adalah relasi kepemilikan borjuis, sementara solusinya adalah relasi kepemilikan sosial. Realisasi solusi ini dimungkinkan karena adanya perkembangan kekuatan produktif yang pesat dan pertumbuhan kelas proletariat. Tujuan politik komunis, dengan demikian, adalah mewujudkan relasi kepemilikan sosial melalui kekuasaan politik kelas proletariat. Karenanya, tugas pokok kaum komunis adalah memfasilitasi perkembangan kelas proletariat agar mereka bisa mengambilalih kekuasaan politik. Konsekuensi strategi-taktiknya, bermacam strategi-taktik hanya valid jika berkontribusi pada kemajuan gerakan proletariat.
Pertanyaannya, apakah gagasan-gagasan pokok Manifesto masih relevan? Terkait perumusan masalah Manifesto, menurut hemat saya, masih relevan. Kita bisa lihat betapa kolosalnya perkembangan kekuatan produktif dalam bentuk kemajuan teknologi saat ini. Kita juga menyaksikan betapa sudah tersosialisasinya dunia ini sampai tercipta istilah ‘globalisasi’ dalam wacana sosial-politik kontemporer. Namun, semua perkembangan ini masih berlangsung dalam kerangka kepemilikan borjuis yang mencakup relasi persaingan. Akibatnya, dunia terus digoncang krisis dan barbarisme. Wesley Clair Mitchell menghitung 15 krisis selama 1810-1920, sementara Paul Samuelson mencatat 7 resesi selama 1945-1975. Sekitar tahun 1930-1940, terjadi Depresi Besar.[28] Dan pada 2008, dunia dihantam oleh krisis yang bermula di Amerika Serikat (AS) dan masih terasa sampai saat ini.
Tentu saja, jika problem mendasarnya adalah ketidaksesuaian perkembangan kekuatan produktif saat ini dengan pengelolaan privat atasnya oleh kelas borjuis yang saling bersaing secara anarkis demi akumulasi laba, maka solusi rasional atasnya adalah menempatkan perkembangan kekuatan produktif itu di bawah pengelolaan demokratis dan terencana seluruh masyarakat demi kemaslahatan masyarakat. Singkatnya, solusinya adalah relasi kepemilikan sosial. Adapun gagasan proletariat sebagai agen pengubah kapitalisme, menurut hemat saya, juga masih relatif relevan. Proletariat memang memiliki posisi strategis sebagai prasyarat dari kapital. Karenanya, jika mereka berhenti memproduksi kapital, maka kekuasaan kapital akan runtuh.
Problemnya adalah kapasitas ini hanya bisa terealisasi jika proletariat bersatu. Manifesto optimis dengan persatuan kelas proletariat, karena melihat adanya faktor struktural di balik itu. Perkembangan teknologi produksi akan mengakibatkan penyamaan kondisi hidup proletariat, sehingga mereka akan memiliki ‘kepentingan kelas’ yang sama. Tapi, faktor struktural ini tidak selalu ditemui. Dalam Mogok Nasional 2013, misalnya, salah satu problem yang saya temui adalah ‘perbedaan kepentingan buruh’ akibat kondisi industri yang tidak seragam. Jika kita cermati, buruh yang paling militan dalam melakukan Mogok Nasional kemarin adalah buruh sektor metal yang industrinya solid dan direpresentasikan oleh FSPMI. Namun, ada kritik dan penolakan ikut serta dari sebagian buruh di sektor tekstil. Mereka menganggap tuntutan kenaikan upah minimum 50 persen tidak rasional dilihat dari sudut pandang sektor industri mereka.[29]
Artinya, gagasan di atas perlu ditinjau kembali. Selain itu, gagasan yang menurut hemat saya juga perlu ditinjau kembali adalah gagasan bahwa kelas proletariat menjadi bagian terbesar dari masyarakat. Gagasan ini terlihat berkontradiksi dengan analisa Marx sendiri yang menyatakan bahwa penerapan teknologi produksi akan menyebabkan banyaknya pengangguran, dan karenanya, menekan upah turun akibat berlimpahnya persediaan tenaga-kerja berbanding permintaan industri. Kita memang bisa berpikir bahwa para pengangguran, selama masih mencari kerja, masih menjadi proletariat, karena mereka masih menjajakan tenaga-kerjanya, hanya saja tenaga-kerja mereka tidak laku. Pengangguran menjadi lumpenproletariat ketika mereka berhenti menjajakan tenaga-kerjanya dan menjadi ‘kriminal.’ Namun, menurut saya, hal ini masih perlu dipikirkan secara mendalam.
Terakhir, yang juga relevan dari Manifesto, adalah optimismenya. Manifesto menetapkan proletariat sebagai agen pengubah kapitalisme di saat proletariat belum menjadi kelas yang dominan dalam masyarakat. Mungkin rujukan Marx dan Engels waktu itu adalah Inggris yang industrinya maju, tetapi Jerman sendiri masih didominasi oleh pekerja-artisan dan bukan buruh industrial.[30] Slogan persatuan buruh juga tidak banyak direspon pada saat Manifesto pertama kali terbit. Namun demikian, optimisme ini terbukti nyata saat kaum buruh sedunia melakukan perjuangan delapan jam kerja pada 1880-an. Dalam Kata Pengantar Manifesto Edisi Jerman 1890, Engels menyatakan, tidak ada ‘saksi yang lebih baik daripada hari ini.’[31] Optimisme inilah yang kita perlukan saat ini di tengah gempuran krisis, barbarisme, fragmentasi gerakan dan oportunisme. Ada masa depan yang harus kita menangkan: Kaum Buruh Seluruh Dunia, Bersatulah!
Catatan:
[1] Lihat David McLellan, Marx Before Marxism (London: Macmillan, 1970), hlm. 1-6; Frederick Engels, ‘On The History of the Communist League,’ dalam Marx and Engels Selected Works, Jilid 3 (Moscow: Progress Publishers, 1970), diakses 31 Januari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/communist-league/1885hist.htm.
[2] Pembahasan tentang kelahiran Manifesto ini didasarkan pada Frederick Engels, ibid., dan Rob Beamish, ‘The Making of the Manifesto.’ Socialist Register, Vol. 34, 1998, diakses 31 Januari 2014 dari http://socialistregister.com/index.php/srv/article/view/5708/2604.
[3] Lihat Frederick Engels, ‘Draft of a Communist Confession of Faith,’ dalam Marx/Engels Collected Works, Jilid 6, hlm. 92, diakses 1 Februari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/06/09.htm.
[4] Di sini, saya mengikuti interpretasi sejarah Rob Beamish, op. cit.
[5] Lihat Frederick Engels, ‘The Principles of Communism,’ dalam Selected Works, Jilid I (Moscow: Progress Publishers, 1969) hlm. 81-197, diakses 3 Februari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/11/prin-com.htm.
[6] ‘The theoretical conclusions of the communists are in no way based on ideas or principles that have been invented, or discovered, by this or that would-be universal reformer.’ (hlm. 53). Semua terjemahan kutipan dalam Bahasa Indonesia oleh saya sendiri.
[7] ‘They merely express, in general terms, actual relations springing from an existing class struggle, from a historical movement going on under our very eyes.’ (hlm. 53).
[8] ‘Concerning Feuerbach,’ yang lebih dikenal dengan judul ‘Theses on Feuerbach,’ adalah catatan pendek Marx yang ditemukan Engels dan diterbitkan pertama kali setelah diedit olehnya pada 1888. Diperkirakan catatan pendek ini ditulis Marx pada musim semi 1845. ‘Theses on Feuerbach’ adalah judul yang diberikan oleh Engels terhadap catatan itu. Versi yang saya pakai di sini adalah versi yang belum diedit oleh Engels dan diterbitkan Penguin Books. Kritik Marx yang saya maksud di atas ada di tesis III, dimana ia menyatakan ’The materialist doctrine concerning the changing of circumstances and upbringing forgets that circumstances are changed by man and that it is essential to educate the educator himself.’ Lihat Karl Marx, ‘Concerning Feuerbach,’ dalam Karl Marx, Early Writings (London: Penguin Books, 1992), hlm. 422.
[9] ‘The history of all hitherto existing society is the history of class struggle.’ (hlm. 33).
[10] Lihat catatan kaki no. 1 dalam Manifesto, dimana dinyatakan, ‘By bourgeoisie is meant the class of modern capitalists, owners of the means of social production and employers of wage labour.’ (hlm. 33).
[11] ‘The bourgeoisie, historically, has played a most revolutionary part.’ (hlm. 36).
[12] ‘The bourgeoisie, during its rule of scarce 100 years, has created more massive and more colossal productive forces than have all preceding generations together.’ (hlm. 40).
[13] Frederick Engels, ‘The Principles of Communism,’ tanya-jawab no. 13. Kata-kata lengkapnya adalah sebagai berikut: ‘That big industry, and the limitless expansion of production which it makes possible, bring within the range of feasibility a social order in which so much is produced that every member of society will be in a position to exercise and develop all his powers and faculties in complete freedom.’
[14] Kalimat lengkapnya berbunyi, ‘Modern bourgeois society, with its relations of production, of exchange and of property, a society that has conjured up such gigantic means of production and of exchange, is like the sorcerer who is no longer able to control the powers of the nether world whom he has called up by his spells.’ (hlm. 41).
[15] Kata-kata lebih lengkapnya berbunyi: ‘And how does the bourgeoisie get over these crises? On the one hand by enforced destruction of a mass of productive forces; on the other, by the conquest of new markets, and by the more thorough exploitation of the old ones.’ (hlm. 42).
[16] Lihat catatan kaki no. 1 dalam Manifesto: ‘By proletariat, the class of modern wage-labourers who, having no means of production of their own, are reduced to selling their labour power in order to live.’ (hlm. 33).
[17] ‘The essential conditions for the existence and for the sway of the bourgeois class is the formation and augmentation of capital; the condition for capital is wage labour.’ (hlm. 51).
[18] ‘The proletarian movement is the self-conscious, independent movement of the immense majority, in the interest of the immense majority.’ (hlm. 50).
[19] ‘Society as a whole is more and more splitting up into two great hostile camps, into two great classes directly facing each other—bourgeoisie and proletariat.’ (hlm. 34).
[20] ‘We by no means intend to abolish this personal appropriation of the products of labour, an appropriation that is made for the maintenance and reproduction of human life, and that leaves no surplus wherewith to command the labour of others.’ (hlm. 55).
[21] ‘The proletariat will use its political supremacy to wrest, by degree, all capital from the bourgeoisie, to centralise all instruments of production in the hands of the state, i.e., of the proletariat organised as the ruling class; and to increase the total productive forces as rapidly as possible.’ (hlm. 63-64).
[22] Lihat Frederick Engels, ‘The Principles of Communism,’ tanya-jawab no. 17.
[23] Kalimat lengkapnya berbunyi, 'These measures will, of course, be different in different countries.' (hlm. 64).
[24] Bagian Manifesto yang mengekspresikan kedua kualitas ini adalah: ‘The communists, therefore, are on the one hand, practically, the most advanced and resolute section of the working-class parties of every country, that section which pushes forward all others; on the other hand, theoretically, they have over the great mass of the proletariat the advantage of clearly understanding the lines of march, the conditions, and the ultimate general results of the proletarian movement.’ (hlm. 53).
[25] Kalimat lengkapnya adalah: ‘They do not set up any sectarian principles of their own, by which to shape and mould the proletarian movement.’ (hlm. 52).
[26] Kalimat lengkapnya: ‘In all these movements, they bring to the front, as the leading question in each, the property question, no matter what its degree of development at the time.’ (hlm. 84).
[27] Lihat Frederick Engels, ‘The Principles of Communism,’ tanya-jawab no. 25. Kalimat lengkapnya berbunyi: ‘Since the communist cannot enter upon the decisive struggle between themselves and the bourgeoisie until the bourgeoisie is in power, it follows that it is in the interest of the communist to help the bourgeoisie to power as soon as possible in order the sooner to be able to overthrow it.’
[28] Lihat Anwar Shaikh, ‘Pengantar Sejarah Teori Krisis,’ Partai Rakyat Pekerja, 8 November 2011, diakses 3 Februari 2014 dari http://www.prp-indonesia.org/2011/pengantar-sejarah-teori-krisis.
[29] Lihat Bayu, ‘Kenaikan Upah Minimun 50% TERLIHAT RASIONAL, Tapi untuk INDUSTRI PAKAIAN, TEKSTIL & SEPATU Artinya PHK Massal!,’ www.TribunRakyat.com, 8 Oktober 2013, diakses 7 Februari 2014 dari http://tribunrakyat.com/?p=2103.Tulisan itu merupakan kritik atas tulisan Mohamad Zaki Hussein, ‘Kenaikan Upah Minimum 50% Itu Rasional,’ Zetetick, 6 Oktober 2013, diakses 7 Februari 2014 dari http://zetetick.blogspot.com/2013/10/kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional.html.
[30] Dalam ‘On The History of the Communist League,’ Frederick Engels mengungkapkan bahwa mayoritas anggota Liga Komunis adalah pekerja-artisan: ‘The members, in so far as they were workers at all, were almost exclusively artisans.’
[31] Kalimat lengkapnya berbunyi: ‘But that the eternal union of the proletarians of all countries created by it is still alive and lives stronger than ever, there is no better witness than this day.’ (hlm. 103).
Pustaka Tambahan
Bayu. ‘Kenaikan Upah Minimun 50% TERLIHAT RASIONAL, Tapi untuk INDUSTRI PAKAIAN, TEKSTIL & SEPATU Artinya PHK Massal!,’ www.TribunRakyat.com, 8 Oktober 2013. Diakses 7 Februari 2014 dari http://tribunrakyat.com/?p=2103.
Beamish, Rob. ‘The Making of the Manifesto.’ Socialist Register, Vol. 34, 1998. Diakses 31 Januari 2014 dari http://socialistregister.com/index.php/srv/article/view/5708/2604.
Engels, Frederick. ‘Draft of a Communist Confession of Faith,’ dalam Marx/Engels Collected Works, Jilid 6. Diakses 1 Februari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/06/09.htm.
Engels, Frederick. ‘On The History of the Communist League,’ dalam Marx and Engels Selected Works, Jilid 3. Moscow: Progress Publishers, 1970. Diakses 31 Januari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/communist-league/1885hist.htm.
Engels, Frederick. ‘The Principles of Communism,’ dalam Selected Works, Jilid I. Moscow: Progress Publishers, 1969. Diakses 3 Februari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/11/prin-com.htm.
Hussein, Mohamad Zaki. ‘Kenaikan Upah Minimum 50% Itu Rasional,’ Zetetick, 6 Oktober 2013. Diakses 7 Februari 2014 dari http://zetetick.blogspot.com/2013/10/kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional.html.
Marx, Karl. ‘Concerning Feuerbach,’ dalam Karl Marx, Early Writings. London: Penguin Books, 1992.
McLellan, David. Marx Before Marxism. London: Macmillan, 1970.
Shaikh, Anwar. ‘Pengantar Sejarah Teori Krisis,’ Partai Rakyat Pekerja, 8 November 2011. Diakses 3 Februari 2014 dari http://www.prp-indonesia.org/2011/pengantar-sejarah-teori-krisis.
Penulis: Karl Marx dan Friedrich Engels
Penerbit: Pluto Press, London, 2008
Tebal: 115 halaman
Pada Februari 1848, terbit dokumen politik Marxis pertama dalam sejarah, Manifesto Komunis (selanjutnya disebut Manifesto). Dokumen ini merupakan platform politik Liga Komunis, gerakan pekerja internasional pertama di era kapitalisme. Meski ditulis oleh Marx dibantu Engels, dan pandangan mereka memang mendominasi isinya, dokumen ini sebenarnya adalah produk diskusi dan perdebatan di Liga Komunis. Dalam rangka memperingati 166 tahun Manifesto, saya hendak mengulas gagasan-gagasan pokok dokumen tersebut. Sebagai dokumen politik, Manifesto dapat dibaca dengan struktur logis berikut: perumusan masalah, solusi, dan beberapa turunan dari solusi itu. Tetapi, sebelum masuk ke ulasan atas isinya, mari kita bahas terlebih dahulu konteks lahirnya Manifesto.
Lahirnya Manifesto Komunis
Pada awal 1800-an, Jerman baru menapaki proses industrialisasi. Ekonominya masih didominasi pertanian, industri rumah tangga, dan kerajinan tangan. Industri berskala besar hanya ada di sektor tekstil. Jumlah pekerja-artisan masih lebih banyak daripada jumlah buruh industrial. Namun demikian, proses industrialisasi di Jerman berjalan pesat. Dan seiring dengan proses ini, terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selama 1815-1855, jumlah penduduk di Jerman meningkat sebesar 50 persen. Hal ini mengakibatkan besarnya jumlah imigran Jerman ke negara Eropa lainnya dan Amerika. Selama 1818-1848, terdapat 750.000 imigran Jerman.[1]
Pada 1834, sejumlah imigran Jerman di Perancis mendirikan sebuah perkumpulan rahasia republikan-demokratik yang bernama ‘Liga Para Pelanggar Hukum’ (Bund der Geächteten).[2] Pada 1836, sebagian dari mereka yang kebanyakan adalah pekerja-artisan, memisahkan diri dan mendirikan ‘Liga Keadilan’ (Bund der Gerechten). Dalam Liga Keadilan, ada beragam tendensi komunis serta sosialis. Di antara yang dominan adalah ajaran komunisme Wilhelm Weitling. Liga Keadilan juga berada di bawah pengaruh sebuah perkumpulan komunis Perancis, ‘Komunitas Musim’ (Société des Saisons) yang dipimpin Auguste Blanqui. Saat Komunitas Musim melancarkan pemberontakan pada 12 Mei 1839, Liga Keadilan mengikutinya. Pemberontakan itu gagal dan para aktivis Komunitas Musim serta Liga Keadilan ditangkapi.
Tidak lama kemudian, aktivis Liga Keadilan yang dideportasi ke Inggris berupaya mengonsolidasikan kembali Liga Keadilan. Bersama para pekerja Jerman lainnya, mereka mendirikan sebuah perkumpulan terbuka di Inggris, ‘Asosiasi Pendidikan Pekerja Jerman,’ pada 7 Februari 1840. Perkumpulan ini menjadi lahan rekrutmen bagi Liga Keadilan. Taktik serupa direplikasi di negara-negara lain. Liga Keadilan pun meluas ke berbagai negara di Eropa dengan pusatnya di Inggris. Dalam perkembangannya, Liga Keadilan menjadi berwatak internasional. Anggotanya tidak lagi hanya orang Jerman, tetapi juga orang dari negara-negara lain. ‘Asosiasi Pendidikan Pekerja Jerman’ pun berubah nama menjadi ‘Asosiasi Pendidikan Pekerja Komunis.’ Mereka mengadopsi slogan ‘Semua Manusia Bersaudara.’
Marx mulai berkontak dengan Liga Keadilan saat ia pindah ke Paris di tahun 1843. Pada tahun yang sama, Engels diajak bergabung ke dalam Liga Keadilan oleh Karl Schapper, salah seorang aktivisnya. Engels menolak, karena pemikiran sosialis dan komunis yang dianggapnya keliru masih dominan di Liga Keadilan. Pada 25 Januari 1845, Marx diusir oleh pemerintah Perancis dan pindah ke Brussels. Bersama dengan Engels dan Philippe Gigot, ia mendirikan ‘Komite Korespondensi Komunis,’ yang kemudian menjadi wadah bertukar pikiran antar aktivis komunis dan sosialis di Eropa. Melalui diskusi, surat-menyurat, serta terbitan, Marx dan Engels berupaya memenangkan pandangan mereka di kalangan aktivis sosialis dan komunis Eropa, seraya mengritik sosialisme dan komunisme jenis lain, seperti komunisme Weitling dan Kriege.
Pada 1847, salah seorang aktivis Liga Keadilan, Joseph Moll, mendatangi Marx di Brussels dan kemudian Engels di Paris. Moll menyatakan bahwa sebagian dari mereka sudah menyetujui pandangan-pandangan Marx, dan mengajak Marx serta Engels untuk masuk ke Liga Keadilan. Ia menyatakan bahwa Marx dan Engels akan diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka di hadapan kongres yang akan menyepakati sebuah manifesto. Marx dan Engels akhirnya setuju untuk masuk ke Liga Keadilan. Marx lalu mendirikan sebuah komunitas Liga di Brussels, dan Engels mengikuti tiga komunitas Liga di Paris.
Pada 2-9 Juni 1847, Liga Keadilan mengadakan kongres internasionalnya di London, Inggris. Marx tidak bisa mengikuti kongres ini, karena persoalan ongkos, sehingga komunitas Brussels diwakili oleh Wilhelm Wolff. Adapun Engels menghadiri kongres sebagai perwakilan komunitas Paris. Kongres ini lantas menyepakati slogan: ‘Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!’; struktur organisasi yang terdiri dari komunitas, lingkaran, lingkaran utama, Komite Pusat dan Kongres; perubahan nama ‘Liga Keadilan’ menjadi ‘Liga Komunis’—karenanya, kongres ini juga bisa disebut sebagai Kongres Liga Komunis I. Kongres ini juga menghasilkan sebuah rancangan program yang disebut ‘Draft Pengakuan Keyakinan Seorang Komunis,’[3] yang akan didiskusikan terlebih dahulu di tingkat komunitas serta lingkaran—mereka juga boleh mengajukan revisi—dan akan diputuskan di kongres berikutnya.
Penulis ‘Draft Pengakuan Keyakinan Seorang Komunis’ adalah Engels, dan pikiran Engels memang berpengaruh kuat pada isi teks itu. Namun, di situ juga ada pengaruh Moses Hess, seorang aktivis Liga yang terpengaruh gagasan sosialisme utopis.[4] Pada 1844, Hess menerbitkan sebuah tulisan di Vorwärts, ‘Pengakuan Seorang Komunis dalam Bentuk Tanya-Jawab’ dan tulisan ini memainkan peran penting dalam pembuatan dokumen ‘Draft Pengakuan Keyakinan.’ Hess juga mengajukan revisi atas ‘Draft Pengakuan Keyakinan’ ke lingkaran Paris. Namun, Engels berhasil mengalahkan Hess secara politik dengan mengritik draft Hess secara rinci. Engels juga merasa bentuk katekismus dari ‘Draft Pengakuan Keyakinan’ tidak memadai. Ia pun menulis dokumen baru, ‘Prinsip-Prinsip Komunisme,’[5] untuk dibahas di Kongres II.
Kongres II Liga Komunis digelar pada 29 November - 10 Desember 1847. Kali ini, Marx ikut menghadirinya. Kongres II berhasil mencapai kesepakatan dalam hal program politik, tetapi tidak punya cukup waktu untuk merampungkan penulisannya. Tugas ini lalu diberikan kepada Marx dan edisi pertama Manifesto terbit tanpa nama pengarang pada pertengahan Februari 1848. Edisi keduanya masih terbit secara anonim pada Mei 1848. Edisi ini bersama dengan edisi 1866, menjadi basis dari edisi-edisi berikutnya. Adapun nama Marx dan Engels pertama kali dinyatakan sebagai pengarang Manifesto saat sebagian teks Manifesto diterbitkan di Neue Rheinische Zeitung No. V dan VI pada Mei-Oktober 1850.
Kapitalisme dan Relasi Kepemilikan Borjuis
Sekarang, mari kita bahas isi Manifesto. Saya akan mulai dari metode Manifesto dalam merumuskan tujuan politiknya, yang bisa dilihat dalam bagian awal Bab II. ‘Kesimpulan teoritik kaum komunis tidak didasarkan pada ide-ide atau prinsip-prinsip yang telah dibuat, atau ditemukan, oleh pembaharu universal ini atau itu.’[6] Tujuan politik komunis ‘hanya mengekspresikan secara umum, relasi-relasi aktual yang muncul dari perjuangan kelas yang ada, dari sebuah gerak historis yang berlangsung di depan mata kita.’[7] Menurut hemat saya, kalimat ini hendak membedakan tujuan politik Manifesto dengan utopianisme yang mendominasi gerakan komunis dan sosialis saat itu. Berbeda dengan utopianisme yang mencoba merumuskan ‘idealitas’ tertentu tanpa memikirkan prasyarat material dari realisasinya, tujuan politik komunis dirumuskan dengan memikirkan prasyarat material dari realisasinya.
Namun, kita juga harus hati-hati untuk tidak terjebak ke dalam penafsiran yang pasif atas kalimat itu, bahwa politik komunis sekadar mengikuti ‘gerak historis’ yang berjalan secara otomatis menuju komunisme. Marx dan Engels tidak menganut pandangan ‘sejarah yang otomatis’ seperti itu. Dalam ‘Concerning Feuerbach,’ Marx mengritik paham materialisme yang melupakan bahwa ‘keadaan diubah oleh manusia.’[8] Lagi pula, jika sejarah berjalan secara otomatis menuju komunisme, maka politik komunis menjadi mubazir. Pasalnya, tanpa politik komunis pun, sejarah akan berjalan secara otomatis menuju komunisme. Adanya prasyarat material dari komunisme hanya berarti bahwa komunisme itu mungkin—tidak mustahil, tidak pula niscaya—untuk diwujudkan. Tetapi, apakah komunisme itu akan mewujud atau tidak tergantung dari faktor agensi.
Berdasarkan penalaran di atas, Bab I Manifesto yang berisikan pemaparan historis tentang perjuangan kelas borjuis-proletariat, bisa dibaca sebagai upaya perumusan masalah seraya mencari prasyarat material dari solusi atas masalah itu. Bab I dibuka dengan pernyataan tentang perjuangan kelas secara umum. ‘Sejarah semua masyarakat sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas.’[9] Dalam catatan kaki nomor 2, bisa kita lihat bahwa apa yang dimaksud ‘semua sejarah’ di sini adalah ‘semua sejarah tertulis.’ Artinya, tidak mencakup masyarakat pra-sejarah, dimana ditemukan kepemilikan kolektif atas tanah. Kemudian, dinyatakan perjuangan kelas bisa terbuka, bisa laten, dan akan berakhir pada rekonstitusi masyarakat secara revolusioner atau kehancuran dari kelas-kelas yang bertarung. Yang terakhir ini bisa dibaca demikian: bahwa tidak ada keniscayaan dalam hasil perjuangan kelas. Perjuangan kelas bisa menghasilkan perubahan revolusioner, tetapi bisa juga barbarisme. Ke arah mana perjuangan kelas berjalan relatif bergantung pada faktor agensi.
Selanjutnya, Manifesto masuk ke epoh sejarah kapitalisme. Kalau kita cermati, Manifesto tidak mengutuk kapitalisme dan kelas borjuis—yang didefinisikannya sebagai ‘pemilik alat-alat produksi sosial dan majikan kerja-upahan’[10]—secara total. Sebaliknya, Manifesto memuji peran awal kelas borjuis dan kapitalisme. ‘Kaum borjuis, secara historis, telah memainkan peran paling revolusioner,’[11] ungkapnya. Dan salah satu peran revolusioner kapitalisme adalah memajukan kekuatan produktif. ‘Kaum borjuis, selama kekuasaan 100 tahun-nya yang pendek, telah menciptakan kekuatan produktif yang lebih masif dan kolosal dari yang dibuat seluruh generasi sebelumnya.’[12] Kemajuan kekuatan produktif ini, menurut ‘Prinsip-Prinsip Komunisme,’ memungkinkan ‘sebuah tatanan sosial dimana begitu banyak yang diproduksi sehingga setiap anggota masyarakat akan berada dalam posisi untuk mempraktekkan dan mengembangkan semua kekuatan serta kecakapannya dengan kebebasan penuh.’[13] Kekuatan produktif yang berkembang pesat dalam kapitalisme, dengan demikian, adalah prasyarat material dari sebuah tatanan sosial yang membebaskan.
Selain perkembangan kekuatan produktif, disebutkan juga bahwa kapitalisme membuat masyarakat dunia menjadi semakin terhubung satu sama lain. Produksi material, intelektual dan masyarakat semakin tersosialisasi secara internasional. Namun, semua ini berlangsung dalam kerangka kepemilikan borjuis. Pada tahap tertentu, perkembangan kekuatan produktif yang pesat ini, menjadi tidak lagi sesuai dengan relasi kepemilikan borjuis yang menjadi organisasi sosialnya. Akibatnya, muncullah krisis yang melontarkan masyarakat ke dalam situasi barbarisme. Kapitalisme telah memajukan kekuatan produktif yang kemudian berkontradiksi dengannya, seperti ‘tukang sihir yang tidak lagi dapat mengontrol kekuatan alam ghaib yang dipanggilnya dengan mantra-mantranya.’[14] Dan untuk mengatasi krisis, salah satu yang dilakukan kelas borjuis adalah kebalikan dari yang mereka lakukan dulu, yakni ‘penghancuran paksa terhadap sejumlah besar kekuatan produktif.’[15] Inilah masalah pokok kapitalisme yang dirumuskan Manifesto, yakni relasi kepemilikan borjuis.
Manifesto menyebut krisis over-produksi. Tetapi, selain krisis over-produksi, Marx juga mengembangkan teori krisis jatuhnya tingkat laba. Kedua teori itu sama-sama memberikan peran kunci terhadap perkembangan kekuatan produktif. Jadi, untuk memenangkan persaingan di pasar, si kapitalis harus menjual lebih banyak komoditi dengan harga lebih murah dari saingannya. Dan untuk ini, ia harus meningkatkan produktivitas pekerja dengan mengembangkan kekuatan produktifnya. Karena semua kapitalis berlomba-lomba melakukan hal itu, terjadilah produksi yang melebihi kebutuhan masyarakat (over-produksi). Begitu pula, investasi para kapitalis akan meningkat melebihi peningkatan nilai surplus yang dihisap dari pekerja, padahal sumber laba adalah nilai surplus. Walhasil, krisis jatuhnya tingkat laba.
Proletariat: Agen Pengubah Kapitalisme
Perubahan sebuah sistem sosial mensyaratkan adanya agensi, yang kemunculannya dikondisikan oleh sistem sosial tersebut. Transformasi feodalisme ke kapitalisme mensyaratkan kelas borjuis yang pertumbuhan awalnya dikondisikan oleh perkembangan kekuatan produktif di masa feodalisme. Embrio kelas borjuis adalah warga kota (burghers) paling awal, yang berasal dari petani-hamba (serf) Abad Pertengahan. Pada tahap tertentu feodalisme, perkembangan kekuatan produktif ini berkontradiksi dengan organisasi sosialnya. Pelampauan feodalisme—dan kontradiksi internalnya—ke kapitalisme terjadi ketika kelas borjuis memajukan diri mereka ke kekuasaan politik, menghancurkan relasi kepemilikan feodal dan menggantinya dengan relasi kepemilikan borjuis.
Apa yang berlaku pada feodalisme juga berlaku pada kapitalisme. Kelas borjuis telah memajukan dengan sangat pesat kekuatan produktif yang kemudian berkontradiksi dengan relasi kepemilikan borjuis. Kontradiksi ini mengemuka dalam bentuk krisis. Namun, tanpa adanya agensi, kontradiksi ini tidak akan menghasilkan perubahan mendasar pada kapitalisme. Manifesto menobatkan kelas proletariat sebagai agen pengubah kapitalisme. Dan yang dimaksud dengan proletariat di sini adalah ‘kelas pekerja-upahan modern, yang karena tidak memiliki alat-alat produksinya sendiri, harus menjual tenaga-kerjanya untuk hidup.’[16] Menjual komoditi tenaga-kerja untuk hidup adalah ciri yang mendefinisikan proletariat.
Apa alasan Manifesto menobatkan proletariat sebagai agen pengubah kapitalisme? Ada setidaknya empat alasan. Pertama, proletariat memiliki posisi obyektif yang strategis dalam kapitalisme. Kapital diproduksi oleh proletariat, karenanya, keberadaan dan kekuasaan kelas borjuis bergantung pada proletariat. ‘Prasyarat esensial dari keberadaan dan kekuasaan kelas borjuis adalah pembentukan dan akumulasi kapital; prasyarat dari kapital adalah kerja upahan.’[17] Jika proletariat berhenti memproduksi kapital, maka kapitalisme dan kekuasaan kelas borjuis akan runtuh.
Namun, untuk merealisasikan kapasitas tersebut, proletariat harus bertindak secara kolektif sebagai sebuah kelas, bukan sebagai individu. Di sini, kita masuk ke alasan kedua, yakni kecenderungan proletariat untuk bersatu yang terekspresikan dalam bentuk organisasi-organisasi pekerja. Kencenderungan ini dikondisikan oleh perkembangan teknologi produksi dan pembagian kerja, yang menyederhanakan kerja, mengikis perbedaan jenis-jenis kerja, dan menekan upah ke tingkat yang relatif sama rendahnya. Akibatnya, terjadi persamaan kondisi hidup dan ‘kepentingan kelas’ diantara proletariat. Penyatuan ini juga dibantu oleh perkembangan alat-alat transportasi dan komunikasi yang mempermudah proletariat saling berkontak satu sama lain. Manifesto menyebut setidaknya satu kontra-kecenderungan bersatu, yaitu watak bersaing proletariat sebagai penjual komoditi tenaga-kerja. Namun, Manifesto optimis, kelas proletariat bisa mengatasi kontra-kecenderungan tersebut.
Alasan ketiga, dengan perkembangan kapitalisme, proletariat akan menjadi bagian terbesar dari masyarakat, dan karenanya memiliki kekuatan yang sangat besar. ‘Gerakan proletariat adalah gerakan independen dan berkesadaran-diri dari mayoritas besar masyarakat, untuk kepentingan mayoritas besar masyarakat.’[18] Kapitalisme akan menyapu sebagian dari lapisan lain masyarakat, sehingga mereka bertransformasi menjadi proletariat. Bahkan sebagian kelas borjuis yang kalah dalam persaingan antar-kapitalis, akan terlempar menjadi proletariat. Proses ini memperbesar jumlah proletariat dan memperkecil jumlah lapisan lain. Menurut Manifesto, kapitalisme menyederhanakan antagonisme kelas. ‘Masyarakat secara keseluruhan semakin terbelah ke dalam dua kubu besar yang bermusuhan, ke dalam dua kelas besar yang saling berhadapan secara langsung—borjuis dan proletariat.’[19]
Alasan keempat adalah watak ‘revolusioner’ proletariat dalam relasinya dengan kapitalisme dan kelas borjuis. Keberadaan kapitalisme mensyaratkan adanya proletariat, tetapi keberadaan proletariat juga mensyaratkan adanya kapitalisme. Dengan demikian, relasi proletariat dan borjuis bersifat kontradiktif, tetapi saling mensyaratkan. Ini membuat proletariat berbeda dengan kelas-kelas tertindas lainnya dalam kapitalisme. Petani juga ditindas oleh kapitalisme, tetapi mereka tidak berada dalam relasi saling mensyaratkan dengan kapitalisme. Jika mereka melawan kapitalisme, tujuannya adalah untuk mempertahankan keberadaan kelas mereka yang sedang digusur oleh kapitalisme. Sebaliknya, ketika proletariat melawan kapitalisme, mereka sebenarnya sedang melawan kondisi yang membuat diri mereka menjadi proletariat. Karena tidak berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan kelasnya, proletariat merupakan kelas yang akan konsisten dalam mewujudkan relasi kepemilikan sosial.
Tujuan Politik Komunis
Manifesto merumuskan masalah kapitalisme sebagai relasi kepemilikan borjuis. Kekuatan produktif yang berkembang pesat dalam kapitalisme merupakan prasyarat material dari sebuah tatanan sosial yang membebaskan. Pada tahap tertentu, perkembangan kekuatan produktif ini berkontradiksi dengan pengelolaan privat atasnya, yang dilakukan oleh kelas borjuis yang saling bersaing satu sama lain dalam mengejar laba. Akibatnya, terjadi krisis. Ada setidaknya dua pilihan yang bisa diambil dalam situasi ini. Pertama, mengekang perkembangan kekuatan produktif, seperti penghancuran paksa sejumlah besar kekuatan produktif oleh kelas borjuis di saat krisis. Kedua, menempatkan perkembangan kekuatan produktif itu di bawah pengelolaan demokratis dan terencana seluruh masyarakat. Kaum komunis memilih yang kedua, mengganti relasi kepemilikan borjuis dengan relasi kepemilikan sosial. Inilah solusi dari masalah relasi kepemilikan borjuis.
Namun, untuk mengganti relasi kepemilikan borjuis, kita harus menggulingkan kekuasaan kelas borjuis yang sudah pasti akan membentenginya. Kapitalisme telah melahirkan proletariat yang berkontradiksi dengan kelas borjuis dan memiliki kapasitas untuk mengalahkannya. Proletariat juga memiliki keunikan lain. Jika pada epoh sejarah sebelumnya, kelas yang mengalahkan kelas yang berkuasa, akan menegakkan relasi kepemilikan kelasnya—seperti kelas borjuis yang setelah mengalahkan kelas feodal, menegakkan relasi kepemilikan borjuis—proletariat, setelah mengalahkan kelas borjuis, tidak akan menegakkan ‘relasi kepemilikan proletariat.’ Pasalnya, mereka tidak mempunyai apa-apa kecuali tenaga-kerjanya. Lagipula, dengan mengalahkan kelas borjuis dan menghancurkan kapitalisme, mereka juga menghancurkan kondisi yang membuat diri mereka menjadi proletariat. Artinya, mereka tidak berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan kelas mereka. Karenanya, proletariat adalah kelas yang akan konsisten dalam mewujudkan relasi kepemilikan sosial. Proletariat adalah prasyarat material dari kekalahan kelas borjuis dan perwujudan relasi kepemilikan sosial.
Tujuan politik komunis, dengan demikian, adalah: (1) mewujudkan relasi kepemilikan sosial; (2) pemajuan kelas proletariat ke kekuasaan politik. Di sini, perlu dijernihkan bahwa yang dimaksud dengan relasi kepemilikan sosial adalah relasi kepemilikan sosial atas alat-alat produksi. Artinya, tidak mencakup obyek-obyek konsumsi. Salah satu black propaganda yang dilakukan terhadap komunisme adalah bahwa relasi kepemilikan sosial mencakup obyek-obyek konsumsi, sehingga komunisme terlihat absurd. Ini tidak benar. Dan Manifesto cukup eksplisit dalam menyatakan hal ini, ‘Kami sama sekali tidak bermaksud menghapuskan apropriasi personal atas produk kerja ini, sebuah apropriasi yang dilakukan untuk memelihara dan mereproduksi kehidupan manusia, dan yang tidak menyisakan surplus yang memungkinkan komando atas kerja pihak lain.’[20] Yang hendak dihapuskan adalah kepemilikan privat atas alat-alat produksi.
Penggantian relasi kepemilikan borjuis dengan relasi kepemilikan sosial tidak bisa dilakukan dengan sekali pukul. Dalam Manifesto, disebutkan bahwa setelah berkuasa, ‘Proletariat akan menggunakan supremasi politiknya untuk merebut, secara bertahap, semua kapital dari kelas borjuis, mensentralisir semua instrumen produksi di tangan negara, yakni proletariat yang terorganisir sebagai kelas yang berkuasa; dan meningkatkan seluruh kekuatan produktif secepat mungkin.’[21] Dalam kutipan di atas, kita bisa lihat kata ‘bertahap.’ Dalam ‘Prinsip-Prinsip Komunisme,’ hal itu diungkapkan secara lebih eksplisit.[22] Kenapa bertahap? Karena penggantian relasi kepemilikan borjuis dengan relasi kepemilikan sosial mensyaratkan kuantitas alat-alat produksi yang memadai, dan peningkatan alat-alat produksi tidak bisa dilakukan dengan sekali pukul. Adapun untuk melalui proses yang bertahap itu, diperlukan langkah-langkah ‘yang tentu akan berbeda di negara yang berbeda,’[23] tergantung dari situasi kekuatan produktifnya. Manifesto mengajukan 10 langkah yang dapat diterapkan di negara-negara maju saat itu.
Tugas Kaum Komunis
Tujuan politik komunis bertumpu pada proletariat sebagai agensinya, tetapi kenapa ada agensi lain yang dinamakan ‘kaum komunis?’ Siapa itu kaum komunis? Dalam Kata Pengantar Manifesto Edisi Inggris 1888, Engels menceritakan kenapa mereka memilih judul ‘Manifesto Komunis’ dan bukan ‘Manifesto Sosialis.’ Alasannya, karena pada 1847, istilah sosialisme identik dengan gerakan yang meski bertendensi sosialis, tetapi berbasis kelas-menengah. Sementara, istilah komunis digunakan oleh gerakan kelas pekerja yang sudah menyadari pentingnya perubahan sosial secara total. Basis kelas, dengan demikian, menjadi salah satu pertimbangan penting Marx dan Engels. Signifikansi basis kelas dari suatu tendensi juga bisa kita lihat dalam Bab III yang berisikan kritik terhadap berbagai tendensi sosialis dan komunis pada masa itu. Di Bab itu, Manifesto mengungkap basis kelas non-proletariat dari berbagai tendensi sosialis dan komunis yang dikritiknya.
Jadi, kaum komunis adalah bagian dari kelas proletariat. Tetapi, apa yang membedakan mereka dari bagian lain kelas proletariat? Tentu bukan kaos merah, bendera merah, dan berbagai atribut simbolik lainnya. Mereka dibedakan berdasarkan kualitas mereka: (1) Di tingkat praktek, mereka adalah lapisan kelas pekerja yang ‘paling maju dan berketeguhan hati...yang mendorong maju bagian lain kelas pekerja;’ (2) Di tingkat teori, mereka memiliki ‘pemahaman yang jernih tentang arah gerak, kondisi, dan hasil akhir dari gerakan proletariat.’[24] Perbedaan kualitas kaum komunis dengan bagian lain kelas proletariat ini bukan disebabkan karena bakat atau innate characteristics lainnya. Semua proletariat berpotensi untuk maju dan menjadi komunis. Namun, ada faktor-faktor sosial-historis tertentu yang menyebabkan perkembangan kelas proletariat tidak berjalan seragam, dan karenanya, tercipta perbedaan ini.
Lantas, apa peran yang harus dimainkan oleh kaum komunis? Peran yang harus diambil oleh kaum komunis adalah mendorong maju bagian proletariat lainnya agar kelas proletariat bisa mengalahkan kelas borjuis, mengambil alih kekuasaan politik dan mewujudkan relasi kepemilikan sosial, yang mana merupakan tujuan politik komunis. Tercakup di sini adalah mendorong persatuan kelas proletariat, karena hanya dengan bersatu, kelas proletariat bisa merealisasikan potensinya sebagai ‘penggali kubur’ kapitalisme. Politik komunis adalah politik kelas, bukan politik aliran. Seperti yang dikatakan oleh Manifesto, kaum komunis ‘tidak menetapkan prinsip-prinsip sektarian mereka sendiri, untuk membentuk gerakan proletariat.’[25] Tugas kaum komunis hanyalah memfasilitasi perkembangan kelas proletariat agar mereka bisa merealisasikan potensi mereka.
Terakhir, mengingat pada momen tertentu, gerakan kelas non-proletariat bisa berwatak revolusioner, bagaimana sikap kaum komunis jika gerakan semacam ini muncul? Bab terakhir Manifesto membahas hal ini. Dan penafsiran saya, sejauh gerakan kelas non-proletariat itu membuat keadaan menjadi lebih menguntungkan bagi gerakan proletariat, maka kaum komunis bisa mendukung atau bersekutu dengannya. Namun, di tengah dukungan dan persekutuan ini, kaum komunis juga harus memajukan ‘persoalan kepemilikan, terlepas dari tingkat perkembangannya di saat itu.’[26] Contoh bagus taktik ini adalah dukungan kaum komunis Jerman terhadap kelas borjuis di negeri mereka yang melawan monarki absolut menjelang revolusi demokratik 1848. Alasan dukungan mereka adalah karena mereka ‘tidak bisa masuk ke dalam perjuangan yang menentukan antara diri mereka dengan kaum borjuis sampai kaum borjuis berkuasa, karenanya adalah kepentingan kaum komunis untuk membantu kaum borjuis berkuasa secepat mungkin agar bisa secepat mungkin juga digulingkan.’[27] Tetapi, di saat mendukung kelas borjuis, mereka juga berpropaganda ke kelas pekerja tentang antagonisme borjuis-proletariat di masa depan.
Catatan Penutup
Berdasarkan paparan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan berikut. Manifesto merumuskan masalah, solusi dan tujuan politiknya berdasarkan analisa atas kondisi historis yang berlaku, yakni kapitalisme. Kapitalisme mengandung masalah, tetapi juga menyediakan prasyarat material dari solusinya. Masalah kapitalisme adalah relasi kepemilikan borjuis, sementara solusinya adalah relasi kepemilikan sosial. Realisasi solusi ini dimungkinkan karena adanya perkembangan kekuatan produktif yang pesat dan pertumbuhan kelas proletariat. Tujuan politik komunis, dengan demikian, adalah mewujudkan relasi kepemilikan sosial melalui kekuasaan politik kelas proletariat. Karenanya, tugas pokok kaum komunis adalah memfasilitasi perkembangan kelas proletariat agar mereka bisa mengambilalih kekuasaan politik. Konsekuensi strategi-taktiknya, bermacam strategi-taktik hanya valid jika berkontribusi pada kemajuan gerakan proletariat.
Pertanyaannya, apakah gagasan-gagasan pokok Manifesto masih relevan? Terkait perumusan masalah Manifesto, menurut hemat saya, masih relevan. Kita bisa lihat betapa kolosalnya perkembangan kekuatan produktif dalam bentuk kemajuan teknologi saat ini. Kita juga menyaksikan betapa sudah tersosialisasinya dunia ini sampai tercipta istilah ‘globalisasi’ dalam wacana sosial-politik kontemporer. Namun, semua perkembangan ini masih berlangsung dalam kerangka kepemilikan borjuis yang mencakup relasi persaingan. Akibatnya, dunia terus digoncang krisis dan barbarisme. Wesley Clair Mitchell menghitung 15 krisis selama 1810-1920, sementara Paul Samuelson mencatat 7 resesi selama 1945-1975. Sekitar tahun 1930-1940, terjadi Depresi Besar.[28] Dan pada 2008, dunia dihantam oleh krisis yang bermula di Amerika Serikat (AS) dan masih terasa sampai saat ini.
Tentu saja, jika problem mendasarnya adalah ketidaksesuaian perkembangan kekuatan produktif saat ini dengan pengelolaan privat atasnya oleh kelas borjuis yang saling bersaing secara anarkis demi akumulasi laba, maka solusi rasional atasnya adalah menempatkan perkembangan kekuatan produktif itu di bawah pengelolaan demokratis dan terencana seluruh masyarakat demi kemaslahatan masyarakat. Singkatnya, solusinya adalah relasi kepemilikan sosial. Adapun gagasan proletariat sebagai agen pengubah kapitalisme, menurut hemat saya, juga masih relatif relevan. Proletariat memang memiliki posisi strategis sebagai prasyarat dari kapital. Karenanya, jika mereka berhenti memproduksi kapital, maka kekuasaan kapital akan runtuh.
Problemnya adalah kapasitas ini hanya bisa terealisasi jika proletariat bersatu. Manifesto optimis dengan persatuan kelas proletariat, karena melihat adanya faktor struktural di balik itu. Perkembangan teknologi produksi akan mengakibatkan penyamaan kondisi hidup proletariat, sehingga mereka akan memiliki ‘kepentingan kelas’ yang sama. Tapi, faktor struktural ini tidak selalu ditemui. Dalam Mogok Nasional 2013, misalnya, salah satu problem yang saya temui adalah ‘perbedaan kepentingan buruh’ akibat kondisi industri yang tidak seragam. Jika kita cermati, buruh yang paling militan dalam melakukan Mogok Nasional kemarin adalah buruh sektor metal yang industrinya solid dan direpresentasikan oleh FSPMI. Namun, ada kritik dan penolakan ikut serta dari sebagian buruh di sektor tekstil. Mereka menganggap tuntutan kenaikan upah minimum 50 persen tidak rasional dilihat dari sudut pandang sektor industri mereka.[29]
Artinya, gagasan di atas perlu ditinjau kembali. Selain itu, gagasan yang menurut hemat saya juga perlu ditinjau kembali adalah gagasan bahwa kelas proletariat menjadi bagian terbesar dari masyarakat. Gagasan ini terlihat berkontradiksi dengan analisa Marx sendiri yang menyatakan bahwa penerapan teknologi produksi akan menyebabkan banyaknya pengangguran, dan karenanya, menekan upah turun akibat berlimpahnya persediaan tenaga-kerja berbanding permintaan industri. Kita memang bisa berpikir bahwa para pengangguran, selama masih mencari kerja, masih menjadi proletariat, karena mereka masih menjajakan tenaga-kerjanya, hanya saja tenaga-kerja mereka tidak laku. Pengangguran menjadi lumpenproletariat ketika mereka berhenti menjajakan tenaga-kerjanya dan menjadi ‘kriminal.’ Namun, menurut saya, hal ini masih perlu dipikirkan secara mendalam.
Terakhir, yang juga relevan dari Manifesto, adalah optimismenya. Manifesto menetapkan proletariat sebagai agen pengubah kapitalisme di saat proletariat belum menjadi kelas yang dominan dalam masyarakat. Mungkin rujukan Marx dan Engels waktu itu adalah Inggris yang industrinya maju, tetapi Jerman sendiri masih didominasi oleh pekerja-artisan dan bukan buruh industrial.[30] Slogan persatuan buruh juga tidak banyak direspon pada saat Manifesto pertama kali terbit. Namun demikian, optimisme ini terbukti nyata saat kaum buruh sedunia melakukan perjuangan delapan jam kerja pada 1880-an. Dalam Kata Pengantar Manifesto Edisi Jerman 1890, Engels menyatakan, tidak ada ‘saksi yang lebih baik daripada hari ini.’[31] Optimisme inilah yang kita perlukan saat ini di tengah gempuran krisis, barbarisme, fragmentasi gerakan dan oportunisme. Ada masa depan yang harus kita menangkan: Kaum Buruh Seluruh Dunia, Bersatulah!
Catatan:
[1] Lihat David McLellan, Marx Before Marxism (London: Macmillan, 1970), hlm. 1-6; Frederick Engels, ‘On The History of the Communist League,’ dalam Marx and Engels Selected Works, Jilid 3 (Moscow: Progress Publishers, 1970), diakses 31 Januari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/communist-league/1885hist.htm.
[2] Pembahasan tentang kelahiran Manifesto ini didasarkan pada Frederick Engels, ibid., dan Rob Beamish, ‘The Making of the Manifesto.’ Socialist Register, Vol. 34, 1998, diakses 31 Januari 2014 dari http://socialistregister.com/index.php/srv/article/view/5708/2604.
[3] Lihat Frederick Engels, ‘Draft of a Communist Confession of Faith,’ dalam Marx/Engels Collected Works, Jilid 6, hlm. 92, diakses 1 Februari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/06/09.htm.
[4] Di sini, saya mengikuti interpretasi sejarah Rob Beamish, op. cit.
[5] Lihat Frederick Engels, ‘The Principles of Communism,’ dalam Selected Works, Jilid I (Moscow: Progress Publishers, 1969) hlm. 81-197, diakses 3 Februari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/11/prin-com.htm.
[6] ‘The theoretical conclusions of the communists are in no way based on ideas or principles that have been invented, or discovered, by this or that would-be universal reformer.’ (hlm. 53). Semua terjemahan kutipan dalam Bahasa Indonesia oleh saya sendiri.
[7] ‘They merely express, in general terms, actual relations springing from an existing class struggle, from a historical movement going on under our very eyes.’ (hlm. 53).
[8] ‘Concerning Feuerbach,’ yang lebih dikenal dengan judul ‘Theses on Feuerbach,’ adalah catatan pendek Marx yang ditemukan Engels dan diterbitkan pertama kali setelah diedit olehnya pada 1888. Diperkirakan catatan pendek ini ditulis Marx pada musim semi 1845. ‘Theses on Feuerbach’ adalah judul yang diberikan oleh Engels terhadap catatan itu. Versi yang saya pakai di sini adalah versi yang belum diedit oleh Engels dan diterbitkan Penguin Books. Kritik Marx yang saya maksud di atas ada di tesis III, dimana ia menyatakan ’The materialist doctrine concerning the changing of circumstances and upbringing forgets that circumstances are changed by man and that it is essential to educate the educator himself.’ Lihat Karl Marx, ‘Concerning Feuerbach,’ dalam Karl Marx, Early Writings (London: Penguin Books, 1992), hlm. 422.
[9] ‘The history of all hitherto existing society is the history of class struggle.’ (hlm. 33).
[10] Lihat catatan kaki no. 1 dalam Manifesto, dimana dinyatakan, ‘By bourgeoisie is meant the class of modern capitalists, owners of the means of social production and employers of wage labour.’ (hlm. 33).
[11] ‘The bourgeoisie, historically, has played a most revolutionary part.’ (hlm. 36).
[12] ‘The bourgeoisie, during its rule of scarce 100 years, has created more massive and more colossal productive forces than have all preceding generations together.’ (hlm. 40).
[13] Frederick Engels, ‘The Principles of Communism,’ tanya-jawab no. 13. Kata-kata lengkapnya adalah sebagai berikut: ‘That big industry, and the limitless expansion of production which it makes possible, bring within the range of feasibility a social order in which so much is produced that every member of society will be in a position to exercise and develop all his powers and faculties in complete freedom.’
[14] Kalimat lengkapnya berbunyi, ‘Modern bourgeois society, with its relations of production, of exchange and of property, a society that has conjured up such gigantic means of production and of exchange, is like the sorcerer who is no longer able to control the powers of the nether world whom he has called up by his spells.’ (hlm. 41).
[15] Kata-kata lebih lengkapnya berbunyi: ‘And how does the bourgeoisie get over these crises? On the one hand by enforced destruction of a mass of productive forces; on the other, by the conquest of new markets, and by the more thorough exploitation of the old ones.’ (hlm. 42).
[16] Lihat catatan kaki no. 1 dalam Manifesto: ‘By proletariat, the class of modern wage-labourers who, having no means of production of their own, are reduced to selling their labour power in order to live.’ (hlm. 33).
[17] ‘The essential conditions for the existence and for the sway of the bourgeois class is the formation and augmentation of capital; the condition for capital is wage labour.’ (hlm. 51).
[18] ‘The proletarian movement is the self-conscious, independent movement of the immense majority, in the interest of the immense majority.’ (hlm. 50).
[19] ‘Society as a whole is more and more splitting up into two great hostile camps, into two great classes directly facing each other—bourgeoisie and proletariat.’ (hlm. 34).
[20] ‘We by no means intend to abolish this personal appropriation of the products of labour, an appropriation that is made for the maintenance and reproduction of human life, and that leaves no surplus wherewith to command the labour of others.’ (hlm. 55).
[21] ‘The proletariat will use its political supremacy to wrest, by degree, all capital from the bourgeoisie, to centralise all instruments of production in the hands of the state, i.e., of the proletariat organised as the ruling class; and to increase the total productive forces as rapidly as possible.’ (hlm. 63-64).
[22] Lihat Frederick Engels, ‘The Principles of Communism,’ tanya-jawab no. 17.
[23] Kalimat lengkapnya berbunyi, 'These measures will, of course, be different in different countries.' (hlm. 64).
[24] Bagian Manifesto yang mengekspresikan kedua kualitas ini adalah: ‘The communists, therefore, are on the one hand, practically, the most advanced and resolute section of the working-class parties of every country, that section which pushes forward all others; on the other hand, theoretically, they have over the great mass of the proletariat the advantage of clearly understanding the lines of march, the conditions, and the ultimate general results of the proletarian movement.’ (hlm. 53).
[25] Kalimat lengkapnya adalah: ‘They do not set up any sectarian principles of their own, by which to shape and mould the proletarian movement.’ (hlm. 52).
[26] Kalimat lengkapnya: ‘In all these movements, they bring to the front, as the leading question in each, the property question, no matter what its degree of development at the time.’ (hlm. 84).
[27] Lihat Frederick Engels, ‘The Principles of Communism,’ tanya-jawab no. 25. Kalimat lengkapnya berbunyi: ‘Since the communist cannot enter upon the decisive struggle between themselves and the bourgeoisie until the bourgeoisie is in power, it follows that it is in the interest of the communist to help the bourgeoisie to power as soon as possible in order the sooner to be able to overthrow it.’
[28] Lihat Anwar Shaikh, ‘Pengantar Sejarah Teori Krisis,’ Partai Rakyat Pekerja, 8 November 2011, diakses 3 Februari 2014 dari http://www.prp-indonesia.org/2011/pengantar-sejarah-teori-krisis.
[29] Lihat Bayu, ‘Kenaikan Upah Minimun 50% TERLIHAT RASIONAL, Tapi untuk INDUSTRI PAKAIAN, TEKSTIL & SEPATU Artinya PHK Massal!,’ www.TribunRakyat.com, 8 Oktober 2013, diakses 7 Februari 2014 dari http://tribunrakyat.com/?p=2103.Tulisan itu merupakan kritik atas tulisan Mohamad Zaki Hussein, ‘Kenaikan Upah Minimum 50% Itu Rasional,’ Zetetick, 6 Oktober 2013, diakses 7 Februari 2014 dari http://zetetick.blogspot.com/2013/10/kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional.html.
[30] Dalam ‘On The History of the Communist League,’ Frederick Engels mengungkapkan bahwa mayoritas anggota Liga Komunis adalah pekerja-artisan: ‘The members, in so far as they were workers at all, were almost exclusively artisans.’
[31] Kalimat lengkapnya berbunyi: ‘But that the eternal union of the proletarians of all countries created by it is still alive and lives stronger than ever, there is no better witness than this day.’ (hlm. 103).
Pustaka Tambahan
Bayu. ‘Kenaikan Upah Minimun 50% TERLIHAT RASIONAL, Tapi untuk INDUSTRI PAKAIAN, TEKSTIL & SEPATU Artinya PHK Massal!,’ www.TribunRakyat.com, 8 Oktober 2013. Diakses 7 Februari 2014 dari http://tribunrakyat.com/?p=2103.
Beamish, Rob. ‘The Making of the Manifesto.’ Socialist Register, Vol. 34, 1998. Diakses 31 Januari 2014 dari http://socialistregister.com/index.php/srv/article/view/5708/2604.
Engels, Frederick. ‘Draft of a Communist Confession of Faith,’ dalam Marx/Engels Collected Works, Jilid 6. Diakses 1 Februari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/06/09.htm.
Engels, Frederick. ‘On The History of the Communist League,’ dalam Marx and Engels Selected Works, Jilid 3. Moscow: Progress Publishers, 1970. Diakses 31 Januari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/communist-league/1885hist.htm.
Engels, Frederick. ‘The Principles of Communism,’ dalam Selected Works, Jilid I. Moscow: Progress Publishers, 1969. Diakses 3 Februari 2014 dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/11/prin-com.htm.
Hussein, Mohamad Zaki. ‘Kenaikan Upah Minimum 50% Itu Rasional,’ Zetetick, 6 Oktober 2013. Diakses 7 Februari 2014 dari http://zetetick.blogspot.com/2013/10/kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional.html.
Marx, Karl. ‘Concerning Feuerbach,’ dalam Karl Marx, Early Writings. London: Penguin Books, 1992.
McLellan, David. Marx Before Marxism. London: Macmillan, 1970.
Shaikh, Anwar. ‘Pengantar Sejarah Teori Krisis,’ Partai Rakyat Pekerja, 8 November 2011. Diakses 3 Februari 2014 dari http://www.prp-indonesia.org/2011/pengantar-sejarah-teori-krisis.
Comments
Post a Comment