Internasionalisme Proletariat dan Persoalan Kebangsaan

"Proletarian Internationalism" oleh Jacob Anikulapo dengan lisensi CC BY-NC-SA 2.0.

Untuk menjamin ketersediaan sumberdaya (bahan baku dan tenaga-kerja) serta pasar, kelas borjuis membutuhkan sebuah teritori yang menyatu secara politik dan budaya. Kemunculan negara-bangsa (nation-state) pada dasarnya didorong oleh kebutuhan ini.

Sejak kemunculan kapitalisme sampai dengan sekarang, teritori dunia terbagi-bagi ke dalam negara-bangsa. Namun, pembagian ini tidak pernah stabil dan terus berubah. Selalu muncul negara baru di dunia ini. Pasalnya, kelas borjuis selalu saling bersaing, dan salah satu bentuk persaingan itu adalah perebutan teritori untuk penguasaan sumberdaya serta pasar.

Konsentrasi produksi yang melahirkan kapitalisme monopoli (imperialisme), memang membuat kelas kapitalis lebih mampu mengendalikan persaingan di antara mereka. Misalnya, dengan membentuk kartel atau aliansi antar-negara. Tetapi, hal itu hanya bersifat sementara saja. Selama cara produksi yang berlaku adalah kapitalisme, persaingan tidak bisa lenyap. Itu kenapa, sejak zaman penaklukan kolonial sampai dengan abad ke-21, konflik antar-bangsa terus terjadi, meski dengan skala yang berbeda.

Pertanyaannya, bagaimana kita sebagai gerakan sosialis menyikapi fenomena ini?

Pertama-tama, dengan adanya internasionalisasi produksi dan pertukaran dalam kapitalisme, kemenangan penuh sosialisme tidak mungkin terjadi hanya di satu negeri. Ini bukan berarti revolusi sosialis harus terjadi serentak di semua negeri. Ketidakmerataan perkembangan kelas proletariat sudah hampir pasti akan membuat revolusi sosialis terjadi secara tidak serentak. Kemungkinan besar revolusi akan terjadi duluan di negara-negara yang kelas proletariatnya sudah maju.

Namun, apakah negara yang sudah melakukan revolusi bisa melakukan transformasi sosialis bergantung kepada terjadinya revolusi di negara-negara lain. Di masa internasionalisasi produksi sekarang ini, tidak ada satu negara pun yang bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya sendirian, tanpa bekerjasama dengan negara-negara lain. Kemenangan politik sosialisme di suatu negara yang tidak diikuti oleh kemenangan politik sosialisme di negara-negara lain, akan dikepung oleh lautan negara kapitalis dan rentan dipukul balik.

Jadi, kemenangan penuh sosialisme hanya bisa terwujud jika kemenangan sosialisme sudah terjadi di seluruh atau setidaknya sebagian besar negara di dunia. Dan jika kemenangan penuh itu sudah tercapai, negara-bangsa sebagai organisasi sosial yang melayani kepentingan kelas borjuis menjadi tidak diperlukan lagi. Masyarakat dunia yang sebelumnya terbagi ke dalam negara-bangsa bisa disatukan menjadi satu kolektivitas besar yang saling bekerjasama untuk kemaslahatan bersama.

Untuk bisa mewujudkan kemenangan penuh sosialisme secara internasional, diperlukan persatuan kelas proletariat dan rakyat pekerja secara internasional. Jangankan untuk mewujudkan sosialisme, untuk membendung relokasi pabrik saja, diperlukan solidaritas pekerja internasional. Artinya, gerakan sosialis memiliki kepentingan akan persatuan kelas proletariat dan rakyat pekerja secara internasional. Inilah prinsip internasionalisme proletariat!

Karena kita memiliki kepentingan mewujudkan sosialisme dan menyatukan kelas proletariat secara internasional, maka inilah landasan kita ketika mengambil sikap terhadap persoalan kebangsaan. Artinya, sikap yang harus kita ambil terhadap suatu persoalan kebangsaan adalah sikap yang mendekatkan kenyataan pada persatuan proletariat secara internasional dan perwujudan sosialisme. Apa bentuk spesifik sikapnya bergantung pada persoalan kebangsaan spesifik yang dihadapi, dan hanya bisa ditentukan setelah analisis atas kasusnya.

Dalam kasus perang antar negara yang merdeka, atau aneksasi suatu negara terhadap negara lain yang merdeka, gerakan sosialis dalam sejarahnya cenderung bersikap menolak perang. Karena perang antar negara yang merdeka atau aneksasi berpotensi menumbuhkan permusuhan antar kelas proletariat atau rakyat pekerja di negara-negara yang saling berperang, sekalipun yang melancarkan perang adalah kelas borjuisnya. Jadi, sikap menolak perang diambil karena perang semacam itu akan menjauhkan kenyataan dari persatuan proletariat secara internasional.

Dalam kasus bangsa yang ditindas oleh negara-bangsa induknya, dan memiliki aspirasi pemisahan diri atau merdeka, ada perdebatan di antara kaum Marxis generasi awal. Ada kecenderungan pemikiran yang menganggap aspirasi merdeka berwatak borjuis dan karenanya tidak perlu didukung. Rosa Luxemburg, misalnya, pernah menganggap dukungan terhadap hak setiap bangsa untuk pemisahan diri adalah dukungan terhadap nasionalisme borjuis. Lalu, Anton Pannekoek menganggap fenomena nasional adalah sebuah fenomena ideologi borjuis. Namun, ada juga pemikiran yang menganggap mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang tertindas adalah sangat penting, seperti pemikiran Lenin.[1]

Pemikiran yang tidak menyetujui hak bangsa-bangsa yang tertindas untuk merdeka, saat ini sudah tidak banyak dianut oleh kalangan sosialis. Dalam perkembangan pemikiran Marxis selanjutnya, yang akhirnya diterima sebagai “standar” adalah bahwa gerakan sosialis perlu mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang tertindas. Tapi, alasannya bukanlah sekadar karena itu merupakan hak asasi manusia. Dukungan kaum sosialis terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang tertindas, didasarkan secara spesifik pada kepentingan pencapaian sosialisme.

Ini bisa kita lihat dari argumen yang dikemukakan Lenin. Ada setidaknya dua argumen Lenin yang penting.[2] Pertama, perjuangan bangsa-bangsa tertindas untuk merdeka adalah perjuangan demokratik yang melibatkan massa rakyat, sekalipun di bawah kepemimpinan kelas borjuis, dan perjuangan demokratik penting bagi sosialisme. Perjuangan demokratik akan mendidik dan mempersiapkan kelas proletariat bagi revolusi sosialis. Kemudian, demokrasi juga akan membuat perjuangan kelas proletariat menjadi lebih bebas. Singkatnya, perjuangan demokratik akan mendekatkan kenyataan pada pencapaian sosialisme.

Argumen kedua terkait dengan prinsip internasionalisme proletariat. Menurut Lenin, solidaritas kelas antar proletariat dari bangsa tertindas dan penindas mustahil terjadi jika proletariat dari bangsa penindas tidak ikut memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa yang ditindas oleh bangsa mereka. Hanya jika proletariat dari bangsa penindas mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa yang ditindas oleh bangsa mereka, solidaritas kelas antar proletariat dari bangsa tertindas dan penindas menjadi dimungkinkan.

Tetapi, apakah itu berarti semua aspirasi untuk merdeka harus didukung? Tidak juga. Perlu ditekankan di sini, Lenin berpendapat dalam konteks bangsa-bangsa tertindas. Tidak semua aspirasi merdeka atau pemisahan diri muncul dari bangsa-bangsa tertindas.

Sebagai contoh, Perang Saudara Amerika Serikat 1861-1865. Berawal dari persaingan antara sistem kerja-upahan dengan perbudakan. Mereka yang anti-perbudakan semakin hari semakin mendominasi pemerintahan. Secara perlahan, negara-negara bagian di utara AS melarang perbudakan. Pengusaha perkebunan yang memakai sistem perbudakan dan rata-rata berada di bagian selatan AS, merasa terancam. Pada 1860-1861, 11 negara bagian yang pro-perbudakan memisahkan diri dari AS dan membentuk negara bernama Konfederasi Amerika. Pemerintah AS menyatakan Konfederasi sebagai ilegal. Perang Saudara pun pecah di AS.

Marx dan Engels mendukung pemerintah AS di bawah Presiden Abraham Lincoln dalam memerangi Konfederasi.[3] Ketika Konfederasi melobi Inggris untuk membantu mereka perang, Marx yang saat itu di Inggris terlibat dalam gerakan buruh Inggris yang menolak intervensi Inggris dalam Perang Saudara AS. Industri tekstil Inggris memang banyak diuntungkan oleh bahan baku dari perkebunan-perkebunan AS yang memakai sistem perbudakan. Akhirnya Inggris tidak pernah terlibat dalam perang, meski sempat mengirim pasukan ke Kanada. Saat Lincoln terpilih lagi dalam Pemilu 1864, Internasional Pertama mengirim surat ucapan selamat.

Dalam kasus itu, kepentingan Konfederasi memisahkan diri dari AS adalah untuk mempertahankan sistem perbudakan. Karenanya, Konfederasi adalah pihak yang reaksioner, ingin menahan gerak maju roda sejarah menuju sistem kerja-upahan. Itulah kenapa Marx dan Engels mendukung pemerintah AS dalam memerangi Konfederasi.

Jadi, untuk persoalan kebangsaan, sikap yang harus kita ambil adalah sikap yang mendekatkan kenyataan pada persatuan proletariat secara internasional dan perwujudan sosialisme. Apa bentuk spesifik sikapnya, bergantung pada persoalan kebangsaan spesifik yang dihadapi, dan hanya bisa ditentukan setelah kasusnya dianalisis.

Catatan:

[1] Perdebatan kaum Marxis generasi awal dalam persoalan kebangsaan dibahas secara singkat dan padat dalam Michael Löwy, “Marxists and the National Question,” diunduh dari https://solidarity-us.org/pdfs/cadreschool/fws.lowy.pdf.

[2] V.I. Lenin, "The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-Determination," 1916, Marxists Internet Archive, https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/jan/x01.htm.

[3] Lihat Donny Schraffenberger, "Karl Marx and the American Civil War," International Socialist Review, Edisi #80, November 2011, https://isreview.org/issue/80/karl-marx-and-american-civil-war.

Comments

Popular posts from this blog

Materialisme Historis: Metode Analisis Sosial Marxis

Produktivitas Buruh Meningkat, Upah Riil Stagnan

Upah Nominal VS Upah Riil Buruh Industri