Pendapatan Dasar Semesta: Manfaat dan Kelemahannya

Pandemi Covid-19 membawa serta krisis ekonomi global. Meski sebelum pandemi, benih-benih krisis sudah terlihat,[1] tetapi pandemi memastikan krisis ekonomi terjadi pada 2020 dengan tingkat yang parah. Pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal kedua 2020 mencatat penurunan sebesar -5,32%. Gelombang PHK pun menerpa para pekerja di Indonesia.

Dampak ekonomi pandemi memang sulit dihindari. Pasalnya, upaya memutus rantai penularan Covid-19 mensyaratkan diminimalisirnya interaksi fisik secara sementara. Padahal, kegiatan ekonomi memerlukan interaksi fisik antar-orang sampai derajat tertentu―tidak semua kegiatan ekonomi bisa dilakukan secara daring.

Tetapi, itu tidak berarti tidak ada yang bisa dilakukan untuk melindungi penghidupan rakyat. Pemerintah sendiri sudah menjalankan berbagai program perlindungan sosial. Selain meneruskan yang lama, seperti PKH (Program Keluarga Harapan) dan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), pemerintah juga mengeluarkan yang baru, seperti BLT untuk pekerja dengan upah di bawah Rp5 juta. Namun, berbagai program perlindungan sosial pemerintah ini bersifat minimalis.

Artinya, untuk melindungi penghidupan rakyat selama masa pandemi dan krisis ekonomi, diperlukan program perlindungan sosial yang lebih maju dan solid. Saat ini, di berbagai negeri, sedang ramai dibicarakan program Universal Basic Income (UBI) atau Pendapatan Dasar Semesta (PDS). PDS dianggap bisa melindungi penghidupan masyarakat di tengah pandemi.

Jadi, apa itu PDS? Secara umum PDS adalah tunjangan uang tunai semesta dan tanpa syarat yang diberikan oleh Negara secara berkala (misalnya, setiap bulan sampai pandemi selesai) kepada warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Istilah "pendapatan dasar" memiliki arti bahwa besaran uang PDS harus cukup (tidak minimalis) untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, perumahan, pendidikan, dlsb.

Sementara, istilah "semesta" memiliki arti PDS dibayarkan kepada semua warga negara dalam jumlah yang sama. Unit penerimanya adalah individu, bukan rumah tangga. Kalaupun ada pembatasan penerima manfaat, biasanya hanya anak-anak―meskipun ada juga gagasan PDS yang menyertakan anak-anak.

Misalnya, penerima PDS adalah warga negara usia produktif (15 tahun ke atas) plus manula, tetapi minus anak-anak di bawah 15 tahun. Watak “semesta” PDS membedakan PDS dari bansos konvensional yang biasanya bersifat targeted, yakni hanya diberikan kepada warga yang memenuhi kriteria penerima bansos, seperti mereka yang memenuhi kriteria “miskin” sesuai standar garis kemiskinan.

Adapun istilah "tanpa syarat" memiliki arti bahwa penerima PDS tidak harus memenuhi kondisi tertentu atau melakukan aktivitas tertentu. Ini membedakan PDS dari bantuan bersyarat, seperti bantuan pendidikan yang mensyaratkan penerima manfaatnya sedang bersekolah atau bantuan ibu hamil yang mensyaratkan penerimanya harus berada dalam kondisi hamil.

Manfaat utama PDS adalah PDS membuat rakyat pekerja bisa mengakses kebutuhan dasar dalam situasi sulit seperti pandemi―di mana banyak orang kehilangan pekerjaan. Tetapi manfaat PDS melampaui dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar. PDS juga bisa menguatkan daya tawar pekerja di hadapan pemodal.

Misalnya, dengan adanya PDS, pekerja bisa memilih pekerjaan yang layak dan menolak pekerjaan yang tidak layak. Pekerja tidak lagi terpaksa harus menerima pekerjaan dengan kondisi kerja yang buruk hanya karena kepepet di masalah keuangan. Pemodal harus memberikan imbalan yang lebih baik dari PDS jika tidak ingin ditinggal oleh para pekerjanya.

Kemudian, PDS juga bisa berdampak pada kapasitas gerakan rakyat pekerja. Misalnya, jika selama ini, sebagian organisasi rakyat pekerja kesulitan memungut iuran karena pendapatan anggotanya kecil, maka dengan adanya PDS, organisasi-organisasi rakyat pekerja bisa lebih mudah memungut iuran.

Dalam konteks masyarakat patriarkis dimana masih banyak kaum perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, PDS bisa meningkatkan daya tawar ibu rumah tangga terhadap suaminya. Selama ini, karena kerja-kerja rumah tangga tidak dibayar, ibu rumah tangga cenderung bergantung secara ekonomi kepada suaminya, sehingga daya tawarnya lemah. Dengan adanya PDS, para ibu rumah tangga bisa lebih mandiri secara ekonomi dan daya tawarnya meningkat.

Meski bisa memberikan berbagai manfaat, PDS juga mengandung kelemahan-kelemahan. Misalnya, karena konsep PDS memisahkan pendapatan dari kerja, PDS bisa membuat orang-orang enggan bekerja karena sudah mendapatkan PDS. Padahal, masyarakat hanya bisa hidup dan berkembang jika para anggotanya melakukan kerja produktif.

Namun demkian, dalam kondisi dimana “tidak bekerja” adalah suatu keterpaksaan―seperti pada masa pandemi ini, dimana kerja produktif sulit dilakukan secara optimal karena virus yang berkeliaran―program PDS menjadi relevan. Tetapi, dalam kondisi normal, PDS bisa menimbulkan efek negatif berupa keengganan orang-orang untuk bekerja.

Kelemahan lain, karena yang diberikan adalah uang tunai, maka PDS tidak kebal inflasi. PDS bisa bernasib sama seperti upah buruh yang selalu berkejaran dengan kenaikan harga barang-barang. Selain itu, jika tidak disertai dengan kebijakan pajak progresif yang solid, PDS bisa menghasilkan ketidakmerataan, karena yang kaya maupun miskin sama-sama mendapatkan PDS.

Terakhir, ada sebagian pemodal yang mendukung PDS karena berkepentingan mempreteli layanan dasar bersubsidi seperti kesehatan, pendidikan, dlsb. Karena ingin memprivatisasi dan mengomersialkan layanan dasar bersubsidi tersebut, mereka mendukung PDS sebagai kompensasinya.

Adanya kelemahan-kelemahan ini bukan berarti PDS harus ditolak secara mutlak. Seperti dinyatakan di atas, PDS juga memiliki manfaat bagi rakyat pekerja, khususnya dalam situasi pandemi dan krisis ekonomi. Namun, agar manfaatnya optimal, kelemahan-kelemahannya harus diatasi. Menurut hemat penulis, kelemahan-kelemahan PDS bisa diatasi dengan cara berikut:

  1. PDS diterapkan hanya selama pandemi berlangsung, bukan menjadi bagian permanen dari sistem kemasyarakatan. Seperti yang sudah dibahas di atas, PDS bisa memberikan manfaat bagi rakyat pekerja berupa pemenuhan kebutuhan hidup di masa pandemi. Namun, dalam kondisi normal, PDS malah bisa berefek negatif sebagai disinsentif untuk bekerja.

    Tetapi, yang dimaksud “sementara” di sini adalah sampai pandemi benar-benar selesai. Jadi, kalau pandemi baru selesai dalam 1-2 tahun ke depan, maka PDS diterapkan selama jangka waktu itu. Seringkali, jangka waktu penerapan program bantuan sosial dilakukan secara minimalis, seperti hanya beberapa bulan saja, tanpa memperhitungkan apakah masalah yang membuat masyarakat terdeprivasi sudah teratasi atau belum.

    Penulis sendiri optimis pandemi bisa diatasi. Sejarah wabah menunjukkan bahwa tidak ada wabah yang berlangsung selamanya. Wabah Flu Spanyol, misalnya, yang memakan korban lebih dari 21 juta orang meninggal dunia, berlangsung selama sekitar 2 tahun (1918-1920) dan akhirnya selesai.[2]
     
    Adanya negara-negara yang sudah relatif berhasil menurunkan kurva Covid-19, seperti Cina dan Selandia Baru, juga menunjukkan bahwa wabah bisa diatasi. Tentu saja, seberapa cepat atau lambat wabah bisa diatasi, dan berapa jumlah korbannya, bergantung pada tindakan masyarakatnya, terutama kebijakan Negaranya.

  2. Kebijakan PDS tidak bisa berdiri sendiri. Penerapan PDS harus dikombinasikan dengan setidaknya dua kebijakan lain, yaitu Layanan Dasar Semesta (LDS) dan pajak progresif yang solid. LDS atau Universal Basic Services (UBS) merujuk pada subsidi Negara atas layanan dasar atau “barang publik” (kesehatan, pendidikan, transportasi, dapur umum bersubsidi, perumahan, energi, dlsb.) agar bisa diakses secara gratis atau murah oleh rakyat pekerja.

    Kenapa PDS harus dikombinasikan dengan LDS? Karena PDS tidak kebal inflasi, sementara LDS lebih resisten terhadap inflasi. LDS melakukan "dekomodifikasi" terhadap layanan atau barang yang disubsidi, sehingga layanan atau barang itu tidak lagi menjadi komoditi yang diperjualbelikan dengan harga pasar. Sementara dengan PDS, masyarakat tetap harus mengakses layanan atau barang yang dibutuhkan dengan harga pasar, hanya saja orangnya diberi uang tunai.

    Adapun PDS juga harus dikombinasikan dengan pajak progresif yang solid, karena pemodal dan orang-orang kaya juga mendapatkan PDS. Jika tanpa kebijakan pajak progresif yang solid, PDS malah bisa menghasilkan ketidakmerataan. Pajak pemodal dan orang-orang kaya harus lebih besar dari jumlah PDS yang mereka dapatkan, sementara pajak rakyat pekerja diperingan. Hanya dengan cara ini, PDS bisa mencapai tujuan redistribusi pendapatan.

  3. Terkait adanya sebagian pemodal yang mendukung PDS sebagai kompensasi dari privatisasi dan komersialisasi layanan dasar atau barang publik yang tercakup dalam LDS, kita harus menolak pertukaran semacam itu. Dulu, pertukaran semacam ini pernah terjadi, saat subsidi BBM dicabut dengan alasan uangnya akan dialihkan untuk menambah anggaran pendidikan dan kesehatan―meski kenyataannya, pendidikan dan kesehatan tetap mahal hingga saat ini. Kita harus menyatakan bahwa selama pandemi ini, seluruh warga negara berhak atas PDS dan juga LDS, bukan hanya salah satunya.
Catatan:

[1] Misalnya, kontraksi di sektor manufaktur sudah terjadi sejak akhir 2019. Lihat Michael Roberts, "A global manufacturing recession," dalam Michael Roberts Blog, https://thenextrecession.wordpress.com/2019/10/01/a-global-manufacturing-recession/. Kemudian, laporan UNCTAD pada September 2019 juga memperkirakan terjadinya resesi global pada 2020. Lihat UNCTAD, Trade and Development Report 2019: Financing A Global Green New Deal, https://unctad.org/en/pages/PublicationWebflyer.aspx?publicationid=2526.

[2] Untuk sejarah beberapa wabah besar yang pernah dialami umat manusia, lihat Alfred Jay Bollet, M.D., Plagues and Poxes: The Impact of Human History on Epidemic Diseases, (New York: Demos Medical Publishing, 2004).

Comments

Popular posts from this blog

Materialisme Historis: Metode Analisis Sosial Marxis

Produktivitas Buruh Meningkat, Upah Riil Stagnan

Israel dan Palestina: sebuah kisah kolonialisme modern