Israel dan Palestina: sebuah kisah kolonialisme modern

Daniel Avelar dan Bianca Ferrari

"Gereja Saint Mary di Iqrit", oleh צילום:ד"ר אבישי טייכר, dengan lisensi CC BY 2.5.

Di sebuah puncak bukit di utara Galilea, sebuah gereja kecil berdiri sendirian dikelilingi oleh puing-puing. Itu adalah bangunan terakhir yang tersisa di desa Palestina yang bernama Iqrit, yang dikosongkan dan hancur menyusul pendirian Negara Israel pada 15 Mei 1948.

“Tempat ini sangat berarti bagi kami, ia mengingatkan kami dari mana kami berasal,” kata Samer Toume, yang kakek neneknya termasuk di antara 600 orang Kristen yang diusir dari Iqrit oleh Pasukan Pertahanan Israel hampir tujuh dekade yang lalu.

Kisah Iqrit sama dengan kisah 530 desa lainnya yang dihancurkan dalam sebuah proses yang kemudian dikenal oleh dunia sebagai pendirian Israel―dan yang oleh orang-orang Palestina dikenal sebagai “Nakba,” istilah Arab untuk “malapetaka.”

Orang-orang Yahudi Eropa yang pertama mendarat di pantai Palestina dan mendirikan pemukiman awal pada abad ke-19. Pada 1948, kekuatan Zionis secara sistematis mengambil alih tanah, mengusir orang-orang dari rumah mereka dan membuat banyak orang hidup sebagai pengungsi di daerah kantong yang terisolasi.

Pendirian Israel berakar pada sebuah proyek kolonial yang telah memodernisasi wajahnya, tetapi terus membuat orang-orang Palestina berada di bawah pendudukan militer, mengalami perampasan tanah dan ketidaksetaraan hak. Tujuh puluh tahun kemudian, luka Nakba masih menganga, karena Israel menolak hak untuk pulang lebih dari lima juta pengungsi―sementara menjamin kewarganegaraan bagi siapapun yang bisa membuktikan dirinya keturunan Yahudi.

“Israel tidak membolehkan orang-orang Palestina untuk pulang ke tanah mereka. Di Iqrit, kami hanya dibolehkan pulang jika ada orang meninggal yang akan dikubur di sini,” ungkap Samer, 28, sambil menunjuk ke sebuah kuburan tidak jauh dari gereja. Aktivitas lain, seperti membangun kembali rumah-rumah yang dihancurkan atau bercocok tanam, masih ilegal.

Meskipun demikian, hampir enam tahun yang lalu, anggota generasi ketiga para pengungsi Iqrit memutuskan untuk menentang aturan yang memisahkan mereka dari tanah mereka dan mulai menghidupkan kembali desa mereka.

“Melalui sistem rotasi shift, kami terus hadir di sini. Pada siang hari, kami pergi ke tempat kerja kami di kota-kota di daerah itu dan kemudian kembali ke Iqrit,” ungkap Samer, yang bekerja di sebuah perusahaan start-up medis di kota Haifa. “Kami juga mengadakan pertemuan akhir pekan dan perkemahan musim panas tahunan untuk melibatkan penduduk dari generasi yang lebih muda dan tua.”

“Kami ingin terus menghidupkan memori tentang Iqrit.”

Kisah kuat Samer adalah kisah yang tidak biasa. Tidak seperti Iqrit, banyak area yang dikosongkan pada 1948 dihuni oleh para migran Yahudi atau diubah menjadi hutan dan zona militer oleh pemerintah Israel, yang secara efektif menutupi jejak Nakba.

Begitu pula, bisa mengunjungi desa dari mana leluhur diusir, sayangnya, tidak mungkin bagi kebanyakan orang Palestina. Karena kerabat Samer melarikan diri ke tempat-tempat di dalam Israel dan kemudian diberikan kewarganegaraan, dia bebas bergerak. Di sisi lain, sebagian besar pengungsi Palestina masih tinggal di daerah pendudukan atau di negara lain di daerah itu, seringkali di kamp-kamp yang dibangun secara tergesa-gesa pada 1950an sebagai tempat tinggal sementara. Dengan demikian, mereka tidak dapat menyeberang ke Israel tanpa izin sebelumnya.

Menurut sejarawan Israel Ilan Pappe, pengusiran paksa orang-orang Palestina sama dengan pembersihan etnis.

“Kisah Palestina dari awal sampai sekarang adalah kisah sederhana tentang kolonialisme dan perampasan, tetapi dunia memperlakukannya sebagai kisah yang kompleks dan beraneka segi―sulit dipahami dan bahkan sulit diatasi,” tegas Pappe dalam buku On Palestine, yang ditulis bersama dengan ilmuwan Amerika Noam Chomsky.

Selama beberapa dekade terakhir, status diaspora Palestina semakin memburuk, atau jauh lebih buruk: statusnya dilembagakan. Perjanjian Oslo pada '93 dan '95, meski dirayakan di barat sebagai langkah pertama menuju solusi dua negara, tidak membahas hak para pengungsi untuk pulang, karenanya mengutuk mereka ke dalam limbo berupa keadaan tanpa kewarganegaraan yang efektif.

Perjanjian itu membagi Tepi Barat menjadi tiga daerah: daerah A di bawah kendali Otoritas Palestina (OP), daerah B di bawah pemerintahan bersama Israel-Palestina, dan daerah C, yang dikelola oleh Israel. Perjanjian itu, yang seharusnya membuka jalan bagi pembentukan sebuah negara Palestina, malah meningkatkan kehadiran Israel di daerah tersebut melalui ekspansi pemukiman Yahudi. Ilmuwan Edward Said menunjukkan bahwa para pemimpin Palestina sudah secara efektif menyerahkan hak untuk menentukan nasib sendiri di sebagian besar daerah Tepi Barat sebagai ganti dari pengakuan Israel atas OP, dan menyebut perjanjian itu sebagai "instrumen penyerahan Palestina, Versailles-nya Palestina."

Kegagalan Oslo terutama terlihat di daerah C, sebuah distrik berpenduduk jarang yang mencakup lebih dari 60% daerah Tepi Barat dan menjadi tempat sumber daya alam daerah itu, di mana Israel mempertahankan kontrol eksklusif atas penegakan hukum, perencanaan, dan konstruksi. Lebih jauh lagi, Pasukan Pertahanan Israel bertanggung jawab atas semua perbatasan di dalam dan di sekeliling Tepi Barat. Pengaturan ini, yang telah berulang kali dikecam sebagai upaya untuk secara de facto menganeksasi daerah C, mulai sedikit memperlihatkan seperti apa pendudukan Israel saat ini.

Kebijakan keamanan seperti koin bermuka dua: untuk setiap tindakan yang diterapkan bagi keselamatan warga Yahudi Israel, pembatasan diberlakukan terhadap hak untuk bergerak dan berkembang dari orang-orang Palestina. Sistem hak dan kewajiban terkait status yang kompleks ini telah menciptakan hierarki dalam masyarakat Palestina. Dalam struktur yang seperti apartheid ini, individu harus mendapatkan tingkat otorisasi yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari mereka semata-mata berdasarkan tempat keluarga mereka pindah pada peristiwa Nakba.

Orang-orang Palestina dengan kewarganegaraan Israel terkena praktik-praktik diskriminatif dalam pendidikan, layanan publik, dan sistem hukum. Itulah kasus Samer Toume, yang hidup sebagai warga negara kelas dua di Israel dan menghadapi berbagai tantangan dalam upayanya untuk terhubung kembali dengan asal-usulnya di Iqrit.

Tetapi bahkan kehidupan orang-orang Palestina di bawah yurisdiksi OP sangat dipengaruhi oleh pendudukan Israel. Hassan Darwish (nama diubah untuk melindungi identitasnya), 27, lahir prematur di sebuah rumah sakit Israel di Yerusalem, tetapi ia dibesarkan di kota Ramallah di daerah A. Kenyataan hidup di bawah pendudukan militer menjadi sangat jelas bagi Hassan saat ia berumur 12 tahun, ketika ia ditangkap dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena melempar batu ke tentara Israel selama bentrokan di kamp pengungsi tempat kakek neneknya tinggal.

“Saya sedang bermain dengan sepupu saya di kamp Jazalone saat tentara Israel datang,” kata Hassan, “Ada bentrokan besar, semua anak mulai berlari menghampiri bentrokan dan saya juga lari. Dalam benak saya, kita hanya bermain, melempar batu. Setelah itu, saya bangun di penjara.”

Mengingat kembali peristiwa itu membuat suara Hassan bernada kemarahan dan frustrasi.”Saya masih 12 tahun, kamu tahu apa artinya itu? Saya masih anak-anak, apa yang bisa saya lakukan terhadap Israel? Israel, apa itu Israel? Saya tidak tahu apa-apa.”

Hilangnya kebebasan pribadi adalah tema yang berulang dalam cerita Hassan, dan itu meresap ke semua aspek pengalaman orang-orang Palestina. Tingkat pengangguran yang tinggi di Tepi Barat mendorong banyak orang Palestina mencari pekerjaan di Israel atau di pemukiman, di mana mereka dipekerjakan sebagai buruh murah, seringkali secara ilegal. Keluar dari daerah tanpa izin memiliki arti mengambil risiko dipenjara dan, menurut Hassan, permintaan izin selalu ditolak.

“Kami tinggal di sebuah penjara yang besar,” lanjutnya. “Jika Anda, sebagai manusia, bekerja setiap hari, dan Anda ingin jalan-jalan dengan keluarga, teman atau pacar Anda, Anda tidak punya tempat untuk pergi. Daerah tepi laut kami diduduki. Jika Anda ingin bepergian ke mana pun, Anda harus mengosongkan mobil Anda terlebih dahulu, karena alat apa pun yang dapat digunakan untuk melukai seseorang, bahkan sebuah gunting kuku, bisa membuat Anda ditangkap atau terbunuh."

"Seorang teman dari Brazil membawakan saya sebuah batu dari Yerusalem. Aneh, karena itu adalah kota tempat saya lahir, tetapi setelah 27 tahun, saya tidak bisa pergi ke sana dan mengambilnya sendiri. Saya menunjukkan batu itu ke semua teman saya: mereka merasa senang karena kita bisa menyentuhnya, dan menciumnya."

Yang lebih mengerikan adalah situasi di Gaza, di mana penduduknya diperlakukan sebagai kombatan musuh dan hidup di bawah blokade darat, udara dan laut yang telah menurunkan PDB daerah itu hingga 50% sejak 2007, menurut Bank Dunia.

Pada 30 Maret 2018, para pengungsi Gaza melancarkan serangkaian demonstrasi mingguan yang disebut "Aksi Besar untuk Kembali," yang diprogramkan akan berakhir pada 15 Mei, Hari Nakba. Ketika ribuan orang berkumpul di dekat perbatasan untuk memprotes isolasi mereka dan secara simbolik melakukan perjalanan kembali ke tanah mereka, Pasukan Pertahanan Israel meresponsnya dengan gas air mata dan peluru tajam, menyebabkan puluhan orang terluka atau terbunuh.

Ketika Israel terus melanggar hak-hak warga Palestina, masyarakat internasional berulang kali menutup mata. Inisiatif untuk sebuah solusi politik terhadap konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun sering diblokir oleh AS di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menurut Eitan Bronstein dan Eléonore Merza, pendiri NGO Israel De-Colonizer, orang-orang Yahudi Israel juga berkepentingan untuk mengakui narasi Palestina.

“Korban utama rezim ini tentu saja adalah orang-orang Palestina, tetapi orang-orang Yahudi Israel juga membayar ongkos penaklukan sejak 1948 dengan hidup dalam ketakutan terus-menerus, tanpa harapan akan perdamaian,” tulis mereka di situs NGO itu. "Dengan kata lain, kami percaya bahwa kunci penting untuk masa depan kami di sini berakar di masa lalu kami.”

Adapun tentang masa depannya, Hassan tetap punya harapan. "Ketika saya ditahan saat berumur 12 tahun, saya bahkan tidak tahu apa impian saya. Tetapi sekarang, saya telah melalui begitu banyak hal, dan semua kesulitan telah membuat saya seperti sekarang ini. Saya tahu apa impian saya: untuk merasakan bahwa saya memiliki tanah, bukan hanya untuk hidup di atasnya."

Tulisan ini diterjemahkan oleh Mohamad Zaki Hussein dari Daniel Avelar dan Bianca Ferrari, "Israel and Palestine: a story of modern colonialism", openDemocracy, 29 Mei 2018, dengan beberapa perbaikan (tautan mati dihilangkan, judul buku dimiringkan dan salah ketik diperbaiki) dan lisensi CC BY-NC 4.0.

Comments

Popular posts from this blog

Materialisme Historis: Metode Analisis Sosial Marxis

Produktivitas Buruh Meningkat, Upah Riil Stagnan