Lemahnya ‘Kekuatan Produktif’ Sektor Kesehatan Indonesia
Masalah pokok sektor kesehatan Indonesia yang suka diangkat oleh kalangan gerakan adalah BPJS Kesehatan. Tetapi, masalah pokok di sektor kesehatan sebenarnya bukan hanya BPJS Kesehatan. Dunia fasilitas kesehatan Indonesia juga bermasalah. Yang dimaksud dengan ‘dunia fasilitas kesehatan’ di sini adalah para produsen kesehatan yang terdiri dari rumah sakit, klinik, dan yang semacamnya. Bisa juga disebut dengan istilah ‘industri kesehatan.’
BPJS Kesehatan sendiri tidak memiliki fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dlsb. BPJS Kesehatan adalah sebuah lembaga asuransi sosial dan bukan bagian dari industri kesehatan. Namun, dalam operasinya, BPJS Kesehatan bekerjasama dengan industri kesehatan. Ketika peserta BPJS Kesehatan sakit, mereka datang ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk berobat, dimana BPJS Kesehatan kemudian membayarkan biaya pengobatannya dari uang iuran yang selama ini dikumpulkan. Begitu hubungan antara BPJS Kesehatan dengan industri kesehatan Indonesia secara umum.
Salah satu masalah yang suka ditemui oleh pasien BPJS Kesehatan dengan kategori PBI (Penerima Bantuan Iuran)—fakir miskin dan orang tidak mampu yang iurannya dibayarkan pemerintah—adalah penolakan RS dengan alasan ketiadaan ruang rawat inap kelas III.[1] Dalam Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,[2] manfaat kelas ruang perawatan yang bisa didapat pasien PBI adalah ruang perawatan kelas III.
Meski penolakan ini sebagian disebabkan oleh karena kebohongan, dimana kamarnya sebenarnya ada, tetapi pihak RS enggan fasilitasnya dipakai oleh pasien PBI karena tidak mau rugi. Tetapi, masalah ini sebagian lagi juga disebabkan oleh karena kamarnya memang tidak ada. Jumlah RS pemerintah kurang banyak, sementara RS swasta jumlah ruang kelas III-nya biasanya lebih sedikit daripada RS pemerintah. RS tipe A, seperti RSCM dan RS Hasan Sadikin, misalnya, hanya ada di 9 wilayah. “Akibatnya, jangan heran ketika di RSCM membludak orang, karena juga sedikit,” ungkap Rio Ayudhia Putra, Sekretaris Wilayah SPRI (Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia) DKI Jakarta, sebuah organisasi rakyat miskin.[3]
Selain itu, yang juga langka dan tidak tersebar secara merata adalah dokter spesialis. “Misalnya di Lampung, dokter spesialis kanker payudara hanya 1 orang dokter yang praktik di 5 RS. Untuk dapat pemeriksaan dokter, harus antri selama 1 bulan. Apalagi di Indonesia Timur. Penyebaran dokter spesialis juga bermasalah. Itulah kenapa pasien daerah semuanya dirujuk ke Jakarta. Spesialis lebih banyak di Jakarta,” ungkap Dika Mohammad, Sekretaris Jenderal SPRI.[4] Inilah salah satu masalah pokok industri kesehatan Indonesia, yakni tidak memadainya—bukan hanya dalam jumlah, tetapi juga sebaran—fasilitas kesehatan di Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Masalah ini juga bisa dilihat dari data statistik yang bersifat makro. Dibandingkan dengan beberapa negara yang jumlah penduduknya terbesar di dunia, jumlah tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk di Indonesia cukup rendah. Menurut data Bank Dunia, pada 2010, jumlah tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk di Indonesia adalah 0,6. Sementara, Cina yang jumlah penduduknya paling banyak di dunia memiliki 3,56 tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk. Adapun Amerika Serikat memiliki 3 tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk dan Brazil 2,4 tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk.
Untuk tenaga dokter, Indonesia lebih parah lagi. Pada 2010, diantara 10 negara berpenduduk terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan terakhir dalam jumlah dokter per 1000 penduduk, dengan angka 0,29. Urutan pertama ditempati oleh Federasi Rusia dengan 4,31 dokter per 1000 penduduk. Lalu, diikuti oleh Amerika Serikat dengan 2,42 dokter per 1000 penduduk. Sementara Cina menempati urutan keempat dengan 1,80 dokter per 1000 penduduk. Secara lebih lengkap, data tersebut bisa dilihat dalam tabel berikut:
Untuk tenaga perawat, pada 2010, diantara 10 negara berpenduduk terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan kelima dalam jumlah perawat dan bidan per 1000 penduduk, dengan angka 2,04. Urutan pertama ditempati oleh Amerika Serikat dengan 9,82 perawat dan bidan per 1000 penduduk. Disusul oleh Federasi Rusia dengan 8,52 perawat dan bidan per 1000 penduduk. Urutan ketiga dan keempat ditempati oleh Brazil dan Jepang, masing-masing 6,42 dan 4,14 perawat dan bidan per 1000 penduduk. Secara lebih lengkap, data tersebut bisa dilihat dalam tabel berikut:
Masalah tidak memadainya fasilitas kesehatan ini ‘berbeda ranah’ dari masalah sistem perlindungan kesehatan, seperti BPJS Kesehatan. Artinya, jikapun BPJS Kesehatan diganti dengan sistem perlindungan kesehatan yang lebih baik, masalah ini tetap akan ada jika ia tidak diatasi secara khusus. Tidak memadainya fasilitas kesehatan ini akan membatasi ruang operasi sistem perlindungan kesehatan, sebagus apapun sistem perlindungan kesehatannya. Pemenuhan hak rakyat akan kesehatan mensyaratkan adanya ‘kekuatan produktif’—alat, teknologi dan tenaga kerja—sektor kesehatan yang memadai.
Catatan:
[1] Sebagian tulisan ini didasarkan pada riset Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) yang penulis kerjakan bersama Y. Wasi Gede Puraka, Fathimah Fildzah Izzati dan Robie Kholilurrahman, dengan tajuk “Urban Health Protection Services and Workers’ Resistance in Greater Jakarta: Problems and Potentials of Expanding Coverage of National Health Insurance,” 2014-2015.
[2] Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://www.menpan.go.id/jdih/perundang-undangan/perpres/file/4130-perpres2013-no-111. Sementara Perpres No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://www.menpan.go.id/jdih/perundang-undangan/perpres/file/3634-perpres2013-no-12.
[3] FGD Inkrispena dengan SPRI, 3 April 2015.
[4] Ibid.
BPJS Kesehatan sendiri tidak memiliki fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dlsb. BPJS Kesehatan adalah sebuah lembaga asuransi sosial dan bukan bagian dari industri kesehatan. Namun, dalam operasinya, BPJS Kesehatan bekerjasama dengan industri kesehatan. Ketika peserta BPJS Kesehatan sakit, mereka datang ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk berobat, dimana BPJS Kesehatan kemudian membayarkan biaya pengobatannya dari uang iuran yang selama ini dikumpulkan. Begitu hubungan antara BPJS Kesehatan dengan industri kesehatan Indonesia secara umum.
Salah satu masalah yang suka ditemui oleh pasien BPJS Kesehatan dengan kategori PBI (Penerima Bantuan Iuran)—fakir miskin dan orang tidak mampu yang iurannya dibayarkan pemerintah—adalah penolakan RS dengan alasan ketiadaan ruang rawat inap kelas III.[1] Dalam Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,[2] manfaat kelas ruang perawatan yang bisa didapat pasien PBI adalah ruang perawatan kelas III.
Meski penolakan ini sebagian disebabkan oleh karena kebohongan, dimana kamarnya sebenarnya ada, tetapi pihak RS enggan fasilitasnya dipakai oleh pasien PBI karena tidak mau rugi. Tetapi, masalah ini sebagian lagi juga disebabkan oleh karena kamarnya memang tidak ada. Jumlah RS pemerintah kurang banyak, sementara RS swasta jumlah ruang kelas III-nya biasanya lebih sedikit daripada RS pemerintah. RS tipe A, seperti RSCM dan RS Hasan Sadikin, misalnya, hanya ada di 9 wilayah. “Akibatnya, jangan heran ketika di RSCM membludak orang, karena juga sedikit,” ungkap Rio Ayudhia Putra, Sekretaris Wilayah SPRI (Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia) DKI Jakarta, sebuah organisasi rakyat miskin.[3]
Selain itu, yang juga langka dan tidak tersebar secara merata adalah dokter spesialis. “Misalnya di Lampung, dokter spesialis kanker payudara hanya 1 orang dokter yang praktik di 5 RS. Untuk dapat pemeriksaan dokter, harus antri selama 1 bulan. Apalagi di Indonesia Timur. Penyebaran dokter spesialis juga bermasalah. Itulah kenapa pasien daerah semuanya dirujuk ke Jakarta. Spesialis lebih banyak di Jakarta,” ungkap Dika Mohammad, Sekretaris Jenderal SPRI.[4] Inilah salah satu masalah pokok industri kesehatan Indonesia, yakni tidak memadainya—bukan hanya dalam jumlah, tetapi juga sebaran—fasilitas kesehatan di Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Masalah ini juga bisa dilihat dari data statistik yang bersifat makro. Dibandingkan dengan beberapa negara yang jumlah penduduknya terbesar di dunia, jumlah tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk di Indonesia cukup rendah. Menurut data Bank Dunia, pada 2010, jumlah tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk di Indonesia adalah 0,6. Sementara, Cina yang jumlah penduduknya paling banyak di dunia memiliki 3,56 tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk. Adapun Amerika Serikat memiliki 3 tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk dan Brazil 2,4 tempat tidur rumah sakit per 1000 penduduk.
Untuk tenaga dokter, Indonesia lebih parah lagi. Pada 2010, diantara 10 negara berpenduduk terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan terakhir dalam jumlah dokter per 1000 penduduk, dengan angka 0,29. Urutan pertama ditempati oleh Federasi Rusia dengan 4,31 dokter per 1000 penduduk. Lalu, diikuti oleh Amerika Serikat dengan 2,42 dokter per 1000 penduduk. Sementara Cina menempati urutan keempat dengan 1,80 dokter per 1000 penduduk. Secara lebih lengkap, data tersebut bisa dilihat dalam tabel berikut:
Untuk tenaga perawat, pada 2010, diantara 10 negara berpenduduk terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan kelima dalam jumlah perawat dan bidan per 1000 penduduk, dengan angka 2,04. Urutan pertama ditempati oleh Amerika Serikat dengan 9,82 perawat dan bidan per 1000 penduduk. Disusul oleh Federasi Rusia dengan 8,52 perawat dan bidan per 1000 penduduk. Urutan ketiga dan keempat ditempati oleh Brazil dan Jepang, masing-masing 6,42 dan 4,14 perawat dan bidan per 1000 penduduk. Secara lebih lengkap, data tersebut bisa dilihat dalam tabel berikut:
Masalah tidak memadainya fasilitas kesehatan ini ‘berbeda ranah’ dari masalah sistem perlindungan kesehatan, seperti BPJS Kesehatan. Artinya, jikapun BPJS Kesehatan diganti dengan sistem perlindungan kesehatan yang lebih baik, masalah ini tetap akan ada jika ia tidak diatasi secara khusus. Tidak memadainya fasilitas kesehatan ini akan membatasi ruang operasi sistem perlindungan kesehatan, sebagus apapun sistem perlindungan kesehatannya. Pemenuhan hak rakyat akan kesehatan mensyaratkan adanya ‘kekuatan produktif’—alat, teknologi dan tenaga kerja—sektor kesehatan yang memadai.
Catatan:
[1] Sebagian tulisan ini didasarkan pada riset Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) yang penulis kerjakan bersama Y. Wasi Gede Puraka, Fathimah Fildzah Izzati dan Robie Kholilurrahman, dengan tajuk “Urban Health Protection Services and Workers’ Resistance in Greater Jakarta: Problems and Potentials of Expanding Coverage of National Health Insurance,” 2014-2015.
[2] Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://www.menpan.go.id/jdih/perundang-undangan/perpres/file/4130-perpres2013-no-111. Sementara Perpres No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://www.menpan.go.id/jdih/perundang-undangan/perpres/file/3634-perpres2013-no-12.
[3] FGD Inkrispena dengan SPRI, 3 April 2015.
[4] Ibid.
Comments
Post a Comment