BPJS Kesehatan: Perlindungan Kesehatan atau Jasa Keuangan Negara?
Pada 25 November 2011, pemerintah mengesahkan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).[1] Dengan adanya UU BPJS,[2] pengelolaan program asuransi sosial yang sebelumnya tersebar, hendak ditata ulang dan disentralisasi di bawah BPJS.
Jaminan kesehatan yang dulu dikelola secara tersebar, seperti PT Askes untuk PNS, PT Jamosostek untuk pekerja swasta, dan sebagainya, dikonsolidasikan di bawah BPJS Kesehatan. Sementara, program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian yang dulu dikelola oleh PT Jamsostek, PT Taspen dan PT Asabri, disentralisasi di bawah BPJS Ketenagakerjaan.
Selain mensentralisasi pengelolaan program asuransi sosial, UU BPJS juga memperluas kepesertaan program asuransi sosial. Dulu cakupan program asuransi sosial bersifat terbatas, seperti program Jamsostek hanya untuk pekerja swasta, program Taspen dan Askes untuk PNS, serta program Asabri untuk Polri, TNI dan PNS Departemen Pertahanan.
Sekarang, pasal 14-18 UU BPJS mewajibkan semua penduduk yang memenuhi persyaratan program jaminan sosial untuk mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai peserta BPJS. Tercakup di sini adalah pekerja asing yang sudah bekerja paling sedikit 6 bulan di Indonesia. Mereka yang memenuhi syarat, tetapi tidak mendaftarkan diri, diancam dengan sanksi administratif.
BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014, sementara BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015. Pada tanggal 1 Januari 2014, PT Askes dan PT Jamsostek juga bubar dan berubah menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Terkait program yang berada di bawah pengelolaan PT Asabri dan PT Taspen, pengalihannya ke BPJS Ketenagakerjaan diberi waktu sampai 2029.
Buruknya Layanan Kesehatan Pasien BPJS
Selama beroperasi, BPJS Kesehatan mengalami banyak masalah, terutama terkait warga miskin yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Salah satu masalah yang mencolok adalah buruknya pelayanan kesehatan yang dialami oleh pasien BPJS Kesehatan. Misalnya, masalah yang dialami oleh suami Ibu Iing (Siti Jamilah), anggota Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), sebuah organisasi rakyat miskin.[3] Suami Ibu Iing terlambat didiagnosa menderita penyakit jantung, sehingga akhirnya meninggal dunia.
Almarhum baru menerima diagnosa yang tepat setelah menerima berbagai diagnosa lain yang tidak tepat. Pasalnya, pihak RS enggan menggunakan alat yang tepat dalam melakukan diagnosa. Baru pada diagnosa yang kesekian, di RS yang kesekian, dengan menggunakan alat yang disebut “teropong,” akhirnya diketahui fungsi jantung almarhum sudah menurun hingga hanya 30%. Tindakan yang harus dilakukan adalah operasi pemasangan ring pada jantung almarhum dengan resiko kematian yang besar. Peristiwa ini pun berujung pada meninggalnya suami Ibu Iing.
Masalah lain adalah penolakan pasien PBI oleh RS dengan alasan ketiadaan ruang rawat inap kelas III. Dalam Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,[4] manfaat kelas ruang perawatan yang bisa didapat pasien PBI adalah ruang perawatan kelas III.
Meski penolakan ini bisa disebabkan oleh karena kamarnya memang tidak ada. Tetapi, bisa juga kamarnya sebenarnya ada, namun pihak RS berbohong, karena enggan fasilitasnya dipakai oleh pasien PBI. Pihak RS memang sering berbohong tentang ketersediaan ruang rawat inap bagi pasien BPJS Kesehatan. Karena itu, ketika mengadvokasi pasien BPJS Kesehatan yang membutuhkan ruang rawat inap, organiser SPRI biasanya memeriksa sendiri ke seluruh lantai RS apakah ada kamar yang kosong atau tidak.
Kebohongan serupa juga ada saat pengambilan obat. Seringkali awalnya dikatakan bahwa obat tertentu yang dibutuhkan tidak bisa diklaim. Namun, setelah ditekan, baru diakui bahwa obat tersebut sebenarnya bisa diklaim. ”Tapi tetap obat dimainin juga, ada suruh beli, karena tidak ditanggung katanya…. Saya langsung mengadu ke Rio. Ternyata Rio telepon. Tidak lama, itu obat lancar. Tidak pakai beli, tidak apa,” kata Ibu Iing.[5] Petugas obat itu baru jujur kepada Ibu Iing, setelah mendapat tekanan dari Rio Ayudhia, Sekretaris Wilayah SPRI DKI Jakarta.
Pertanyaannya, kenapa bisa muncul banyak masalah pelayanan buruk dalam BPJS Kesehatan? Kenapa RS terlihat enggan fasilitasnya dipakai atau tidak serius dalam menangani pasien BPJS Kesehatan? Banyak masalah pelayanan buruk ini berujung pada sistem tarif BPJS Kesehatan dan logika akumulasi laba dari dunia fasilitas kesehatan Indonesia. Yang dimaksud dengan sistem tarif di sini adalah sistem pembayaran klaim fasilitas kesehatan oleh BPJS Kesehatan.
Sistem Tarif BPJS Kesehatan
Sistem tarif BPJS Kesehatan diatur dalam Permenkes No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.[6] Di situ, kita bisa lihat bahwa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif yang berbeda untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
Yang dimaksud dengan FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat non-speialistik, seperti Puskesmas atau klinik pratama. Sementara FKRTL adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik, seperti RS atau klinik utama. Untuk FKTP, diterapkan sistem tarif kapitasi dan non-kapitasi, sementara untuk FKRTL diterapkan sistem tarif Indonesian-Case Based Groups (INA-CBG's).
Sistem tarif kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang dibayar di muka setiap bulan kepada suatu fasilitas kesehatan, yang besarannya didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di fasilitas kesehatan tersebut, tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. Sementara, sistem tarif non-kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang didasarkan pada jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. Adapun sistem INA-CBG's adalah sistem pembayaran klaim secara paket, yang didasarkan pada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.
Baik sistem tarif kapitasi maupun INA-CBG’s tergolong dalam sistem pembayaran prospektif, yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan yang besarannya sudah ditetapkan sebelum layanan kesehatan diberikan. Sistem pembayaran alternatifnya adalah sistem pembayaran restropektif, yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan setelah layanan diberikan dan didasarkan pada aktivitas layanan yang diberikan.[7]
Meskipun ada sistem tarif non-kapitasi dalam BPJS Kesehatan, sistem ini sebenarnya hanya diterapkan pada FKTP yang memberikan layanan tertentu saja. Sistem tarif yang menjadi “aturan main” adalah sistem tarif prospektif. Sistem tarif prospektif menguntungkan BPJS Kesehatan, karena membuat mereka memiliki kapasitas untuk mengontrol dan menekan biaya klaim.
Namun, sistem pembayaran prospektif menekan dunia fasilitas kesehatan yang memiliki kepentingan akumulasi laba. Mereka resisten terhadap upaya BPJS Kesehatan menggunakan fasilitas mereka dengan tarif rendah. Muncullah kontradiksi antara BPJS Kesehatan dengan dunia fasilitas kesehatan.
Sebagian RS swasta hanya mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk layanan tertentu saja, tidak sepenuhnya. RS Royal Trauma di Grogol, misalnya, hanya bekerjasama dengan BPJS untuk layanan Instalasi Gawat Darurat (IGD).[8] Di tingkat diskursus, muncul perdebatan tentang apakah tarif kapitasi dan INA-CBG’s membuat dunia fasilitas kesehatan Indonesia rugi atau tidak.[9] Efek lain dari kontradiksi ini, pelayanan yang diberikan kepada pasien BPJS pun seadanya, asal-asalan atau buruk.
BPJS Kesehatan: Jasa Keuangan Negara?
Pertanyaannya, kenapa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif prospektif? Karena BPJS Kesehatan dirancang bukan hanya untuk memberikan perlindungan kesehatan, tetapi juga untuk menggalang dana dari masyarakat dalam rangka membantu keuangan Negara. Oleh sebab itu, sampai derajat tertentu, BPJS Kesehatan harus beroperasi dengan logika bisnis, menambah pendapatan dan menekan pengeluaran. Sistem tarif prospektif yang menjadi salah satu penyebab masalah pelayanan buruk, diterapkan dalam rangka menekan pengeluaran.
Fungsi BPJS Kesehatan sebagai lembaga jasa keuangan Negara dapat dilihat dari pola batasan investasi yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan. UU BPJS dan PP No. 87 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan[10] membolehkan aset yang dikelola BPJS Kesehatan untuk diinvestasikan pada berbagai instrumen investasi. Namun, ada batasan-batasan dari investasi tersebut. Batasan dari tiap instrumen investasi dapat dilihat dalam tabel berikut:
Untuk Aset BPJS Kesehatan, jenis instrumen investasi yang boleh disasar, cukup banyak. Namun, hampir semua instrumen investasi tersebut dikenakan batasan tertentu. Misalnya, paling tinggi hanya 50% dari keseluruhan investasi BPJS Kesehatan yang boleh ditanam pada surat utang korporasi, saham dan reksadana. Tetapi, ada dua instrumen investasi yang tidak dikenakan batasan jumlah dan presentase, yaitu surat berharga Negara dan Bank Indonesia (BI).
Untuk Dana Jaminan Sosial Kesehatan, hanya ada tiga jenis instrumen investasi yang boleh disasar, yaitu deposito berjangka, surat berharga Negara dan surat berharga BI. Untuk deposito berjangka, terdapat batasan paling tinggi hanya 15% dari keseluruhan investasi BPJS Kesehatan yang boleh ditanam pada satu bank. Untuk surat berharga Negara dan BI, tidak terdapat batasan jumlah dan persentase.
Pertanyaannya, kenapa surat berharga Negara dan BI tidak dikenakan pembatasan sama sekali seperti instrumen investasi lain? Kenapa kedua instrumen investasi ini tampak diutamakan? Ini merupakan tanda bahwa BPJS Kesehatan dirancang untuk menyerap surat berharga Negara dan BI. Jika benar bahwa BPJS Kesehatan dirancang untuk menyerap surat berharga Negara dan BI, itu berarti BPJS Kesehatan dibangun untuk membantu keuangan Negara. Dengan membeli surat berharga Negara atau BI, BPJS Kesehatan bukan hanya menyuntik dana ke Negara atau BI, tapi juga bisa menaikkan nilai surat berharga Negara dan BI tersebut.
Fenomena lain yang menunjukkan BPJS Kesehatan sebagai lembaga jasa keuangan Negara adalah penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kementrian Keuangan dengan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 September 2014 untuk berkoordinasi dalam rangka melaksanakan stabilisasi pasar Surat Berharga Negara (SBN) melalui pembelian SBN. Sebelumnya, pada 2010, Kementerian Keuangan juga sudah menandatangani Nota serupa dengan Kementerian BUMN.
Skema kerjasama ini disebut Bond Stabilization Framework (BSF). Upaya stabilisasi ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pelaku pasar pada SBN.[11] Jika tingkat kepercayaan atas SBN meningkat, maka SBN akan lebih laku dan nilainya naik di pasar keuangan, sehingga dana yang didapatkan Negara melalui SBN pun bisa meningkat.
Catatan Penutup
Berdasarkan paparan di atas, salah satu penyebab pelayanan yang buruk terhadap pasien BPJS Kesehatan adalah kontradiksi antara sistem tarif prospektif BPJS Kesehatan dengan dunia fasilitas kesehatan yang dikuasai oleh logika akumulasi laba. Adapun sistem tarif prospektif digunakan BPJS Kesehatan, karena mereka juga memiliki fungsi membantu keuangan Negara, sehingga harus menekan pengeluaran dan menambah pendapatan. Korbannya adalah rakyat miskin dan pekerja yang akhirnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang buruk.
Belum lama ini, BPJS Kesehatan menyatakan bahwa mereka mengalami mismatch (ketidaksesuaian) rasio klaim. Total iuran premi yang didapat sampai Desember 2014 adalah Rp41,06 triliun, sementara biaya klaim yang dikeluarkan mencapai Rp42,6 triliun, sehingga terjadi mismatch rasio klaim sebesar 103,88%. Akibatnya, mereka dibantu oleh Negara sebesar Rp5 triliun dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN).[12] Fenomena ini tampak bertentangan dengan kesimpulan kita di atas. Jika BPJS Kesehatan berfungsi membantu keuangan Negara, kenapa malah dibantu oleh keuangan Negara?
Pertama-tama, adanya masalah keuangan di BPJS Kesehatan, sehingga harus dibantu Negara, tidak berarti BPJS Kesehatan pada awalnya tidak dirancang untuk membantu keuangan Negara. Analoginya, meruginya suatu perusahaan swasta tidak berarti perusahaan swasta tersebut pada awalnya tidak dibangun untuk mengejar laba. Sebuah lembaga bisa saja dirancang untuk X, tetapi dalam perjalanannya mengalami masalah, sehingga tidak atau belum memenuhi tujuan X.
Kemudian, masalah keuangan BPJS Kesehatan tampaknya tidak begitu serius dan bisa diatasi. Chazali H. Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), lembaga perumus kebijakan umum jaminan sosial dan pengawas BPJS, menyatakan bahwa mismatch yang terjadi "belum sampai mengancam sustainability program JKN dan BPJS Kesehatan."[13] Lagipula, meski terjadi mismatch pada Dana Jaminan Sosial Kesehatan, Aset BPJS Kesehatannya mengalami surplus senilai Rp1,017 triliun.[14] Artinya, meski mengalami masalah, BPJS Kesehatan masih mungkin untuk mengatasinya, dan memainkan peran membantu keuangan Negara di masa depan.
Catatan:
[1] Sebagian tulisan ini didasarkan pada riset Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) yang penulis kerjakan bersama Y. Wasi Gede Puraka, Fathimah Fildzah Izzati dan Robie Kholilurrahman, dengan tajuk "Urban Health Protection Services and Workers’ Resistance in Greater Jakarta: Problems and Potentials of Expanding Coverage of National Health Insurance," 2014-2015.
[2] UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bisa diunduh di http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/1.
[3] Wawancara Robie Kholilurrahman dengan Ibu Iing (Siti Jamilah), 16 Januari 2014.
[4] Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://www.menpan.go.id/jdih/perundang-undangan/perpres/file/4130-perpres2013-no-111. Sementara Perpres No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://www.menpan.go.id/jdih/perundang-undangan/perpres/file/3634-perpres2013-no-12.
[5] Wawancara Robie Kholilurrahman dengan Ibu Iing (Siti Jamilah), 16 Januari 2014.
[6] Permenkes No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/144.
[7] Lihat "Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs)," Lampiran Permenkes No. 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs), bisa diunduh di http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/148.
[8] Informasi diberikan oleh Rio Ayudhia dalam FGD Inkrispena dan SPRI dengan tajuk “Masalah-Masalah BPJS dan Aspirasi Rakyat Pekerja,” 3 April 2015.
[9] Lihat, misalnya, "BPJS Kesehatan: Dokter Bisa Tekor, Ini Penjelasannya," Bisnis.com, 11 Januari 2014, http://finansial.bisnis.com/read/20140111/215/196762/bpjs-kesehatan-dokter-bisa-tekor-ini-penjelasannya. Dari pihak yang membantah bahwa RS mengalami kerugian, lihat "RS Pasti Rugi dengan Tarif INA-CBG's? 2 RS Ini Justru Untung Besar," detikhealth, 20 Maret 2014, http://health.detik.com/read/2014/03/20/144834/2531743/763/rs-pasti-rugi-dengan-tarif-ina-cbgs-2-rs-ini-justru-untung-besar?l991101755.
[10] PP No. 87 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan bisa diunduh di http://peraturan.go.id/pp/nomor-87-tahun-2013-11e44c4f5f3874a09d3d313232303531.html.
[11] Lihat “Keterangan Pers Bersama Penandatanganan Nota Kesepahaman Dan Keputusan Bersama Dalam Rangka Pemeliharaan Stabilitas Pasar Surat Berharga Negara” dalam situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementrian Keuangan, http://www.djppr.kemenkeu.go.id/index.php/page/load/1133.
[12] Lihat “Agar BPJS Kesehatan Tidak Layu Sebelum Berkembang,” Info BPJS Kesehatan, Edisi XVII Tahun 2015, hlm. 3, http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/311.
[13] Wawancara Chazali H. Situmorang, “Mustahil Negara Biarkan BPJS Kesehatan Bangkrut,” Info BPJS Kesehatan, Edisi XVII Tahun 2015, hlm. 6, http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/311.
[14] "BPJS Kesehatan Bukukan Dana Surplus Rp1,017 Triliun," Bisnis.com, 7 Mei 2015, http://finansial.bisnis.com/read/20150507/215/430908/bpjs-kesehatan-bukukan-dana-surplus-rp1017-triliun.
Jaminan kesehatan yang dulu dikelola secara tersebar, seperti PT Askes untuk PNS, PT Jamosostek untuk pekerja swasta, dan sebagainya, dikonsolidasikan di bawah BPJS Kesehatan. Sementara, program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian yang dulu dikelola oleh PT Jamsostek, PT Taspen dan PT Asabri, disentralisasi di bawah BPJS Ketenagakerjaan.
Selain mensentralisasi pengelolaan program asuransi sosial, UU BPJS juga memperluas kepesertaan program asuransi sosial. Dulu cakupan program asuransi sosial bersifat terbatas, seperti program Jamsostek hanya untuk pekerja swasta, program Taspen dan Askes untuk PNS, serta program Asabri untuk Polri, TNI dan PNS Departemen Pertahanan.
Sekarang, pasal 14-18 UU BPJS mewajibkan semua penduduk yang memenuhi persyaratan program jaminan sosial untuk mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai peserta BPJS. Tercakup di sini adalah pekerja asing yang sudah bekerja paling sedikit 6 bulan di Indonesia. Mereka yang memenuhi syarat, tetapi tidak mendaftarkan diri, diancam dengan sanksi administratif.
BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014, sementara BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015. Pada tanggal 1 Januari 2014, PT Askes dan PT Jamsostek juga bubar dan berubah menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Terkait program yang berada di bawah pengelolaan PT Asabri dan PT Taspen, pengalihannya ke BPJS Ketenagakerjaan diberi waktu sampai 2029.
Buruknya Layanan Kesehatan Pasien BPJS
Selama beroperasi, BPJS Kesehatan mengalami banyak masalah, terutama terkait warga miskin yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Salah satu masalah yang mencolok adalah buruknya pelayanan kesehatan yang dialami oleh pasien BPJS Kesehatan. Misalnya, masalah yang dialami oleh suami Ibu Iing (Siti Jamilah), anggota Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), sebuah organisasi rakyat miskin.[3] Suami Ibu Iing terlambat didiagnosa menderita penyakit jantung, sehingga akhirnya meninggal dunia.
Almarhum baru menerima diagnosa yang tepat setelah menerima berbagai diagnosa lain yang tidak tepat. Pasalnya, pihak RS enggan menggunakan alat yang tepat dalam melakukan diagnosa. Baru pada diagnosa yang kesekian, di RS yang kesekian, dengan menggunakan alat yang disebut “teropong,” akhirnya diketahui fungsi jantung almarhum sudah menurun hingga hanya 30%. Tindakan yang harus dilakukan adalah operasi pemasangan ring pada jantung almarhum dengan resiko kematian yang besar. Peristiwa ini pun berujung pada meninggalnya suami Ibu Iing.
Masalah lain adalah penolakan pasien PBI oleh RS dengan alasan ketiadaan ruang rawat inap kelas III. Dalam Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,[4] manfaat kelas ruang perawatan yang bisa didapat pasien PBI adalah ruang perawatan kelas III.
Meski penolakan ini bisa disebabkan oleh karena kamarnya memang tidak ada. Tetapi, bisa juga kamarnya sebenarnya ada, namun pihak RS berbohong, karena enggan fasilitasnya dipakai oleh pasien PBI. Pihak RS memang sering berbohong tentang ketersediaan ruang rawat inap bagi pasien BPJS Kesehatan. Karena itu, ketika mengadvokasi pasien BPJS Kesehatan yang membutuhkan ruang rawat inap, organiser SPRI biasanya memeriksa sendiri ke seluruh lantai RS apakah ada kamar yang kosong atau tidak.
Kebohongan serupa juga ada saat pengambilan obat. Seringkali awalnya dikatakan bahwa obat tertentu yang dibutuhkan tidak bisa diklaim. Namun, setelah ditekan, baru diakui bahwa obat tersebut sebenarnya bisa diklaim. ”Tapi tetap obat dimainin juga, ada suruh beli, karena tidak ditanggung katanya…. Saya langsung mengadu ke Rio. Ternyata Rio telepon. Tidak lama, itu obat lancar. Tidak pakai beli, tidak apa,” kata Ibu Iing.[5] Petugas obat itu baru jujur kepada Ibu Iing, setelah mendapat tekanan dari Rio Ayudhia, Sekretaris Wilayah SPRI DKI Jakarta.
Pertanyaannya, kenapa bisa muncul banyak masalah pelayanan buruk dalam BPJS Kesehatan? Kenapa RS terlihat enggan fasilitasnya dipakai atau tidak serius dalam menangani pasien BPJS Kesehatan? Banyak masalah pelayanan buruk ini berujung pada sistem tarif BPJS Kesehatan dan logika akumulasi laba dari dunia fasilitas kesehatan Indonesia. Yang dimaksud dengan sistem tarif di sini adalah sistem pembayaran klaim fasilitas kesehatan oleh BPJS Kesehatan.
Sistem Tarif BPJS Kesehatan
Sistem tarif BPJS Kesehatan diatur dalam Permenkes No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.[6] Di situ, kita bisa lihat bahwa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif yang berbeda untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
Yang dimaksud dengan FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat non-speialistik, seperti Puskesmas atau klinik pratama. Sementara FKRTL adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik, seperti RS atau klinik utama. Untuk FKTP, diterapkan sistem tarif kapitasi dan non-kapitasi, sementara untuk FKRTL diterapkan sistem tarif Indonesian-Case Based Groups (INA-CBG's).
Sistem tarif kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang dibayar di muka setiap bulan kepada suatu fasilitas kesehatan, yang besarannya didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di fasilitas kesehatan tersebut, tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. Sementara, sistem tarif non-kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang didasarkan pada jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. Adapun sistem INA-CBG's adalah sistem pembayaran klaim secara paket, yang didasarkan pada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.
Baik sistem tarif kapitasi maupun INA-CBG’s tergolong dalam sistem pembayaran prospektif, yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan yang besarannya sudah ditetapkan sebelum layanan kesehatan diberikan. Sistem pembayaran alternatifnya adalah sistem pembayaran restropektif, yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan setelah layanan diberikan dan didasarkan pada aktivitas layanan yang diberikan.[7]
Meskipun ada sistem tarif non-kapitasi dalam BPJS Kesehatan, sistem ini sebenarnya hanya diterapkan pada FKTP yang memberikan layanan tertentu saja. Sistem tarif yang menjadi “aturan main” adalah sistem tarif prospektif. Sistem tarif prospektif menguntungkan BPJS Kesehatan, karena membuat mereka memiliki kapasitas untuk mengontrol dan menekan biaya klaim.
Namun, sistem pembayaran prospektif menekan dunia fasilitas kesehatan yang memiliki kepentingan akumulasi laba. Mereka resisten terhadap upaya BPJS Kesehatan menggunakan fasilitas mereka dengan tarif rendah. Muncullah kontradiksi antara BPJS Kesehatan dengan dunia fasilitas kesehatan.
Sebagian RS swasta hanya mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk layanan tertentu saja, tidak sepenuhnya. RS Royal Trauma di Grogol, misalnya, hanya bekerjasama dengan BPJS untuk layanan Instalasi Gawat Darurat (IGD).[8] Di tingkat diskursus, muncul perdebatan tentang apakah tarif kapitasi dan INA-CBG’s membuat dunia fasilitas kesehatan Indonesia rugi atau tidak.[9] Efek lain dari kontradiksi ini, pelayanan yang diberikan kepada pasien BPJS pun seadanya, asal-asalan atau buruk.
BPJS Kesehatan: Jasa Keuangan Negara?
Pertanyaannya, kenapa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif prospektif? Karena BPJS Kesehatan dirancang bukan hanya untuk memberikan perlindungan kesehatan, tetapi juga untuk menggalang dana dari masyarakat dalam rangka membantu keuangan Negara. Oleh sebab itu, sampai derajat tertentu, BPJS Kesehatan harus beroperasi dengan logika bisnis, menambah pendapatan dan menekan pengeluaran. Sistem tarif prospektif yang menjadi salah satu penyebab masalah pelayanan buruk, diterapkan dalam rangka menekan pengeluaran.
Fungsi BPJS Kesehatan sebagai lembaga jasa keuangan Negara dapat dilihat dari pola batasan investasi yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan. UU BPJS dan PP No. 87 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan[10] membolehkan aset yang dikelola BPJS Kesehatan untuk diinvestasikan pada berbagai instrumen investasi. Namun, ada batasan-batasan dari investasi tersebut. Batasan dari tiap instrumen investasi dapat dilihat dalam tabel berikut:
Dalam tabel di atas, kita bisa lihat bahwa ada dua jenis aset yang dikelola BPJS Kesehatan, yaitu Aset BPJS Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Kesehatan. Aset BPJS Kesehatan adalah aset badan penyelenggaranya dan tidak mencakup iuran dari peserta, sementara Dana Jaminan Sosial Kesehatan mencakup iuran dari peserta.
Untuk Aset BPJS Kesehatan, jenis instrumen investasi yang boleh disasar, cukup banyak. Namun, hampir semua instrumen investasi tersebut dikenakan batasan tertentu. Misalnya, paling tinggi hanya 50% dari keseluruhan investasi BPJS Kesehatan yang boleh ditanam pada surat utang korporasi, saham dan reksadana. Tetapi, ada dua instrumen investasi yang tidak dikenakan batasan jumlah dan presentase, yaitu surat berharga Negara dan Bank Indonesia (BI).
Untuk Dana Jaminan Sosial Kesehatan, hanya ada tiga jenis instrumen investasi yang boleh disasar, yaitu deposito berjangka, surat berharga Negara dan surat berharga BI. Untuk deposito berjangka, terdapat batasan paling tinggi hanya 15% dari keseluruhan investasi BPJS Kesehatan yang boleh ditanam pada satu bank. Untuk surat berharga Negara dan BI, tidak terdapat batasan jumlah dan persentase.
Pertanyaannya, kenapa surat berharga Negara dan BI tidak dikenakan pembatasan sama sekali seperti instrumen investasi lain? Kenapa kedua instrumen investasi ini tampak diutamakan? Ini merupakan tanda bahwa BPJS Kesehatan dirancang untuk menyerap surat berharga Negara dan BI. Jika benar bahwa BPJS Kesehatan dirancang untuk menyerap surat berharga Negara dan BI, itu berarti BPJS Kesehatan dibangun untuk membantu keuangan Negara. Dengan membeli surat berharga Negara atau BI, BPJS Kesehatan bukan hanya menyuntik dana ke Negara atau BI, tapi juga bisa menaikkan nilai surat berharga Negara dan BI tersebut.
Fenomena lain yang menunjukkan BPJS Kesehatan sebagai lembaga jasa keuangan Negara adalah penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kementrian Keuangan dengan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 September 2014 untuk berkoordinasi dalam rangka melaksanakan stabilisasi pasar Surat Berharga Negara (SBN) melalui pembelian SBN. Sebelumnya, pada 2010, Kementerian Keuangan juga sudah menandatangani Nota serupa dengan Kementerian BUMN.
Skema kerjasama ini disebut Bond Stabilization Framework (BSF). Upaya stabilisasi ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pelaku pasar pada SBN.[11] Jika tingkat kepercayaan atas SBN meningkat, maka SBN akan lebih laku dan nilainya naik di pasar keuangan, sehingga dana yang didapatkan Negara melalui SBN pun bisa meningkat.
Catatan Penutup
Berdasarkan paparan di atas, salah satu penyebab pelayanan yang buruk terhadap pasien BPJS Kesehatan adalah kontradiksi antara sistem tarif prospektif BPJS Kesehatan dengan dunia fasilitas kesehatan yang dikuasai oleh logika akumulasi laba. Adapun sistem tarif prospektif digunakan BPJS Kesehatan, karena mereka juga memiliki fungsi membantu keuangan Negara, sehingga harus menekan pengeluaran dan menambah pendapatan. Korbannya adalah rakyat miskin dan pekerja yang akhirnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang buruk.
Belum lama ini, BPJS Kesehatan menyatakan bahwa mereka mengalami mismatch (ketidaksesuaian) rasio klaim. Total iuran premi yang didapat sampai Desember 2014 adalah Rp41,06 triliun, sementara biaya klaim yang dikeluarkan mencapai Rp42,6 triliun, sehingga terjadi mismatch rasio klaim sebesar 103,88%. Akibatnya, mereka dibantu oleh Negara sebesar Rp5 triliun dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN).[12] Fenomena ini tampak bertentangan dengan kesimpulan kita di atas. Jika BPJS Kesehatan berfungsi membantu keuangan Negara, kenapa malah dibantu oleh keuangan Negara?
Pertama-tama, adanya masalah keuangan di BPJS Kesehatan, sehingga harus dibantu Negara, tidak berarti BPJS Kesehatan pada awalnya tidak dirancang untuk membantu keuangan Negara. Analoginya, meruginya suatu perusahaan swasta tidak berarti perusahaan swasta tersebut pada awalnya tidak dibangun untuk mengejar laba. Sebuah lembaga bisa saja dirancang untuk X, tetapi dalam perjalanannya mengalami masalah, sehingga tidak atau belum memenuhi tujuan X.
Kemudian, masalah keuangan BPJS Kesehatan tampaknya tidak begitu serius dan bisa diatasi. Chazali H. Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), lembaga perumus kebijakan umum jaminan sosial dan pengawas BPJS, menyatakan bahwa mismatch yang terjadi "belum sampai mengancam sustainability program JKN dan BPJS Kesehatan."[13] Lagipula, meski terjadi mismatch pada Dana Jaminan Sosial Kesehatan, Aset BPJS Kesehatannya mengalami surplus senilai Rp1,017 triliun.[14] Artinya, meski mengalami masalah, BPJS Kesehatan masih mungkin untuk mengatasinya, dan memainkan peran membantu keuangan Negara di masa depan.
Catatan:
[1] Sebagian tulisan ini didasarkan pada riset Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) yang penulis kerjakan bersama Y. Wasi Gede Puraka, Fathimah Fildzah Izzati dan Robie Kholilurrahman, dengan tajuk "Urban Health Protection Services and Workers’ Resistance in Greater Jakarta: Problems and Potentials of Expanding Coverage of National Health Insurance," 2014-2015.
[2] UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bisa diunduh di http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/1.
[3] Wawancara Robie Kholilurrahman dengan Ibu Iing (Siti Jamilah), 16 Januari 2014.
[4] Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://www.menpan.go.id/jdih/perundang-undangan/perpres/file/4130-perpres2013-no-111. Sementara Perpres No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://www.menpan.go.id/jdih/perundang-undangan/perpres/file/3634-perpres2013-no-12.
[5] Wawancara Robie Kholilurrahman dengan Ibu Iing (Siti Jamilah), 16 Januari 2014.
[6] Permenkes No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan bisa diunduh di http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/144.
[7] Lihat "Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs)," Lampiran Permenkes No. 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs), bisa diunduh di http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/148.
[8] Informasi diberikan oleh Rio Ayudhia dalam FGD Inkrispena dan SPRI dengan tajuk “Masalah-Masalah BPJS dan Aspirasi Rakyat Pekerja,” 3 April 2015.
[9] Lihat, misalnya, "BPJS Kesehatan: Dokter Bisa Tekor, Ini Penjelasannya," Bisnis.com, 11 Januari 2014, http://finansial.bisnis.com/read/20140111/215/196762/bpjs-kesehatan-dokter-bisa-tekor-ini-penjelasannya. Dari pihak yang membantah bahwa RS mengalami kerugian, lihat "RS Pasti Rugi dengan Tarif INA-CBG's? 2 RS Ini Justru Untung Besar," detikhealth, 20 Maret 2014, http://health.detik.com/read/2014/03/20/144834/2531743/763/rs-pasti-rugi-dengan-tarif-ina-cbgs-2-rs-ini-justru-untung-besar?l991101755.
[10] PP No. 87 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan bisa diunduh di http://peraturan.go.id/pp/nomor-87-tahun-2013-11e44c4f5f3874a09d3d313232303531.html.
[11] Lihat “Keterangan Pers Bersama Penandatanganan Nota Kesepahaman Dan Keputusan Bersama Dalam Rangka Pemeliharaan Stabilitas Pasar Surat Berharga Negara” dalam situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementrian Keuangan, http://www.djppr.kemenkeu.go.id/index.php/page/load/1133.
[12] Lihat “Agar BPJS Kesehatan Tidak Layu Sebelum Berkembang,” Info BPJS Kesehatan, Edisi XVII Tahun 2015, hlm. 3, http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/311.
[13] Wawancara Chazali H. Situmorang, “Mustahil Negara Biarkan BPJS Kesehatan Bangkrut,” Info BPJS Kesehatan, Edisi XVII Tahun 2015, hlm. 6, http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/unduh/index/311.
[14] "BPJS Kesehatan Bukukan Dana Surplus Rp1,017 Triliun," Bisnis.com, 7 Mei 2015, http://finansial.bisnis.com/read/20150507/215/430908/bpjs-kesehatan-bukukan-dana-surplus-rp1017-triliun.
Kasihan yang sakit terlunta tersengsarakan gara gara mengejar untung negara
ReplyDelete