Belajar Demokrasi dari Amerika Latin
Judul: Beyond Elections: Redefining Democracy in the Americas
Sutradara/Produser: Silvia Leindecker dan Michael Fox
Penerbit: PM Press/Estreito Meios Productions, 2008
Durasi: 114 menit
Sejak kejatuhan Soeharto, Indonesia sudah menggelar tiga kali Pemilu. Dan sebentar lagi, kita akan menghadapi Pemilu yang keempat. Selama ini, Pemilu tidak banyak berdampak pada perbaikan kehidupan rakyat Indonesia. Padahal Pemilu adalah salah satu pilar demokrasi, yang memiliki arti ‘kekuasaan oleh rakyat.’ Tetapi, setelah mencoblos pilihannya, rakyat nyaris tidak punya kuasa apa-apa lagi atas negara. Yang berkuasa hanyalah segelintir elit. Gagasan normatif tentang demokrasi berkontradiksi dengan praktek riil demokrasi.
Di Indonesia, yang normatif menyerah pada yang riil. Makna demokrasi tereduksi hanya menjadi seperangkat prosedur, aturan dan institusi, yang tidak bisa mewujudkan ‘kekuasaan oleh rakyat’ dan perbaikan hidup rakyat. Namun, di belahan dunia lain, upaya mendorong yang riil menuju yang normatif terus dilakukan. Film dokumenter Beyond Elections: Redefining Democracy in the Americas oleh Silvia Leindecker dan Michael Fox, membawa kita ke berbagai eksperimen demokrasi partisipatoris yang dilakukan di beberapa negara di benua Amerika.
Eksperimen pertama yang ditampilkan film ini adalah sistem anggaran partisipatoris di Brazil. Anggaran partisipatoris pertama kali diterapkan di Porto Alegre pada 1989, setelah Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) memenangkan posisi walikota. Dengan sistem ini, warga bisa berpartisipasi dalam penentuan alokasi anggaran kota untuk kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan sistem ini, Porto Alegre dibagi menjadi 16 ‘region anggaran.’ Di tingkat region, ada Forum Anggaran Regional, sementara di bawahnya, ada komunitas-komunitas ketetanggaan. Adapun di tingkat kota, terdapat Dewan Anggaran Kota (Abers, 2007).
Komunitas ketetanggaan menetapkan pos-pos anggaran (sekolah, kebersihan, dan sebagainya) yang menjadi prioritas mereka. Prioritas ini kemudian dibahas dan diseleksi lagi di Forum Anggaran Regional, yang anggotanya dipilih oleh komunitas-komunitas ketetanggaan dan pertemuan-pertemuan regional. Adapun Dewan Anggaran Kota, yang anggotanya dipilih oleh pertemuan-pertemuan regional, memutuskan pembagian dana diantara region dan pos-pos anggaran. Pada perkembangannya, dibentuk Forum-Forum Tematik untuk membahas anggaran terkait hal-hal yang lebih bersifat makro-perkotaan, seperti perencanaan kota, transportasi, dan sebagainya (Abers, 2007).
Sistem anggaran partisipatoris bisa dibilang sukses. Di film ini, terdapat beberapa komentar warga Porto Alegre yang puas dengan sistem ini, karena hasilnya dirasakan oleh mereka, seperti terbangunnya daycare atau tempat daur ulang sampah di komunitas mereka. Sistem ini pun dicoba diterapkan di kota-kota lain. Pada 1997, sistem anggaran partisipatoris diterapkan sampai ke tingkat negara bagian Rio Grande do Sul. Namun, pada 2004, Partai Buruh kehilangan posisi walikota di Porto Alegre. Sejak saat itu, sistem anggaran partisipatoris di Porto Alegre mengalami kemunduran.
Eksperimen kedua yang dibahas film ini adalah Dewan Komunal (Consejos Comunales) di Venezuela. Sistem Dewan Komunal diterapkan pada 2006 dengan UU Dewan Komunal, yang diperbaharui pada 2009. Melalui Dewan Komunal, warga bisa menetapkan rencana pembangunan di lingkungan mereka dan mengajukan permintaan dana ke pemerintah. Tiap Dewan Komunal merepresentasikan 150-400 keluarga. Struktur dewan komunal terdiri dari lima unit, yaitu pertemuan komunitas, unit eksekutif, unit anti-korupsi, unit keuangan dan kolektif koordinasi komunitas (Suggett, 2009; Ellner, 2009). Dewan komunal hanyalah salah satu institusi partisipatif di Venezuela. Ada institusi-institusi partisipatif lainnya di sana, seperti koperasi, anggaran partisipatoris, komite kesehatan, dan lain-lain.
Selain mengulas eksperimen yang berasal dari inisiatif negara, film Beyond Elections juga mengulas beberapa eksperimen yang berasal dari inisiatif gerakan sosial. Salah satunya adalah gerakan pengambilalihan pabrik di Argentina sebagai respon terhadap krisis tahun 2001. Di saat itu, pabrik-pabrik ditutup dan PHK merajalela. Jumlah pengangguran dan setengah-menganggur (underemployment) meningkat sampai 35% dari 37 juta penduduk. Lebih dari 60% penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Untuk menyelamatkan hidup mereka, para buruh pun melancarkan gerakan pengambilalihan pabrik. Pada 2005, terdapat lebih dari 200 pabrik yang dikelola buruh, dan lebih dari 55.000 buruh bekerja di pabrik-pabrik ini (Gautreau, 2009).
Di dalam pabrik, mereka menerapkan demokrasi dan kesetaraan. Perbedaan gaji antar-pekerja dibuat sekecil mungkin. Keputusan diambil berdasarkan prinsip satu orang, satu suara—bukan satu saham, satu suara. Hasilnya, kehidupan mereka menjadi lebih baik. Di pabrik Zanon Ceramics, yang berubah menjadi Fabricas sin Patrones (Pabrik Tanpa Bos) yang disingkat FaSinPat, misalnya, jika sebelumnya terdapat rata-rata 300 kecelakaan kerja—dimana setengahnya adalah kecelakaan serius—dan 1 orang mati per tahun, maka setelah dikelola sendiri oleh para buruhnya, angka ini turun drastis menjadi 33 kecelakaan kecil per tahun. Para buruhnya pun sekarang memiliki akses ke pelayanan kesehatan dan asuransi jiwa (Gautreau, 2009).
Pengambilalihan pabrik tidak hanya berdampak positif pada para buruh di pabrik yang diambil, tetapi juga masyarakat luar pabrik. Sebagai contoh, FaSinPat menyumbang ratusan meter persegi keramik ke rumah sakit, sekolah, gereja, perpustakaan, dan lain-lain, di Provinsi Neuquén, tempat mereka berada, sebagai tanda terima kasih atas dukungan institusi-institusi tersebut terhadap perjuangan mereka. Kemudian, FaSinPat juga membangun sebuah pusat kesehatan untuk warga sekitar pabrik yang miskin (Gautreau, 2009).
Eksperimen-eksperimen lain dari gerakan sosial yang dibahas di film ini adalah koperasi, termasuk koperasi di Amerika Serikat (AS); gerakan ‘Kampanye Lain’ (La Otra Campaña) yang diluncurkan Zapatista; Gerakan untuk Keadilan di El Barrio (Movement for Justice in El Barrio) di Harlem, New York, yang merupakan bagian dari gerakan ‘Kampanye Lain,’ dan Gerakan Buruh-Tani Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil. Kemudian, film ini juga membahas Majelis Konstitusi di Venezuela, Ekuador dan Bolivia.
Selain mengulas berbagai eksperimen demokrasi partisipatoris, film Beyond Elections juga mengkritik kemunafikan para elit AS yang menuduh beberapa negara Amerika Latin sebagai kediktatoran. Padahal, masalahnya ada di standar demokrasi para elit AS, yang menganggap sebuah negara itu demokratis hanya jika negara tersebut menerima keberadaan pangkalan militer AS dan perusahaan-perusahaan multi-nasional. Demokrasi di AS sendiri bermasalah, karena didominasi oleh korporasi dan dua partai utama serta mengeksklusi sebagian elemen masyarakat, seperti perempuan, kaum non-kulit putih, dan sebagainya. Film ini juga mengkritik watak tidak demokratis dari beberapa organisasi internasional, seperti PBB dan IMF.
Karena eksperimen yang dibahas cukup banyak, film ini tidak membahas tiap eksperimen secara mendalam. Oleh sebab itu, kita tidak mendapatkan gambaran yang rinci tentang kerangka kelembagaan dan mekanisme yang ada dalam bentuk-bentuk demokrasi partisipatoris yang dieksperimentasikan. Begitu pula, kita tidak mendapatkan gambaran yang memadai mengenai konteks sosial-politik yang lebih luas dari berbagai eksperimen itu. Namun, di tengah situasi demokrasi yang tidak bermakna di Indonesia, film ini sangat relevan untuk ditonton, karena bisa membuat kita berpikir, bahwa demokrasi yang lebih dekat dengan makna sejatinya, ‘kekuasaan oleh rakyat,’ mungkin untuk diwujudkan.
Pustaka Tambahan
Abers, Rebecca. (2007). “Porto Alegre and the Participatory Budget: Civic Education, Politics and the Possibilities for Replication.” Dalam Diane Laberge et al. (Ed.), Building Local and Global Democracy (hlm. 83-98). Kanada: Carold Institute. Diunduh dari http://www.carold.ca/publications/BLGD/Carold_BuildingDemocracy.pdf.
Ellner, Steve. (2009). “A New Model With Rough Edges: Venezuela's Community Councils.” NACLA Report on the Americas, 11 Juni 2009. Diunduh dari http://venezuelanalysis.com/analysis/4512.
Gautreau, Ginette. (2009). “The Rise of Worker Cooperatives in Argentina: Zanon Ceramics laying out the tiles for Argentine socialism.” The Atlantic International Studies Journal, Volume 5, Musim Semi 2009. Diunduh dari http://atlismta.org/online-journals/0809-journal-intervention/the-rise-of-worker-cooperatives-in-argentina/.
Suggett, James. (2009). “Venezuela's Reformed Communal Council Law Aims at Increasing Participation.” Venezuelanalysis.com, 25 November 2009. Diunduh dari http://venezuelanalysis.com/news/4951.
Sutradara/Produser: Silvia Leindecker dan Michael Fox
Penerbit: PM Press/Estreito Meios Productions, 2008
Durasi: 114 menit
Sejak kejatuhan Soeharto, Indonesia sudah menggelar tiga kali Pemilu. Dan sebentar lagi, kita akan menghadapi Pemilu yang keempat. Selama ini, Pemilu tidak banyak berdampak pada perbaikan kehidupan rakyat Indonesia. Padahal Pemilu adalah salah satu pilar demokrasi, yang memiliki arti ‘kekuasaan oleh rakyat.’ Tetapi, setelah mencoblos pilihannya, rakyat nyaris tidak punya kuasa apa-apa lagi atas negara. Yang berkuasa hanyalah segelintir elit. Gagasan normatif tentang demokrasi berkontradiksi dengan praktek riil demokrasi.
Di Indonesia, yang normatif menyerah pada yang riil. Makna demokrasi tereduksi hanya menjadi seperangkat prosedur, aturan dan institusi, yang tidak bisa mewujudkan ‘kekuasaan oleh rakyat’ dan perbaikan hidup rakyat. Namun, di belahan dunia lain, upaya mendorong yang riil menuju yang normatif terus dilakukan. Film dokumenter Beyond Elections: Redefining Democracy in the Americas oleh Silvia Leindecker dan Michael Fox, membawa kita ke berbagai eksperimen demokrasi partisipatoris yang dilakukan di beberapa negara di benua Amerika.
Eksperimen pertama yang ditampilkan film ini adalah sistem anggaran partisipatoris di Brazil. Anggaran partisipatoris pertama kali diterapkan di Porto Alegre pada 1989, setelah Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) memenangkan posisi walikota. Dengan sistem ini, warga bisa berpartisipasi dalam penentuan alokasi anggaran kota untuk kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan sistem ini, Porto Alegre dibagi menjadi 16 ‘region anggaran.’ Di tingkat region, ada Forum Anggaran Regional, sementara di bawahnya, ada komunitas-komunitas ketetanggaan. Adapun di tingkat kota, terdapat Dewan Anggaran Kota (Abers, 2007).
Komunitas ketetanggaan menetapkan pos-pos anggaran (sekolah, kebersihan, dan sebagainya) yang menjadi prioritas mereka. Prioritas ini kemudian dibahas dan diseleksi lagi di Forum Anggaran Regional, yang anggotanya dipilih oleh komunitas-komunitas ketetanggaan dan pertemuan-pertemuan regional. Adapun Dewan Anggaran Kota, yang anggotanya dipilih oleh pertemuan-pertemuan regional, memutuskan pembagian dana diantara region dan pos-pos anggaran. Pada perkembangannya, dibentuk Forum-Forum Tematik untuk membahas anggaran terkait hal-hal yang lebih bersifat makro-perkotaan, seperti perencanaan kota, transportasi, dan sebagainya (Abers, 2007).
Sistem anggaran partisipatoris bisa dibilang sukses. Di film ini, terdapat beberapa komentar warga Porto Alegre yang puas dengan sistem ini, karena hasilnya dirasakan oleh mereka, seperti terbangunnya daycare atau tempat daur ulang sampah di komunitas mereka. Sistem ini pun dicoba diterapkan di kota-kota lain. Pada 1997, sistem anggaran partisipatoris diterapkan sampai ke tingkat negara bagian Rio Grande do Sul. Namun, pada 2004, Partai Buruh kehilangan posisi walikota di Porto Alegre. Sejak saat itu, sistem anggaran partisipatoris di Porto Alegre mengalami kemunduran.
Eksperimen kedua yang dibahas film ini adalah Dewan Komunal (Consejos Comunales) di Venezuela. Sistem Dewan Komunal diterapkan pada 2006 dengan UU Dewan Komunal, yang diperbaharui pada 2009. Melalui Dewan Komunal, warga bisa menetapkan rencana pembangunan di lingkungan mereka dan mengajukan permintaan dana ke pemerintah. Tiap Dewan Komunal merepresentasikan 150-400 keluarga. Struktur dewan komunal terdiri dari lima unit, yaitu pertemuan komunitas, unit eksekutif, unit anti-korupsi, unit keuangan dan kolektif koordinasi komunitas (Suggett, 2009; Ellner, 2009). Dewan komunal hanyalah salah satu institusi partisipatif di Venezuela. Ada institusi-institusi partisipatif lainnya di sana, seperti koperasi, anggaran partisipatoris, komite kesehatan, dan lain-lain.
Selain mengulas eksperimen yang berasal dari inisiatif negara, film Beyond Elections juga mengulas beberapa eksperimen yang berasal dari inisiatif gerakan sosial. Salah satunya adalah gerakan pengambilalihan pabrik di Argentina sebagai respon terhadap krisis tahun 2001. Di saat itu, pabrik-pabrik ditutup dan PHK merajalela. Jumlah pengangguran dan setengah-menganggur (underemployment) meningkat sampai 35% dari 37 juta penduduk. Lebih dari 60% penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Untuk menyelamatkan hidup mereka, para buruh pun melancarkan gerakan pengambilalihan pabrik. Pada 2005, terdapat lebih dari 200 pabrik yang dikelola buruh, dan lebih dari 55.000 buruh bekerja di pabrik-pabrik ini (Gautreau, 2009).
Di dalam pabrik, mereka menerapkan demokrasi dan kesetaraan. Perbedaan gaji antar-pekerja dibuat sekecil mungkin. Keputusan diambil berdasarkan prinsip satu orang, satu suara—bukan satu saham, satu suara. Hasilnya, kehidupan mereka menjadi lebih baik. Di pabrik Zanon Ceramics, yang berubah menjadi Fabricas sin Patrones (Pabrik Tanpa Bos) yang disingkat FaSinPat, misalnya, jika sebelumnya terdapat rata-rata 300 kecelakaan kerja—dimana setengahnya adalah kecelakaan serius—dan 1 orang mati per tahun, maka setelah dikelola sendiri oleh para buruhnya, angka ini turun drastis menjadi 33 kecelakaan kecil per tahun. Para buruhnya pun sekarang memiliki akses ke pelayanan kesehatan dan asuransi jiwa (Gautreau, 2009).
Pengambilalihan pabrik tidak hanya berdampak positif pada para buruh di pabrik yang diambil, tetapi juga masyarakat luar pabrik. Sebagai contoh, FaSinPat menyumbang ratusan meter persegi keramik ke rumah sakit, sekolah, gereja, perpustakaan, dan lain-lain, di Provinsi Neuquén, tempat mereka berada, sebagai tanda terima kasih atas dukungan institusi-institusi tersebut terhadap perjuangan mereka. Kemudian, FaSinPat juga membangun sebuah pusat kesehatan untuk warga sekitar pabrik yang miskin (Gautreau, 2009).
Eksperimen-eksperimen lain dari gerakan sosial yang dibahas di film ini adalah koperasi, termasuk koperasi di Amerika Serikat (AS); gerakan ‘Kampanye Lain’ (La Otra Campaña) yang diluncurkan Zapatista; Gerakan untuk Keadilan di El Barrio (Movement for Justice in El Barrio) di Harlem, New York, yang merupakan bagian dari gerakan ‘Kampanye Lain,’ dan Gerakan Buruh-Tani Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil. Kemudian, film ini juga membahas Majelis Konstitusi di Venezuela, Ekuador dan Bolivia.
Selain mengulas berbagai eksperimen demokrasi partisipatoris, film Beyond Elections juga mengkritik kemunafikan para elit AS yang menuduh beberapa negara Amerika Latin sebagai kediktatoran. Padahal, masalahnya ada di standar demokrasi para elit AS, yang menganggap sebuah negara itu demokratis hanya jika negara tersebut menerima keberadaan pangkalan militer AS dan perusahaan-perusahaan multi-nasional. Demokrasi di AS sendiri bermasalah, karena didominasi oleh korporasi dan dua partai utama serta mengeksklusi sebagian elemen masyarakat, seperti perempuan, kaum non-kulit putih, dan sebagainya. Film ini juga mengkritik watak tidak demokratis dari beberapa organisasi internasional, seperti PBB dan IMF.
Karena eksperimen yang dibahas cukup banyak, film ini tidak membahas tiap eksperimen secara mendalam. Oleh sebab itu, kita tidak mendapatkan gambaran yang rinci tentang kerangka kelembagaan dan mekanisme yang ada dalam bentuk-bentuk demokrasi partisipatoris yang dieksperimentasikan. Begitu pula, kita tidak mendapatkan gambaran yang memadai mengenai konteks sosial-politik yang lebih luas dari berbagai eksperimen itu. Namun, di tengah situasi demokrasi yang tidak bermakna di Indonesia, film ini sangat relevan untuk ditonton, karena bisa membuat kita berpikir, bahwa demokrasi yang lebih dekat dengan makna sejatinya, ‘kekuasaan oleh rakyat,’ mungkin untuk diwujudkan.
Pustaka Tambahan
Abers, Rebecca. (2007). “Porto Alegre and the Participatory Budget: Civic Education, Politics and the Possibilities for Replication.” Dalam Diane Laberge et al. (Ed.), Building Local and Global Democracy (hlm. 83-98). Kanada: Carold Institute. Diunduh dari http://www.carold.ca/publications/BLGD/Carold_BuildingDemocracy.pdf.
Ellner, Steve. (2009). “A New Model With Rough Edges: Venezuela's Community Councils.” NACLA Report on the Americas, 11 Juni 2009. Diunduh dari http://venezuelanalysis.com/analysis/4512.
Gautreau, Ginette. (2009). “The Rise of Worker Cooperatives in Argentina: Zanon Ceramics laying out the tiles for Argentine socialism.” The Atlantic International Studies Journal, Volume 5, Musim Semi 2009. Diunduh dari http://atlismta.org/online-journals/0809-journal-intervention/the-rise-of-worker-cooperatives-in-argentina/.
Suggett, James. (2009). “Venezuela's Reformed Communal Council Law Aims at Increasing Participation.” Venezuelanalysis.com, 25 November 2009. Diunduh dari http://venezuelanalysis.com/news/4951.
Comments
Post a Comment